1. Bertemu dengan Tragedi

1864 Kata
Angin sore mulai berhembus dingin tapi itu tidak membuat seorang wanita berpindah dari kursi taman di sebuah rumah sakit. Parasnya yang cantik itu kini mendung sama seperti cuaca di atas sana, matanya memerah karena baru saja selesai menangis. Tenggorokannya sakit karena menahan semua teriakan yang dari tadi ingin ia keluarkan. Marah. Wanita itu marah tentu saja, hanya saja tidak tahu kepada siapa. Mungkin marah pada Tuhan yang memberinya nasib seburuk ini, atau marah pada orang lain yang sudah membuatnya harus melalui peristiwa sial ini. “Harus sudah segera harus dilunaskan besok ya, Bu. Kalau tidak, operasinya tidak bisa dilakukan. Apalagi Ibu dan kakak ibu tidak punya asuransi.” Ucapan dari seorang petugas rumah sakit tadi siang itu tidak bisa pergi dari kepala Emalyn. Dia hanya bisa kembali menunduk dan menangis. Ema bingung tentu saja, dia tidak punya uang untuk biaya operasi kakaknya. “Uang sialan! Beberapa dari manusia di bumi ini bahkan tidak memedulikannya sedangkan aku begitu sulit mendapatkannya!” Ema mengumpat. Mengeluarkan kekesalannya yang dia tahu sendiri tidak berguna. Sebuah denting tanda pemberitahuan pesan masuk di ponselnya membuat Emalyn mengeluarkan benda pipih itu dari dalam kantong jaket. Sebuah pesan yang sepertinya menjadi jawaban dari semua pertanyaannya, sebuah jalan keluar di saat situasi buntunya muncul di layar ponsel itu. Tapi pesan itu tidak lantas menciptakan senyum, Ema kini menarik lagi bibirnya melengkung ke bawah. Matanya bergerak menandakan dia tengah berpikir, tangannya saling meremas sedang menimbang keputusan. Butuh beberapa waktu sampai akhirnya dia menelan salivanya dan menarik nafas panjang, dengan sekali anggukan kepala wanita dua puluh lima tahun itu berkata, “Aku akan menanggung semua dosa. Aku rela masuk neraka untuk Eva!” *** Langkah kaki Ema masuk perlahan ke dalam sebuah hotel yang tampak sangat megah. Hanya dari interiornya saja, orang bisa tahu kalau hotel bintang lima ini hanya diperuntukkan untuk para kaum elite dan mereka yang bingung menghabiskan harta. Ema tampak linglung sebentar sebelum seorang pria tinggi kurus yang sedari tadi memperhatikan dia datang menghampiri. “Kamu mencari Mami Agnes?” tanya pria itu tanpa basa-basi. “Eh?” Ema cukup terkejut dia sampai membulatkan matanya karena kaget. Pria itu tidak bereaksi, dia hanya memberikan tatapan datar pada Ema. “I-iya.” jawab Ema. “Ikut denganku!” perintah pria itu lalu berjalan duluan membuat Ema langsung sadar dan mengikutinya. “Kamu tahu dari mana aku mencari Mami Agnes?” tanya Ema. “Tidak ada tamu di hotel ini yang berpenampilan seperti kamu ini,” jawab pria itu yang kini sedang menekan tombol lift. “Memangnya kenapa dengan penampilanku?” “Kumuh! Seakan-akan ada tulisan di wajahmu yang bilang kalau kamu butuh uang.” Pria itu menjawab dengan kejam, tidak peduli akan perasaan Ema. Gadis itu marah tapi dia tahu tidak ada gunanya menceramahi lelaki itu. “Kamu butuh sekali uang ya?” Ema masih suka terkejut dengan kehadiran pria itu. Selain karena pikirannya masih melayang pada Eva, dia juga sedang gelisah dengan tindakan yang sudah dia ambil sekarang. “Kamu terlihat sangat--” Pria itu menghentikan ucapannya dan berbalik menatap Ema. “Polos,” sambungnya. Ema menunduk diam. “Tidak masalah. Semua manusia melakukan dosa. Lagi pula dunia ini kejam, tidak akan ada yang menolong dirimu selain dirimu sendiri,” lanjut pria itu. Bunyi denting lift diiringi dengan pintu lift yang terbuka kembali mengejutkan Ema. Lelaki itu melangkah keluar membuat wanita itu juga mengekorinya. Keduanya berjalan menuju sebuah kamar yang kemudian diketuk pintunya oleh lelaki kurus itu. “Masuk!” perintah pria itu setelah pintu telah terbuka. “Kamu tidak ikut masuk?” tanya Ema. Begitu polos. “Tugasku hanya mengantarkan wanita-wanita sepertimu.” Lelaki itu segera pergi dan membuat Ema masuk ke dalam kamar hotel itu. Kamarnya tampak sangat berkelas dengan d******i motif marbel hitam dan corak emas yang begitu menunjukkan kesan mahal. “Aku tahu kamu pasti datang, Sayang. Cepat atau lambat.” Perhatian Ema kini tertuju pada seorang wanita yang terlihat berusia empat puluh tahun dengan gincu merah menyala dan juga baju motif macan. Wanita itu tengah merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran besar itu dengan satu tangan menopang kepalanya. Ema menelan salivanya dan mengangguk pelan. “Mencari uang memang sulit bukan?” tanya wanita itu lagi. Wajahnya menampilkan senyum mengejek yang kentara. Apalagi karena terakhir kali Ema bertemu dengannya, wanita itu mengatakan dengan yakin bahwa mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Tapi kerasnya hidup Ema membuatnya kembali merangkak ke arah wanita itu. “Kamu butuh berapa?” tanya wanita itu lagi. “Se-seratus juta, Mami.” Ema menjawab dengan tergagap. “Hm, seratus juta ya.” Mami Agnes yang tadi di sapa Ema itu tampak berpikir sebentar. “Apa kamu masih suci?” tanyanya lagi. “Hah?” Wanita itu mencebik. “Apa kamu masih perawan?” Ema diam sebentar lalu mengangguk. Dia sudah masuk ke dalam kandang singa jadi risiko untuk dimakan tentu saja sudah dia pertimbangkan. “Kau yakin?” Alis wanita nyentrik itu naik sebelah. “Aku tidak bisa membuktikannya tapi aku belum pernah disentuh oleh lelaki mana pun. Seumur hidupku aku hanya tahu bekerja,” jawab Ema. Dia merasa bodoh karena menjawab pertanyaan bodoh itu dengan jujur. Ema memperhatikan perubahan ekspresi yang terjadi pada wajah Mami Agnes, seringainya muncul. Seperti seekor serigala licik wanita itu bangkit dari tempat tidur dan menghampiri Ema. “Bagus. Aku suka kepolosanmu!” Entah itu pujian atau hinaan, Ema memilih menahan dirinya. “Kamu akan kaya kalau bekerja denganku,” ujar Mami Agnes lagi yang langsung dibalas Ema dengan gelengan kepala kuat. “Hanya sekali ini saja!” katanya tegas. “Yakin? Kata-katamu yang terakhir kali itu juga tidak bisa dipercaya.” Wanita itu tertawa keras, mengolok Ema. “Hanya sekali ini saja,” ulang Ema namun kali ini dengan nada yang lirih. “Baiklah ... baiklah ... tapi--” Mami Agnes kembali menatap Ema. “Kalau sampai kamu tidak perawan lagi, maka kamu yang harus membayarku seratus juta?” Ema terkejut tentu saja tapi kemudian mengangguk karena merasa dirinya ada di pihak yang benar. “Oke! Seratus juta. Nomor rekeningmu masih yang lama ‘kan?” Mami Agnes kembali ke kasur untuk mencari ponselnya. “Eh?” “Kamu mau dibayar sekarang ‘kan?” tanya wanita itu lagi membuat Ema mengangguk cepat. “Tenggat waktunya adalah besok,” jawab Ema. “Oke, sudah!” Wanita itu mengarahkan layar ponselnya pada Ema membuat wanita itu bisa melihat bukti pengiriman uang yang telah berhasil berpindah ke rekeningnya. Mata Ema langsung berkaca, tidak percaya kalau dia bisa menyelamatkan Eva. “Oke, sekarang waktunya bekerja!” Wanita itu menepuk tangannya beberapa kali sebagai tanda bagi Ema. “Kamu akan melayani tamuku yang sangat istimewa! Tidak ada tamu yang lebih penting dari pada dia,” ujar Mami Agnes. Ema mengangguk. Dia memilih dosa dan sudah mendapatkan upah dunia. Kini dia harus membalas upah itu. “Wah!” Mami Agnes menutup matanya dengan tangan setelah melihat sesuatu di ponselnya. “Kamu benar-benar wanita beruntung!” Ema tidak tahu harus merasa senang atau malah merasa buruk dengan kalimat barusan. Dia tidak beruntung, kalau dia beruntung harusnya dia tidak berada di sini. Menjual tubuhnya hanya untuk biaya rumah sakit kakaknya. “Dia masih muda dan tampan,” lanjut Mami Agnes. Dia menunjukkan sebuah foto laki-laki muda yang tengah tersenyum lebar ke arah kamera. Harus diakui Ema, lelaki di foto itu memang tampan. “Ditambah lagi dia kaya! Sialan! Aku iri padamu!” Ema masih saja diam. “Sayang sekali dia malah meminta seorang gadis perawan, kalau dia mau yang berpengalaman maka aku akan maju paling depan!” Mami Agnes mengakhiri