Setelah Satya keluar butik dan pergi entah ke mana, Kirana langsung berbalik kembali ke ruang ganti. Dia sudah tidak tahan menggunakan gaun ketat yang membatasi gerak tubuh, terutama kaki.
Meylani dan Desti membuntuti Kirana. Terbesit rasa iba pada gadis belia yang dipaksa masuk ke dalam kehidupan rumit milik Satya.
Kedua wanita itu tahu benar bagaimana kehidupan Satya. Pergaulan dan perangai pria itu di luar rumah.
"Kalau aja aku bisa cegah perjodohan ini," ujar Desti merasa bersalah. Sama halnya dengan Satya dan Kirana, wanita yang pernah gagal di pernikahan pertamanya itu juga tidak setuju dengan perjodohan ini.
Namun, dia tidak memiliki kuasa untuk melarang keinginan Risma. Dia begitu menghormati wanita yang sudah merawatnya sejak kedua orangtuanya meninggal dunia itu.
"Kami harus bicara dengan Kirana." Meylani menyarankan sambil merapikan peralatan yang digunakan untuk merias Kirana.
Desti menggeleng pelan sembari menunduk. "Itu bisa merusak segalanya, Meh. Dan Ibu pasti sedih."
"Tapi, kehidupan Satya terlalu rumit. Selain anak-anak Satya yang … terutama Belva, ada banyak orang yang akan dia hadapi, Des. Kirana masih terlalu muda untuk melawan mereka," jelas Meylani dengan suara pelan.
Kirana sudah selesai sejak beberapa menit lalu, tetapi masih betah berada di ruang ganti. Berdiri dengan tenang di balik gorden berwarna gelap. Mendengarkan percakapan dua orang yang sedang menunggunya.
Tidak begitu jelas, tetapi samar-samar dia menangkap beberapa nama wanita yang mereka sebutkan. Tiga diantaranya pernah Kirana dengar, mantan istri dan anak kembar Satya.
"Mbak, aku langsung pulang, ya. Soalnya ntar sore ada janji sama teman dari Jakarta." Kirana berbicara setelah menyingkap gorden ruang ganti, lalu membenarkan letak tasnya.
Dua wanita itu tampak terkejut dan salah tingkah. Dengan senyum yang kaku Desti menghampiri Kinara. "Tapi Mas Satya masih pergi, Ki. Tunggu bentar biar aku telponin."
"Nggak usah, Mbak," cegah Kirana menahan pergelangan tangan Desti yang sudah menyalakan ponselnya. "Aku sudah pesen taksi online. Bentar lagi nyampe."
"Nggak enak sama orang tuamu. Masa perginya sama Satya, tapi pulang naik taksi. Lagian kamu juga belum nentuin gaun yang mau dipakai untuk resepsi" Meylani ikut membujuk.
"Betul, Ki. Apa kata mereka nanti! Lagian Mas Satya main kabur aja. Nggak tanggung jawab," omel Desti.
"Nanti biar aku yang jelasin sama mereka. Gampanglah pokoknya. Masalah gaun …," Kirana memperhatikan beberapa gaun yang dipasang di manekin.
"Yang itu aja." Kirana menunjuk sleeveless A-line gown. Gaun putih bertabur kristal dengan d**a berbentuk semi sweetheart dan potongan punggung rendah.
"Nggak dicoba?" tanya Meylani mendekati gaun yang ditunjuk Kirana.
"Ukurannya sama aja kan sama yang tadi?"
"Iya, sih. Tapi kan lebih enak kalau di coba dulu."
"Emm …." Kirana berfikir sejenak. "Gini aja deh, Mbak. Nanti aku hubungi lagi. Nggak papa kan?"
Meylani mengiyakan, memaklumi situasi yang dihadapi Kinara.
"Kamu beneran mau pulang sendiri nggak nunggu Mas Satya aja?" Desti memastikan sekali lagi.
"Iya, Mbak." Kirana mengecek ponselnya. Ada pesan masuk dari Driver taksi yang dipesan sebelum keluar dari ruang ganti.
"Taksinya udah di depan."
Meylani dan Desti mengantar Kirana hingga ke depan butik.
"Maaf ya, Mbak." Kirana berujar sambil menempelkan pipinya pada pipi Meylani. Dia merasa tidak enak hati karena tidak menyelesaikan fitting baju.
"Nggak papa."
Kirana beralih pada Desti sebelum dia memasuki mobil berwarna merah yang sudah menunggu.
Kirana memejamkan mata sejenak setelah memberi tahu tujuannya kepada si sopir. Kepalanya sedikit pusing memikirkan percakapan dua wanita di butik tadi.
Dia mengeluarkan ponsel, menghubungi seseorang yang akan dimintai bantuan. Seseorang yang diyakini memiliki pergaulan yang cukup luas di kota ini.
Kirana mengeluarkan decakan saat panggilannya diabaikan. Benda pipih itu disimpan kembali ke dalam tas sambil menggumamkan ancaman. "Awas lo, ya!"
Dia tidak menyangka jika akan mengalami hal seperti ini. Mau tidak mau, Kirana harus mencari tahu seluk-beluk kehidupan Satya agar bisa mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi setelah menikah.
Mobil yang ditumpangi Kirana sudah sampai di kawasan Tunjungan Plaza. Dia melihat jam di pergelangan tangan. "Udah jam dua. Pantesan ni perut keroncongan."
Kirana bergegas masuk ke gedung apartemen. Dengan kartu akses yang diminta secara paksa dari si pemilik, Kirana bisa menggunakan private lift untuk menuju lantai 52.
Pemandangan yang pertama kali Kirana dapat setelah pintu lift terbuka adalah sepasang kitten heels. Gadis itu berdecih, sedikit jijik dengan perilaku si pemilik unit.
Tanpa ragu Kirana melangkah semakin dalam. Suara menjijikkan yang saling bersahutan mulai terdengar dan membuat gadis itu bergidik.
Kirana langsung menuju dapur mengambil beberapa cemilan dan minuman dingin. Makan dengan tenang di ruang tamu sambil meneruskan pekerjaannya yang tertunda, mengabaikan suara sepasang manusia yang sedang bertukar keringat.
Entah sejak kapan dan sudah berapa lama mereka bermain. Yang jelas Kirana sudah menunggu selama hampir dua puluh menit.
Asyik mengetik lanjutan cerita dengan posisi berbaring, tiba-tiba saja mata Kirana membulat sempurna saat lenguhan panjang terdengar dari kamar yang letaknya di balik tembok tempat televisi menempel.
"OMG!" jerit Kirana tertahan. "Dasar bocah gemblung, nggak ada akhlak."
Dua puluh menit kemudian dua manusia yang menjadi sumber suara keluar dari kamar.
"Merdu banget suara lo berdua," sindir Kirana membuat keduanya terkejut. Terlebih wanita yang mengenakan setelan kantor.
Wanita yang rambutnya masih setengah basah itu langsung menatap si pria dengan telunjuk yang mengarah pada Kirana.
"Sepupuku," jelas Ibas dengan berbisik. Ya, pemilik hunian ini adalah Bastian Adipati Nugraha. Setelah kepergian Kirana bersama Satya, dia juga berpamitan pulang ke Surabaya dengan alasan dinas.
"Sejak kapan lo, di sini?" tanya Ibas dengan nada tak suka.
"Sejak dia teriak 'terus Bas, lebih dalam'." jawab Kirana santai menirukan suara laknat yang dia dengar tanpa mengalihkan fokus dari ponselnya.
Dari ekor matanya, Kirana dapat melihat Ibas yang sedang memelototinya. Sedangkan si wanita tertunduk malu.
"Aku pulang dulu," pamit si wanita dengan suara lirih.
"Hati-hati, Mbak. Makasih udah nyenengin sepupu gue," sahut Kirana mendahului Ibas.
Setelah wanita itu keluar, Ibas langsung menerjang dan memiting leher Kirana. Sebelah kakinya juga menindih tubuh gadis itu.
"Aaaaaaa," pekik Kirana.
"Dasar bocah kurang ajar!" ujarnya geram disertai jitakan pelan di kepala Kirana.
"Lepas! Sakit bego!" jerit si gadis sambil memukul dan sesekali mencubit lengan dan perut Ibas.
"Bisa-bisanya lo nguping gue lagi pak-pak."
"Lepasin! Gue nggak bisa nafas, Sinting!" Ibas mengabaikan jeritan Kirana.
"Nggak! Lo harus dihukum karena udah berani dengerin adegan dewasa."
"Itu bukan salah gue. Salah lo yang nggak nutup pintu. Lagian masih siang sudah main kuda-kudaan."
Kali ini Kirana berusaha menarik tangan Ibas dari leher. Namun, tidak berhasil karena tenaga Ibas terlalu kuat. Akhirnya, Kirana menggunakan jurus pamungkas.
"Aaarrgh!" Ibas menjerit kesakitan sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya yang digigit Kirana.
"Rasain!" Kirana terlepas.
Ibas terduduk di sofa. Memperhatikan area ibu jari kanan yang tercetak gigi depan Kirana. "Sshh … bisa rabies nih, gue."
"Lo pikir gue binatang berdarah dingin, hm!" omel Kirana tak terima. Dia melempar Ibas dengan bantal sofa.
Ibas berdecak kesal. Meladeni Kirana berdebat tidak akan ada habisnya. Sepupunya ini sangat pandai berbicara. Mungkin waktu pembagian kosa kata dia hadir paling depan.
"Ngapain lo kesini! Bukannya lagi jalan sama Sugar Daddy lo," tanya Ibas mengalihkan topik. Pria itu mengambil remote, menyalakan televisi.
Kirana bangkit, meletakkan ponsel di meja lalu membenarkan duduknya menghadap Bastian.
"Gue butuh bantuan lo buat nyelidikin beberapa orang," pinta Kirana.
Ibas melirik Kirana sejenak. "Gue dokter, bukan detektif atau mata-mata," jawabnya malas sambil mengambil remot, menyalakan televisi.
"Please! Ini menyangkut masa depan gue." Kirana memohon dengan mimik serius. Ekspresi yang sangat jarang ditunjukkan oleh gadis itu.
Ibas yang semula menatap televisi seketika menoleh ke arah Kirana. Kemudian, menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan sepupunya itu.
"Lo kenapa, Mbak?" tanya Ibas lembut disertai panggilan yang jarang digunakan karena merasa lebih tua dari Kirana.
"Lo tau 'kan, perjodohan ini terlalu mendadak. Gue bahkan nggak tau apa-apa tentang Satya."
Kirana mulai menceritakan apa yang dia dengar di ruang ganti butik tadi, juga perubahan sikap Satya setelah berbicara dengan seseorang melalui telepon.
"Gue nggak yakin bisa dapat informasi tentang mereka." Ibas menanggapi.
Sebenarnya, dia sedikit mengetahui tentang pria yang dijodohkan dengan Kirana. Satya tidak sebaik yang Pak de-nya kira, itu yang Ibas simpulkan dari cerita teman-temannya.
"Tapi pergaulan lo luas, Bas. Koneksi lo banyak, temen lo ada di mana-mana dan dari berbagai kalangan. Gue yakin hal kayak gini bukan sesuatu yang sulit."
Bastian diam. Dia mengamati raut wajah Kirana yang terlihat serius, tetapi ada kilat kekecewaan dari sorot matanya.
"Gue butuh informasi itu, Bas, Gue harus tau siapa mereka supaya gue bisa antisipasi kalau suatu saat berhadapan dengan mereka."
***
Satya kembali ke butik setelah menghilang selama lebih dari dua jam, meninggalkan Kirana begitu saja tanpa mengatakan apapun.
Satya adalah pria yang menjunjung tinggi egonya. Sama halnya dengan Kirana, dia juga tidak suka diremehkan. Yang paling buruk adalah dia mudah termakan omongan seseorang yang sudah dikenalnya sejak duduk di bangku SMA.
Orang tersebut salah satu saksi perjalanan hidupnya. Orang itu selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya, memberikan dukungan ketika dia dalam keadaan terpuruk.
Satya selalu mempertimbangkan pendapat orang tersebut setiap kali akan mengambil keputusan, meskipun tidak selalu menyetujui pendapatnya.
Close
Tulisan itu terpampang di pintu masuk. Meylani sudah mengatakan jika hari ini butiknya tutup lebih cepat dari biasanya.
Butik terlihat sepi, hanya ada tiga karyawan yang sedang bersih-bersih. Satya mengedarkan pandangan, tidak ada tanda-tanda keberadaan Kirana dan Desti di sana.
"Mbak Mey ada di ruangannya, Mas," ujar salah satu pegawai.
Satya mengangguk, lalu melangkah menuju ruangan yang bersisian dengan ruangan yang digunakan Kirana tadi.
Satya membuka pintu berkaca buram itu. Hanya ada Meylani yang sedang sibuk membuat sketsa gaun.
"Sudah selesai menenangkan diri?" tanya Meylani yang masih sibuk dengan peralatan gambarnya.
"Di mana Kirana?" Bukan menjawab, Satya malah balik bertanya. Pria itu duduk di depan meja kerja Meylani.
"Pulang." Santai dan tanpa mendongak.
Satya mengernyitkan kening. "Sama Desti?"
"Sendiri."
"Kenapa kamu nggak cegah dia?" Suara Satya sedikit meninggi.
"Dia bukan tanggung jawabku."
Pria itu memijat pangkal hidungnya. "Apa kata orang tuanya kalau dia pulang sendiri, Meh?"
Yang ditanya hanya mengedikkan bahu tak acuh.
Satya bangkit dari duduknya berniat meninggalkan ruangan desainer itu. Namun, perkataan Meylani menahan langkahnya.
"Durasi perkenalan nggak menjamin kredibilitas seseorang, Sat."
Satya berbalik, menatap wanita yang juga sedang menatapnya. "Maksudmu?"
"Kamu pasti paham maksudku."
Meylani menatap kepergian Satya. "Semoga hatimu cepat terbuka, Sat."
***
Satya berjalan tergesa-gesa keluar dari butik. Tangan kanannya memegang ponsel, mencoba menghubungi Desti.
"s**t!" Umpatan meluncur dengan lancar saat panggilannya tidak direspon.
Satya masuk ke mobil, menutup pintu dengan sedikit keras. Kembali mengutak-atik ponselnya, mencari kontak wanita yang akan istrinya.
"Aaarrgh! g****k!" Satya mengumpat sembari memukul stir. Dia lupa jika tidak menyimpan nomor telepon gadis itu, padahal Risma sudah pernah memberikannya.
Kepalanya disandarkan pada headrest dengan kedua matanya terpejam. Menarik nafas dalam lalu mengembuskannya.
Kembali membuka ponsel untuk menghubungi Desti. Nada dering kedua panggilan itu diangkat.
"Ha—"
"Kenapa kamu biarin Kirana pulang?" sembur Satya memotong sapaan Desti.
"Aku sudah cegah, tapi dia ngotot mau pulang karena ada janji," jawab Desti tak kalah kesal.
"Harusnya kamu tahan dia sampai aku datang."
"Kenapa aku harus lakuin itu?"
"Aku yang jemput dia, Des. Apa kata orangtuanya kalau dia pulang sendiri. Mereka bisa mikir kalau aku laki-laki breng—"
"Mas memang b******k!" sela Desti penuh penekanan. "Terlalu b******k untuk Kirana."
"Apa maksudmu?" tanya Satya dingin.
"Jangan kira aku nggak tau apa-apa. Bahkan, Ibu tau lebih banyak dari aku. Kejadian hari ini pun Ibu sudah tau sebelum aku memberi tahunya."
Desti memutuskan panggilan.
Kepala Satya semakin berdenyut. Sudah pasti ibunya murka, apalagi jika dia tidak berhasil menemukan calon menantu wanita itu.
Satya bingung ke mana harus mencari Kirana dan siapa yang harus dihubungi. Satu-satunya nomor orang terdekat yang dia punya adalah orang tua gadis itu. Namun, dia tidak mungkin menghubungi mereka.
Tidak menyerah. Satya membuka akun i********: miliknya. Mengetikkan nama lengkap Kirana. Sayangnya, ada banyak akun dengan nama tersebut.
Lelah menggulir, Satya berniat keluar dari aplikasi berbagi foto dan video secara online itu. Namun, salah satu video yang muncul di explore menarik perhatiannya.
Perasaan khawatir tiba-tiba menyergap saat menonton video berdurasi satu menit itu. Video berita pelecehan yang dilakukan supir taksi online pada penumpangnya.
"Ya, Tuhan. Ke mana aku harus cari kamu, Ki."