PROLOG
Brian dan Akila sudah pacaran sejak zaman Akila baru masuk SMA, membuat ayah dan ibu Akila memilih untuk menikahkan mereka mengingat Brian sangat baik pada Akila. Dan Ibu Nenti ⸻ibunya Akila⸻ khawatir jika terjadi sesuatu di luar harapan mengingat keduanya sudah sangat dekat. Berdiskusi dengan Pak Ajat ⸻Ayah Akila⸻ supaya menyetujui pernikahan anak mereka.
“Ibu khawatir sesuatu terjadi di luar keinginan kita, Yah. Apalagi Akila sekarang kuliah, jarak dari sini ke kampus hampir dua jam, kan kalau nikah sama Brian gak usah pulang pergi bawa mobil sendiri, rumah Brian kan ke kampus Cuma 30 menit.”
“Menikah bukan hal sepele, Bu. Kita harus benar benar berfikir matang.”
“Coba Ayah lihat bagaimana Akila sama Brian itu lengket banget, mesra banget. Lagian Brian dari keluarga kaya, Akila gak akan kekurangan. Daripada nanti kejadian yang enggak enggak. Kalau misalkan udah nikah kan hamil juga gak papa.”
“Tapi mereka masih kecil.”
“Lah…, Brian udah punya banyak Caffe, masalah harta gak akan kekurangan, Yah,” ucap Bu Nenti meyakinkan suaminya.
Mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumah, membuat Bu Nenti melihat ke arah jendela, di sana Brian dan Akila baru pulang malam mingguan.
“Tuh lihat, Yah, lengket banget. Noh, lihat! Si Brian nyium kening Akila. Udah udah ini harus dinikahin daripada kejadian yang enggak enggak.”
Dan saat Akila dan Brian masuk, Ibu Nenti menyuruh mereka untuk duduk dan membicarakan hal serius. Melihat keduanya yang susah dilepaskan juga membuat Pak Ajat memilih untuk menikahkan mereka.
Dengan membicarakan hal itu baik baik, Ibu Nenti mengatakan apa yang ada dalam hatinya. Dan tentu saja hal itu membuat Akila dan Brian bahagia, memang ini yang mereka berdua inginkan selama ini.
“Ibu serius?” tanya Akila lagi. “Aku boleh nikah sama Kak Brian?”
“Iya, Ibu serius. Iya kan, Yah?”
Pak Ajat mengangguk. “Ayah lihat Brian sudah mapan meskipun masih kuliah, dan Akila juga sudah tidak ingin menunda hal itu lagi. Ayah juga merasa aman kalau Akila bersama Brian, berangkat atau pulang kuliah kan bisa bareng.”
“Iya, jadi Ibu gak khawatir kalau Akila ada kegiatan malam di kampus,” jawab Bu Nenti semangat, dia tahu betul karena pernah mendatangi caffe milik Brian yang cabangnya sudah dimana mana. Hanya saja Bu Nenti belum menemui orangtua Brian. Yang keluarga Akila tahu kalau orangtua Brian tinggal Papahnya saja, Bu Nenti belum berani membahas tentang kemana Mamanya pergi. “Kalau bisa…. Pertemuan dua keluarga, bagaimana?”
Brian mengangguk setuju. “Saya akan memberitahukan Papah saya perihal itu.”
Tangan Akila menggenggam tangan Brian karena bahagia, yang mana hal itu membuat Pak Ajat berdehem. “Ekhem! Tangannya awas.”
“Eh, iya. Maaf, Om.”
“Panggilnya Ayah saja, sama kayak Akila, kan mau jadi mantu. Iya ‘kan, Yah?” tanya Bu Nenti semangat.
Pak Ajat hanya mengangguk mengikuti keinginan sang istri.
"Syukurlah kalau kalian udah siap, lagian cuma selisih satu tahun kan?"
Brian mengangguk, dirinya berumur 20 tahun sekarang ini. Dan Akila berumur 19 tahun.
"Dua tahun lagi Brian lulus dan akan meneruskan usaha Papah, jadi Ibu sama Ayah jangan khawatir. Akila terjamin dengan Brian."
"Iya, Ibu percaya kok. Jaga Akila sampai waktunya tiba ya."
******
Di sebuah mansion yang besarnya tiga kali lebih besar dari rumah Akila, Brian memasukan mobilnya ke garasi. Dimana di sana berjajar banyak mobil lain miliknya.
Matanya mengedar dan melihat mobil ayahnya sudah ada di sana, membuatnya segera berlari ke dalam.
“Selamat datang, Tuan,” sapa pembantu yang tidak dihiraukan oleh Brian. Dia masih mencari keberadaan ayahnya. “Papah dimana ya, Bi?”
“Tuan Besar ada di perpustakaannya.”
Brian segera berlari ke sana setelah mendengar penuturan dari pembantu, dia mengetuk pintu sebelum masuk mendekati ayahnya yang sedang duduk membelakangi sambil membaca.
“Pah?”
“Udah malem mingguannya?”
Brian langsung duduk di atas karpet di dekat kaki Kris ayahnya, terlihat pria tampan berusia 37 tahun itu sedang focus membaca. Dengan kacamata bertengger di hidungnya. “Kenapa? Mau apa? Bilang saja sama Andre.”
Brian mendengus, Andre adalah orang kepercayaan Kris, bisa dibilang dia adalah pengacara sekaligus asiten pribadi Kris. “Bukan itu, Pah.”
“Terus apa?”
“Orangtua Akila mau ketemu sama Papah.”
“Buat Apa?” tanya Kris yang selama ini memang belum pernah menemui orangtua pacar Brian maupun Akila itu sendiri, Kris jarang mengurus hal yang tidak penting.
“Itu penting, Pah.”
“Kamu gak macem macem sama anak orang kan, Brian?” tanya Kris menutup bukunya dan menatap Brian yang menggeleng seketika.
“Enggah, Pah. Macem macem gimana? Justru mereka ada niat baik, orangtua Akila mau aku sama Akila menikah.”
Kris menatap heran. “Brian, menikah itu bukan permainan, kamu itu baru 20 tahun.”
“Itu dia, mumpung 20 tahun mending menikah. Biar gak kayak Papah yang udah 37 tahun belum nikah.”
“Brian,” ucap Kriss dengan penuh penekanan.
“Brian janji bakalan jadi suami yang baik buat Akila, Pah. Orangtua Akila kayaknya bakalan nyuruh aku sama Akila putus kalau dia gak aku nikahin, Pah.”
“Salah siapa gaya pacarannya lengket kayak gula?” tanya Kris sinis.
“Papah please…. Papah mau Brian bahagia ‘kan? Ini keputusan terbesar dalam hidup Brian yang gak akan Brian lupain dan diambil secara gegabah.”
Kris sangat menyayangi Brian, dia juga tahu anaknya itu tidak pernah mengecewakannya dan bertindak gegabah. “Kirim nomor hape calon mertua kamu sama Andre, Papah bakalan nemuin mereka besok.”
“Brian ikut?”
“Gak usah, kamu gak penting.”
“Tapi, Pah.. eh tunggu, Papah mau liat gak Akila yang mana?”
“Gak mau, gak penting.”
“Dia cantik loh, Pah.”
“Minggir kamu, pergi sana.”