kalimatnya dengan tawa. “Pekerjaan kamu gampang. Menuruti segala perintahnya, dia akan meniduri kamu dan setelah kamu bisa pulang dengan uang banyak. Mudah bukan?” Ema bersumpah dia benar merasa gampang mendengar ucapan g***o yang satu itu tapi beberapa detik kemudian setelah otaknya mulai berjalan, dia tahu bahwa itu tidak akan semudah yang diungkapkan. “Sekarang ganti baju yang sudah kusiapkan dan pergi ke lantai paling atas. Ini kartu aksesmu.” Mami Agnes menyerahkan sebuah kartu pada Ema. “Cepat ganti baju, akan kubantu kamu berdandan. Kamu ini seperti berlian yang berdebu.” *** Sinar bulan yang terang masuk melalui jendela kaca besar di ruangan itu. Di sebuah meja bulat di ruangan itu sudah ada tiga botol minuman keras dengan merek terkenal dan mahal. Dua di antaranya sudah habis diteguk seorang pemuda yang duduknya sudah mulai miring. Jas mahal milik pria itu sudah tergeletak di lantai dekat kakinya, sementara si pemilik hanya memakai kemeja putih yang kancingnya sudah terbuka setengah. Kemeja dengan kain satin itu tampak basah karena tumpahan alkohol. Terdengar geraman halus dari bibir pria itu, tubuhnya sudah lelah tapi sayangnya otaknya tidak. Pusat tubuhnya itu berkali-kali menayangkan kejadian kemarin yang membuatnya menangis semalaman dan sudah menghabiskan berbotol-botol alkohol sampai hari ini. Memang tidak langsung meneguknya seperti orang gila tapi cukup untuk membuatnya pusing seharian ini. Ingatan tentang mantan tunangannya yang bernama Bella itu kembali lagi, ingatan bagaimana Bella dia temukan berada di bawah kukungan sahabatnya sendiri di sebuah kamar hotel. Keduanya hampir tidak berbusana, cukup untuk menjelaskan niat mereka selanjutnya. “ARGH!!” Pria itu memukul botol berisi minuman keras itu sehingga jatuh dan pecah. “Dasar b******k!!” Pria itu kembali memaki lalu tak lama kemudian menangis. Hatinya sakit sekali. Dari dulu dia selalu mendapatkan yang terbaik, tidak menyangka bahwa gadis terbaiknya dan juga sahabat terbaiknya malah memberikannya luka sebesar ini. “Apa kurangnya aku, Bel?” Arlo masih ingat jelas teriakannya untuk Bella kemarin. “Aku kaya, aku tampan dan aku lebih dari dia!” Kini Arlo menunjuk Bima-sahabatnya. Ralat, mantan sahabatnya. Bella diam, begitu juga dengan Bima. “Lo sadar gak sih sama apa yang lo lakuin sekarang? Lo disentuh sama sembarangan lelaki kayak w************n!” Tidak ada lagi kata lembut dari Arlo untuk Bella, wanita yang paling dia sayang itu. “IYA! Gue memang w************n! Emang kenapa?” Kali ini Bella balas menyerang Arlo. Serangangan itu berhasil membungkam Arlo yang sedari tadi selalu bicara dan merendahkan Bella juga Bima. “Lo bilang gue w************n? Oke, gue terima. Tapi gue lebih suka jadi w************n daripada cuma jadi wanita boneka buat Lo juga keluarga lo itu! Gue memang w************n emang kenapa? Lo bingung kenapa w************n kayak gue lebih milih tidur sama sahabat lo sendiri daripada lo?” Bella tidak menghentikan aksi provokasinya. “Gak ada cewek yang mau tidur sama lo, Arlo! Gak ada! Gak ada dari mereka yang sudi tidur sama Lo apalagi kalau tahu seberapa toxic, egois dan juga manipulatifnya elo! Pegang kata-kata gue, GAK ADA!” Arlo hampir menampar Bella karena sudah berani berteriak di depannya tapi Bima bergerak cepat dengan menahan tangan Arlo. “Jangan jadi banci dengan mukulin cewek, Lo!” Arlo menarik tangannya dengan kasar, dia menatap marah ke arah Bima dan juga Bella. “Gue akan buktiin ke kalian kalau akan ada cewek yang mau tidur sama gue!” “Pak Arlo?” Suara itu membuat Arlo perlahan kembali dari ingatannya tadi. Dia menatap ke arah seorang wanita cantik yang sedang berdiri di depannya dan menatapnya dengan khawatir. “Nah ini dia,” ucap Arlo lalu tersenyum miriing. “Hah?” Arlo bangkit dari duduknya, menarik pinggang wanita itu agar menempel dengannya. “Maukah kamu tidur denganku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN