Tujuan

2207 Kata
Mencari seseorang tanpa mengantongi petunjuk apapun sama seperti nahkoda yang buta arah. Itulah yang saat ini terjadi pada Satya. Sebanyak apapun dia mengelilingi kota, kecil kemungkinan untuk bisa menemukan Kirana. Bertanya pada Desti dan Meylani pun percuma. Mereka juga tidak memiliki nomor ponsel Kirana. Gadis itu hanya meminta kartu nama tanpa memberikan nomor ponselnya. Lelah mengitari kota, Satya berhenti di sebuah coffee shop. Dia membutuhkan kafein untuk menenangkan pikiran setelah mendapat kultum dari sepupu dan teman kecilnya. Baru saja masuk ke dalam mobil. Ponsel pria itu berdering. "Halo," sapanya. "Papa belum pulang?" "Belum, Bel. Papa masih ada urusan." "Ketemuan sama Tante itu lagi?" Nada bicara Belva mulai terdengar kesal. "Kenapa Papa selalu punya waktu untuk ketemu dia tapi nggak untuk kami? Bahkan, Papa rela keluar tengah malam hanya karena dia sakit, berbeda kalau kami yang sakit. Jangankan merawat, pergi ke Dokter aja bukan Papanyang antar tapi Mbok Yas. Percuma punya orang tua kalau lebih mengenaskan dari anak panti." Tut! Tut! Tut! Baru saja Satya ingin menjelaskan, sambungan itu sudah diputus oleh Belva. Decakan kesal keluar dari mulutnya. Satya membuka aplikasi obrolan, berniat untuk mengirim pesan pada putrinya. Namun, dia kembali terkejut saat membaca riwayat percakapan dengan Belva. "Sial! Kenapa aku bisa lupa." Mengumpat kesal pada diri sendiri. Umpatan kembali terlontar saat melihat penunjuk waktu di ponselnya, pukul 17.00. Artinya dia sudah terlambat. Jam tiga sore tadi seharusnya dia menonton pertandingan basket Belva. Sekaligus mengenalkan Kirana kepada kedua putrinya. Satya mengusap kasar wajahnya. Denyutan di kepala semakin kuat. Kirana saja belum bisa ditemukan dan sekarang masalah bertambah karena melupakan janji dengan sang putri. Belum lagi, saat pulang nanti dia harus berhadapan dengan ibunya. Masih memiliki rasa tanggung jawab, Satya memutuskan untuk menghubungi Astika. Dia sudah menyiapkan alasan untuk melengkapi permintaan maafnya. "Halo." "Halo, Tante. Kirana sudah sampai belum?" tanya Satya tanpa basa-basi. Berusaha untuk menjaga nada bicara agar tetap tenang meskipun jantungnya berdetak tidak karuan. "Loh, dia nggak bilang sama kamu kalau nginep di apartemen sepupunya?" "Nggak." Decakan terdengar dari wanita yang melahirkan Kirana. "Kebiasaan," gumam Astika. "Tadi dia ngabarin Tante, katanya kamu nggak bisa nganter pulang karena ada kerjaan mendadak, sekalian ijin mau nginep di apartemen Tian." Pemaparan calon mertuanya membuat Satya bernafas lega. Satu masalah sudah selesai. Masih ada dua yang menunggu untuk dibereskan. *** "Bas, kulkas lo, sumbangin ke rumah sakit aja gih, buat nyimpen mayat," sindir Kirana saat melihat kulkas side by side yang sepi tanpa penghuni selain minuman dan buah. "Sembarangan! Kulkas mahal tuh," sahut Ibas yang sedang nonton televisi. "Percuma mahal kalau nggak ada isinya," balas Kirana. "Jadi, selama ini lo makan apa?" "Di sini banyak restoran, Ki." "Jajan mulu. Boros, lo," tukas Kirana. "Nggak papa duit gue banyak." Kirana beranjak dari depan kulkas setelah mengambil buah apel merah untuk mengganjal perutnya yang tidak terisi sejak tadi siang. "Buruan order makanan dari restoran yang paling mahal. Laper banget, nih," perintah Kirana seraya mendaratkan bokongnya di sofa. Bastian sontak menoleh. "Trus, gunanya lo di sini apa kalau kita pesan makanan?" "Lo nyuruh gue masak tapi nggak punya bahan apa-apa. Mau gue masakin tumis apel campur pisang atau sop anggur kuah bir. Pilih yang mana?" "Ayo belanja!" Ajak Ibas yang sudah bangkit. Kemudian menarik tangan dan menyeret Kirana yang terlihat ogah-ogahan. "Malam ini gue mau makan masakan rumah, mumpung ada koki gratis." Hanya mengenakan setelan rumah mereka pergi ke pusat perbelanjaan. Ibas mendorong troli, sedang Kirana yang memilih bahan makanan. Tidak ada perdebatan karena untuk urusan makan Ibas percaya pada selera Kirana. Sampai di apartemen, Bastian langsung membongkar plastik belanjaan dan menata stok makanan di kulkas, sedang Kirana mengambil udang, jagung manis dan beberapa bumbu. Udang saus padang adalah menu malam ini. Tidak ada menu tambahan karena Kirana sudah sangat lapar. Melihat kecekatan Kirana dalam memasak, Ibas menceletuk, "Udah pantes banget lo jadi emak-emak." Kirana yang sedang memindahkan masakan ke piring menoleh, memberikan tatapan tajam pada Ibas yang bersandar di pintu kulkas. Mereka menikmati makan malam sambil mengobrol. Termasuk masalah perjodohan Kirana. "Kok, lo mau aja dijodohin?" tanya Ibas. Yang dia tahu Kirana adalah gadis pemberontak. Hanya dia yang berani keluar dari jalur yang menjadi tradisi keluarga—menolak masuk dunia kesehatan. "Otak gue masih waras, Bas. Jelas gue nolak. Tapi, kali ini gue kalah sama Papa," jawab Kirana setelah menelan makanan di mulutnya. Bastian menggeser piringnya yang sudah kosong. Duduk bersandar sambil bersedekap. "Gue penasaran apa alasan Om Danu jodohin lo sama Satya? Empat belas tahun, Ki. Ibaratnya dia udah ngerasain surga dunia, sedangkan lo boker aja masih dicebokin." Perkataan Bastian membuat makanan yang dikunyah Kirana masuk ke saluran pernapasan hingga membuatnya terbatuk-batuk. Gadis itu menepuk-nepuk d**a. Setelah reda, dia melemparkan gulungan tisu bekas pada lawan bicaranya. "Pikiran lo emang nggak bisa jauh dari selangkangan." Kirana juga turut menyudahi makanannya. Menenggak air putih lalu menyeka mulutnya dengan tisu. Gadis itu berdeham sebelum memaparkan alasan sang papa dengan ekspresi mengejek. "Menurut Papa, dia pikirannya dewasa, bisa melindungi dan membimbing gue ke arah yang lebih baik. Katanya kalau nikah, gue nggak bakal punya pikiran untuk dugem." Kirana merotasi matanya sambil menggeram kesal. "Padahal gue bisa jaga diri dan nggak pernah melewati batas." "Bukan nggak pernah, tapi belum," tangkas Ibas. "Peluang lo untuk terjerumus lebih jauh sangat besar, Ki. Lo ingat Lidya?" "Mantan lo yang—" "Iya." sela Bastian cepat sebelum Kirana menyebutkan kesalahan fatal yang dilakukan wanita dari masa lalunya. "Dia juga dulu sama kayak lo. Sering ke klub dengan alasan untuk ngilangin stres. Tapi, dia rusak setelah bergaul dengan orang yang salah." Nada bicara Bastian berubah, lebih serius. Tatapan matanya menjadi sendu saat kembali teringat kenangan pahit. Dering ponsel menghentikan obrolan mereka. Kirana melirik ponselnya, melihat nama kontak si penelepon. "Siapa?" tanya Ibas karena Kirana mengabaikan panggilan itu hingga berhenti berdering. Kirana hanya mengedik bahu. "Nomor baru." Diam beberapa saat, ponsel itu kembali bersuara. "Angkat!" titah Ibas yang risih mendengar nada dering Kirana—potongan lagu boyband asal Korea Selatan. Decakan kesal keluar dari mulut Kirana. Dia tidak suka mengangkat telepon atau membalas pesan dari nomor baru yang tidak jelas siapa pemiliknya. "Halo," "Kamu di mana?" Kirana menjauhkan ponsel dari telinga, mengarahkannya ke depan wajah, lalu menatap pria di hadapannya. Ibas mengangkat dagu sekilas mengisyaratkan tanya 'Siapa?'. "Satya." Menjawab tanpa suara. "Halo. Kirana kamu dengar saya?" Volume suara Satya naik. "Ck, nggak usah teriak kali, Om," jawab Kirana ketus. "Kenapa?" "Jawab dulu pertanyaan saya." "Gue di apartemen. Kenapa?" "Kenapa tadi kamu pulang duluan? Harusnya kamu nunggu saya," "Waktu gue terlalu berharga buat nunggu sesuatu yang nggak pasti. Kalau nelpon cuma mau bahas masalah tadi, mending nggak usah. Bye!" Kirana memutuskan telepon sepihak. Menaruh ponselnya sedikit kasar sambil menggerutu sebal. Menarik nafas dalam dan mengembuskan perlahan. "Sabar, sabar. Perawatan kulit wajah itu mahal." Kirana bersenandika sambil memijat lembut wajahnya. Bukan prihatin, Ibas malah menertawakan. Baru saja berhasil meredam emosi ponselnya kembali berdering. Tanpa melihat nama si penelpon dia langsung menjawab panggilan tersebut. "Apalagi, sih, Om?" tanya Kirana dengan suara tertahan karena kesal. "Halo, Kirana." Kirana terperangah mendengar suara wanita dewasa di seberang telepon. Dia mengalihkan ponsel ke depan wajah. Matanya melebar sempurna dengan mulut terbuka saat melihat nama yang tertera di layar, Tante Risma. Mampus gue. "Ya, Bu," sahut Kirana disertai cengiran. "Masih di Surabaya, kan?" "Masih." "Besok makan siang di rumah Ibu, ya." Dari nada bicaranya, ini bukan permintaan tapi sebuah perintah. "Em, Kiran usahakan," jawab Kirana ragu. "Ibu tunggu ya, Nduk." Entah berapa kali Kirana mengembuskan nafas secara kasar hari ini. Terlalu banyak yang terjadi hingga membuatnya lelah dan kesal. Lebih parah dari merevisi skripsi. *** Pukul sepuluh pagi, supir pribadi Risma sudah menunggunya di lobi. Padahal Kirana sudah menolak dengan alasan akan diantar Bastian. Namun, Risma bukan orang yang mudah di bantah. "Mbak Kirana?" tanya pria bertubuh sedikit gemuk. "Iya." "Saya supirnya, Bu Risma." Sopan, pria itu memperkenalkan diri. Kirana mengikuti langkah supir yang dikirim calon mertuanya. "Rumahnya jauh, Pak?" tanya Kirana memecah keheningan. "Nggak. Cuma 20 menit." Saking ramahnya, senyum di wajah pria berambut cepak itu selalu muncul ketika berbicara. Mereka tiba di rumah bergaya klasik jawa modern. Rumah modern dengan atap berbentuk joglo yang dihiasi beberapa ukiran memberikan kesan budaya jawa yang kental. Teras rumah yang terlihat asri karena berhadapan langsung dengan halaman hijau yang ditumbuhi beberapa tanaman hias dan buah-buahan hasil setekan. Baru menginjakkan kaki di teras, suara riang Risma sudah menyambutnya. "Hai, Sayang." Risma memeluk dan mencium pipinya setelah Kirana mencium tangan wanita itu. "Masuk, yuk!" Risma menggandeng tangan calon menantunya. Warna coklat abu-abu serta furnitur kayu dan anyaman bambu mendominasi di bagian dalam, menambah kesan tradisional. Terlebih dapur yang luas, khas orang jawa jaman dulu. Risma mengajak Kirana masak bersama. Sebenarnya Kirana yang lebih banyak bekerja, sedang Risma sibuk bercerita tentang makanan yang disukai serta tidak oleh anak dan cucunya. Sesekali dia mengarahkan dan mengoreksi rasa. Bolehkah Kirana menganggap ini sebagai tes keahlian? Apa Risma seperti ibu-ibu kolot yang menjadikan keahlian memasak sebagai syarat untuk jadi menantu? Entahlah tidak ada yang tahu apa maksud dari ajakan memasak bersama ini. Yang jelas, wanita pensiunan guru itu tersenyum puas melihat bagaimana lihainya Kirana memegang peralatan dapur. Selesai memasak mereka makan siang di sebuah gazebo jati ukir, yang di bawahnya terdapat kolam ikan mas. Ada yang membuat Kirana kagum pada sosok Risma. Calon mertuanya itu mengajak para asisten rumah tangga untuk makan bersama—di tempat yang sama. Mengobrol tanpa rasa canggung. Sangat kekeluargaan. Tak terasa satu jam berlalu. Gazebo sudah bersih dan hanya menyisakan dua orang wanita dari generasi yang berbeda. Suguhan jus jeruk dan beberapa jajanan tradisional melengkapi sesi bercerita dan tanya jawab mereka. "Satya bercerai saat si kembar berumur dua tahun. Sejak saat itu, mereka benar-benar kehilangan kasih sayang ibu kandungnya, bahkan … sosok ayah." Risma bercerita dengan suara sendu. Matanya memandang lurus ke depan. Ada gurat kesedihan serta penyesalan yang mendalam di wajah tuanya. "Perceraian itu membuat Satya hancur. Dia jadi orang yang gila kerja. Hampir ndak punya waktu untuk anak-anak. Ibu dan Bapak juga sibuk bekerja, meski sesekali menyempatkan untuk bermain bersama mereka. Tapi itu ndak cukup. Mereka tumbuh dengan kasih sayang dan perhatian yang kurang." Kirana tidak bersuara, dia hanya mendengarkan dengan saksama. "Selva, dia sangat tertutup dan jarang bicara. Kelihatannya penurut, tapi tidak ada yang tahu bagaimana isi hatinya. Hanya Desti yang dekat dengannya. Belva adalah kebalikan Selva. Anak itu lebih banyak protes, keras kepala dan sedikit liar. Kamu harus lebih sabar menghadapinya." Pandangan Risma kini beralih pada Kirana dan tersenyum. "Ibu rasa belum terlalu terlambat untuk menghadirkan lagi sosok Ibu untuk mereka." "Mas Satya?" Paham dengan maksud pertanyaan Kirana, Risma menghela nafas sebelum menjawab. "Dia beberapa kali mengenalkan wanita, tapi tidak ada yang Ibu sukai. Mereka tidak punya sifat keibuan. Bahkan, salah satu dari mereka membuat Belva membenci setiap wanita yang dekat dengan Satya." Kirana kesusahan menelan saliva. Menghadapi Satya saja dia sudah harus mengerahkan seluruh kemampuan dan berusaha mati-matian menahan emosi. "Kenapa Ibu percayakan mereka sama Kiran?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga. Risma menggenggam tangan Kirana. Menatap lembut disertai senyuman yang menghangatkan jiwa. "Karena Ibu yakin kamu mampu meluluhkan hati mereka dan menjadi ibu yang baik." "Tapi, Kiran nggak sebaik yang Ibu pikirkan." Kirana menjeda, menatap netra wanita yang juga menatapnya dengan sorot penuh harap. "Kiran suka ke klub malam. Ibu pasti tahu apa yang dilakukan orang di dalam sana, meskipun Kiran tau batasan," aku Kirana tanpa ragu. Dia berharap ini bisa menjadi alasan bagi Risma untuk membatalkan pernikahan. Tidak ada ekspresi kaget atau marah, yang ada wanita berkacamata itu tersenyum ramah dan berkata, "Ibu tahu semua tentangmu tanpa terkecuali. Bahkan, hal yang tidak diketahui orang tuamu." Kirana-lah yang dibuat terperanjat tak percaya. Dari mana wanita ini tahu. Seakan bisa membaca pikiran Kirana, Risma memberi penjelasan. "Ibu akan tau jika Ibu ingin tau, Nduk. Ibu tau kamu suka ikut kegiatan amal di panti asuhan dan rumah singgah untuk anak-anak pengidap kanker. Kamu juga ikut berpartisipasi membangun rumah baca untuk anak-anak yang kurang mampu. Bagian jeleknya, kamu pernah masuk kantor polisi karena salah satu teman mainmu seorang pecandu. Pernah menjadi korban salah sasaran seorang istri pengusaha." Kirana semakin terperangah mendengar penjabaran Risma. Memasuki semester empat di pernah masuk kantor polisi karena salah satu teman nongkrongnya seorang pemakai narkoba. Beberapa bulan sebelum kelulusan, dia dilabrak istri seorang pemilik PH karena dikira selingkuhan suaminya. Padahal saat itu Kirana sedang melakukan pembicaraan mengenai karyanya yang akan diangkat menjadi mini series. Masalah-masalah itu tidak sampai ke telinga Orang tua dan Kakaknya. Bastian beserta pengacaranya yang selalu membantu Kirana. "Bukan wanita kalem, lemah lembut yang penurut, untuk mendidik Selva terutama Belva Ibu perlu sosok tangguh yang punya pendirian. Tujuan utama perjodohan ini adalah cucu-cucu Ibu bukan Satya." "Kalau Kiran gagal?" "Kamu pasti bisa. Ibu dan Desti ndak lepas tangan. Kami akan membantumu. Seandainya pun kamu gagal … Ibu yang akan menjauhkanmu dari mereka." "Apa Kiran sedang dimanfaatkan?" Datar tanpa ekspresi. Risma sedikit terkejut dengan pertanyaan Kirana. Namun, detik berikutnya dia kembali tersenyum. "Anggaplah ini hubungan yang saling menguntungkan. Ayahmu menyerahkanmu agar terlepas dari kebiasaan buruk, dan kami memintamu agar bisa mencegah Belva dan Selva terjerumus dalam hal buruk itu." Dari semua hasil penyelidikan, Risma menyimpulkan jika Kirana adalah gadis yang bertanggung jawab. Dia liar, tetapi tidak pernah melewati batasan yang ditetapkan oleh Bima. Dia memegang teguh janji pada kedua orangtuanya. Satu lagi jiwa kompetitif yang mudah terpancing, Kirana menyukai tantangan dan tidak suka diremehkan. Risma memanfaatkannya. Secara tidak langsung dia sedang berusaha membangunkan sifat Kirana tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN