Calon Papah Mertua

1095 Kata
"Kak maaf," ucap Akila mendekati perempuan itu. Dia harus tahu apa hubungan sebenarnya antara perempuan yang dicurigai sahabatnya itu dengan Brian. Apalagi mereka akan menikah, Akila tidak ingin ada kesalahpahaman yang membuat rencana mereka hancur berantakan. jadi dia memberanikah diri untuk mendekatinya dan bertanya mengenai Brian. "Iya, Kenapa?" "Aku Akila, pacarnya Kak Brian anak ekonomi Bisnis." Perempuan itu menatap Akila dari bawah ke atas. "Oh kamu," ucapnya sembari memberi penilaian di kepalanya sendiri. Akila berdehem. "Iya, aku mau tanya sesuatu." "Kenapa?" tanya dia dengan nada yang sinis. akila tau kalau sosok ini tidak bersahabat, tapi dirinya benar benar harus membuat pikirannya lega dengan beberapa pertanyaan yang harus segera dia ajukan padanya. Akila langsung duduk di depan perempuan itu. Dia tidak ingin bicara sambil berdiri, lagipula itu tidaklah sopan. "Sahabat aku pernah liat kakak sama pacar aku jalan, kalian ada hubungan apa ya?" "Emang Brian gak ngasih tau?" Tanya perempuan itu sedikit sinis, dia sepertinya terganggu dengan keberadaan Akila. Entah benar benar terganggu atau memang tidak menyukai Akila. Akila mengangguk. "Dia kasih tau, katanya kalian sahabatan pas kecil." "Nah, itu udah tau. Ngapain nanya lagi?" "Cuma mau konfirmasi aja, Kak. Sahabat aku juga bilang kalau Kakak dicium keningnya sama Kak Brian." "Kalau nggak percaya sama Brian ngapain pacaran sama dia, Brian pasti udah jelasin kan kenapa itu bisa terjadi," ucapnya mencoba menghindari tatapan Akila beberapa kali, dia pandai berakting dan menyembunyikan sesuatu. "Maaf, Kak. Jangan marah napa, aku kan cuma nanya. Tapi Kakak kuliah di sini?" "Bukan urusan kamu ya," jawabnya sinis. Akila menarik napasnya. "Aku cuma mau kasih tau kalau aku sama Kak Brian mau nikah, jadi Kakak tolong jangan minta anter anter lagi sama Kak Brian ya." "Brian mau nikah? Sama kamu?" "Loh? Kakak belum tau?" Tanya Akila curiga. Yang membuat lawan bicaranya memalingkan wajah. "Brian udah lama gak hubungi," dustanya. "Akilaaa! Masuk!" Teriak Sinta yang membawa dua cup kopi dari kasir dan beberapa roti. "Barusan ada yang nge-chat. Masuk ayo!" Akila berdiri. "Makasih waktunya, Kak. Ngomong ngomong nama Kakak siapa?" "Anasta" "Oke, Kak Anasta. Nanti aku undang Kakak. Bye." Setelah kepergian Akila, Anasta langsung menghubungi Brian dengan menelponnya. Matanya tidak beralih dari Akila yang pergi, berdecak beberapa kali karena kesal dengan kedatangan wanita itu, membuat mood nya turun seketika. "Hallo, Brian kamu dimana?" "Kamu dimana, An?" "Di Caffe depan kampus kamu." "Jangan di sana, pergi ayo ke tempat biasa. Itu deket sama fakultas cewek aku." Anasta berdecak. "Jemput." "Oke, tapi jangan di sana. Jalan sampai ke halte ya, biar gak ada orang liat." Anasta mengangguk. "Oke, awas kalau telat." Dia menutup sambunga dan bergegas berjalan menuju halte kampus yang ada di sisi lain dan agak jauh dari fakultas ekonomi manajemen dimana pacar Brian berada. Dua menit menunggu di sana, mobil BMW tiba. Anasta yang sudah mengenali itu langsung masuk dan bertanya, "Kamu mau nikah, Bi?" "Dari mana kamu tau?" "Tadi cewek kamu nyamperin aku." "Ngomong apa dia?" Tanya Brian panik. "Kamu gak jawab yang aneh aneh kan?" "Enggak, males banget ngomong sama dia. Dia bilang kalian mau nikah, jadi minta aku jaga jarak meski aku sahabat kecil kamu. Serius kamu ngenalin aku sebagai sahabat kecil?" "Ya gimana lagi? Masa aku bilang partner s*x mingguan aku?" Tanya Brian mengemudi mobil menuju ke motel tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. "Kalau udah nikah jangan cari aku lagi, males kalau sama orang bersuami." "Jangan gitu dong, An," ucap Brian menggenggam tangan Anasta. "Aku sayang sama kamu." "Kalau kamu sayang ya gak bakalan nikah sama dia." "Lagian kamu gak mau aku ajak serius, aku harus nyari yang gimana lagi? Dia cukup kaya buat masa depan aku nantinya." "Aku juga kaya, orangtua aku kerja di Oxford jadi profesor." "Tapi kamu gak mau kan aku ajak nikah?" Anasta berdehem, dia memalingkan wajahnya enggan untuk menatap manik Brian. "Pleaseee… hubungan kita jangan berakhir ya, aku nyaman sama kamu. Kalau kamu sekarang bilang mau dinikah sama aku, aku pasti putusin dia sekarang." "Kamu cuma butuh aku karena kebutuhan biologis kamu aja kan?" "Bukan gitu," ucap Brian meskipun tidak mengelak sama sekali. "Heran sama cewek kamu, kampungan banget gak mau disentuh." "Makannya jangan tinggalin aku." "Liat nanti aja." **** "Awas nanti kamu jatuh cinta sama bapaknya." "Ih, Ibu apaan sih. Jangan gitu napa gak enak sama Kak Brian." "Dia jemput kamu kapan?" Tanya Bu Nenti yang masih menggoda Akila. Pasalnya hari ini Akila akan melihat lihat gaun yang akan dia pakai untuk pernikahannya. Dan untuk tema, akan menyesuaikan gaun. Karena menurut Akila, pusat pernikahan adalah pengantin wanitanya sendiri. "Bentar lagi ju… Tuh akhirnya dateng," ucap Akila senang, dia mengambil tasnya dengan girang. Tidak sabar untuk jalan jalan bersama pria pujaannya. "Sabar kenapa," ucap Bu Nenti ikut berdiri saat Brian mendekat dan menyalaminya. "Eh, Nak Brian. Akila nunggu kamu dari tadi tau. Gak sabaran dia." "Iri aja Ibu ditinggal Ayah keluar kota." "Anak durhaka kamu," gumam Bu Nenti. "Brian pinjam dulu Akila nya ya, Bu." "Iya iya, tolong kasih makan ya. Kasian makin kurus." "Hahha, iya, Bu." "Garing banger ibu." "Heh, anao durhaka kamu." Akila berjalan beriringan bersama dengan Brian, senyumannya tidak luntur. Pasalnya mereka akan melangsungkan pernikahan secepatnya. "Kita ketemu Papah Kakak dulu ya?" "Iya, mau bawa BlackCard dari dia, kan masa anak yang biayain sendiri nikahannya." Akila hanya tersenyum, dia penasaran bagaimana tampang calon ayah mertuanya itu. Apalagi ibunya selalu mengatakan kalau dia sangatlah tampan. "Ih ya, Anasta bilang kamu ngomong sama dia?" "Anasta? Ah, temen kakak itu? Dia ngomomg sama Kakak?" "Dia bilang kamu gak usah curiga, karena kalau yang kamu duga bener, ya kita gak akan nikah, Kila." "Iya, Kak, Maaf. Soalnya Sinta mancing mancing aku terus bilang dia dikecup keningnya sama Kakak." "Kakak cuma sayang sama kamu," ucap Brian sambil menelan ludahnya kasar. Akila tersenyum, mencoba mempercayai. Toh mereka akan menjadi suami istri. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah gedung perusahaan yang sangat besar. Yang mana membuat Akila terpengangah. "Lantai berapa perusahaan milik Papah Kakak?" "Semuanya, ini gedung perusahaan miliknya." "Wahh…." "Ini semua akan jadi milik Kakak suatu saat nanti, Papah tidak tertarik menikah lagi. Pabrik Ayahmu juga begitu bukan?" "Aku tidak tahu, aku punya adik." "Ohh…," ucap Brian datar, dia mengajak Akila menuju lantai paling atas. Sampai sampai Akila dibuat terpengangah melihatnya. Bagaimana bisa dia takjub dengan kekayaan yang dimiliki papahnya Brian. "Bu, Papah ada?" Tanya Brian pada sang sekretaris. "Ada, Tuan. Sebentar," ucap sekretaris itu menelpon pada sang atasan sebelum mengizinkan mereka masuk. Akila hanya mengikuti, dia cukup khawatir dengan pertemuan pertama dengan calon papah mertuanya. "Pah?" Dan saat itu, Akila melihat sosok yang begitu tampan. Pantas saja ibunya selalu membicarakan tentang calon papah mertuanya. Dalam batin Akila berkata, "Enggak ah, masih gantengan Kak Brian kok."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN