7. Ingin Sendiri

1009 Kata
Rita akhirnya meninggalkan restoran Karina. Ia merasa tidak terima saat mendengar ucapan sang menantu meski itu adalah sebuah kebenaran. Dari hasil restoran itu, Evan bisa melanjutkan kuliah hingga jenjang magister. Hal yang sama pun dilakukan oleh Karina yang diam-diam juga mengambil kuliah jenjang magister. Bedanya, Evan kuliah secara reguler dan Karina mengambil kuliah jarak jauh yang tidak mengharuskan tatap muka setiap saat. Kesetaraan sudah mereka dapatkan, tetapi tetap saja tidak menjamin jika rumah tangga mereka akan selalu baik-baik saja. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Karina belum juga sampai di rumah. Evan sudah berada di rumah sejak pukul sembilan malam tadi. Ia pun mondar-mandir menunggu sang istri di depan pintu. Nyatanya, pelukan Karina-lah yang ampuh meredakan emosi Evan hingga saat ini. "Mbok, tadi Ibu ada telepon ke rumah, nggak?" tanya Evan pada asisten rumah tangganya yang kebetulan keluar kamar karena membuatkan kopi untuk Evan. "Nggak ada telepon, Bu Karina mungkin masih di restoran karena kemarin cerita kalo ada pesanan dari salah satu perusahaan besar," jawab Mbok Sarni sambil menyajikan kopi panas di atas meja. "Kapan dia bilang?" tanya Evan sambil terus menghubungi Karina yang tidak mengangkat panggilannya itu. "Kemarin malam, Pak," jawab Mbok Sarni lalu pamit untuk masuk ke dalam rumah. Evan mengembuskan napas kasar saat ini. Ada saja tingkah sang istri yang membuatnya cemas. Tidak ada di rumah selalu dicari, sedangkan saat ada di rumah mereka seperti dua orang asing yang terpaksa tinggal bersama. Lucu? Entahlah, karena seperti itulah faktanya. "Mbok, Pak Man udah tidur?" tanya Evan dan membuat langkah wanita berusia empat puluh lima tahun itu berhenti. "Pak Man lagi ikut ronda. Malam ini giliran Pak Evan yang dapat giliran." Mbok Sarni menjawab dengan mata menahan kantuk yang luar biasa. Evan hanya bisa mengembuskan napas panjang. Tidak ada pilihan lain selain datang ke restoran. Tubuhnya sangat lelah, tetapi tetap harus menyusul Karina. Ia harus memastikan jika sang istri memang benar ada di tempat itu. Tanpa pikir panjang, laki-laki yang hanya memakai kaus pendek dan celana chino itu mengambil kunci mobil. Ia harus pergi menuju ke restoran. Mata mengantuk dan tubuh lelah luar biasa, membuat Evan tidak berani mengebut. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di restoran karena Evan melajukan mobil dengan sangat pelan. Lampu restoran masih menyala meski pintu masuk sudah ditutup dan tertera tulisan closed. Evan segera membuka pintu dan membuat beberapa pegawai menoleh. Mereka menganggukkan wajah ketika melihat suami bos mereka. Karina saat ini masih berada di dapur untuk membantu memasak ayam panggang. "Bu Karina di mana?" tanya Evan dengan nada dingin seperti biasanya. "Ada di dapur, Pak." Salah satu dari mereka menjawab dengan rasa takut luar biasa. Evan lantas berjalan menuju ke dapur. Benar, sang istri sedang sibuk memasak dan sudah mencepol rambutnya. Evan mendekati sang istri yang tidak menyadari keberadaannya saat ini. Ia menepuk bahu Karina dengan keras. "Mas Evan?" Karina sangat terkejut saat melihat kedatangan Evan malam ini. "Kamu lupa kalo punya suami?" Bukan kalimat pertanyaan melainkan sebuah sindiran tajam dan kasar. Karina mengembuskan napas kasar saat ini. Ia lantas mengajak Evan untuk ke atas. Rasanya tidak enak jika bertengkar di depan banyak karyawan. Mereka juga pasti risih dan sungkan mendengarkan perdebatan masalah rumah tangga mereka. "Ada apa, Mas? Sampai nyusul ke restoran. Aku ada pesanan dan jumlahnya lumanyan banyak." Karina mengatakan hal yang sebenarnya pada sang suami. "Bukan berarti kamu lupa sama kewajibanmu sebagai istri. Aku juga butuh diurus!" bentak Evan merasa kesal dengan alasan sang istri. "Setiap hari aku berusaha mengurus kamu. Menyiapkan segala keperluan kamu. Tapi, apa kamu sadar? Kamu bahkan sama sekali tidak menyentuh masakanku. Itu terjadi hampir setiap hari, Mas. Maaf, aku lelah," kata Karina sambil menahan sebak di matanya. "Lalu, kamu pikir aku nggak lelah?" Evan terbiasa membesarkan masalah yang terjadi antara mereka berdua tanpa memedulikan perasaab Karina. "Kita mungkin sudah sama-sama lelah. Oleh karena itu, mari kita sembuhkan diri. Sementara aku akan tinggal di restoran ini. Kita butuh waktu untuk koreksi diri." Ucapan Karina sangat menohok bagi Evan. Evan tidak pernah mau menyadari keegoisannya saat menjalani rumah tangga bersama Karina. Bahkan tanpa Karina sadari, sikap itu sudah ada sejak mereka pacaran dulu. Sayang, cinta membutakan semua itu. Karina berharap Evan akan berubah setelah menikah. "Kamu berani membangkang sekarang?" Evan menatap tajam ke arah Karina yang baru saja mengusap air matanya. "Aku tidak membangkang, hanya saja butuh ketenangan saat ini. Aku ingin sendiri," kata Karina sambil menatap ke arah Evan. Tanpa pamit, Evan langsung keluar dari ruangan Karina. Ia kesal lalu segera menuju ke parkiran mobil. Pikirannya sangat kacau saat ini. Mereka biasa bertengkar, tetapi tetap berada dalam satu rumah yang sama. Karina duduk di kursi sambil menelungkupkan wajah dengan di atas meja. Masalah akan selalu hadir setiap hari tanpa jeda. Karina tidak bisa menebak kapan masalah rumah tangga mereka akan berakhir. Ia juga lelah jika harus menghadapi tingkah Evan yang sudah di luar batas. Pagi datang begitu cepat, kali ini semua pegawai Batara Corporation sudah datang. Mereka pun sudah berada di ruang atas. Banyak pujian tulus yang keluar dari mulut mereka. Dekorasi dan ruangan yang ditata oleh karyawan Karina Kitchen luar biasa. "Kenapa harus di sini?" tanya Damar yang merasa kesal dengan ulah Sandra. "Tempat ini luar biasa, Pak. Lagi pula tempatnya juga tidak jauh dari kantor. Bapak belum pernah makan rendang di restoran ini, makanya siang ini harus makan, Pak. Biar tahu bagaimana kualitasnya," kata Teddy dengan santai. "Oh, jadi kalian datang hanya untuk makan? Astaga! Kenapa kantor masih mempekerjakan orang seperti kalian?" Sindiran itu benar-benar membuat Teddy diam seketika. Damar jelas sangat kesal karena perintahnya tidak dipatuhi oleh Sandra. Ia merasa ada beberapa pembangkang di kantor milik keluarga besarnya. Sayang, Damar tidak tahu jika Teddy sengaja mengundang Anggi--mama Damar yang juga datang ke restoran ini. Anggi akan mengajak banyak orang dari rumah untuk ikut makan bersama. Rapat berjalan dengan alot karena Damar belum sepenuhnya setuju dengan ide yang diberikan oleh beberapa pegawainya. Ide itu dianggap mempunyai banyak kelemahan. Damar ingin agar strategi pemasaran produk Batara Corporation diubah. Akan tetapi, ia sendiri belum menembukan cara yang cocok. "Setiap ide pasti akan menemukan kelemahan, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba." Pendapat itu membuat Damar terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN