2. Mewujudkan Keinginan dan Kebutuhan

1846 Kata
“Hati-hati!” Ema bergegas mendekat setelah dia melihat pria di hadapannya kehilangan keseimbangannya, dengan refleks wanita itu membantu menahan beban tubuh pria yang jatuh lebih besar darinya itu. Bau alkohol begitu tajamberedar di sekitar tubuh pria itu, wajahnya tampak memerah sangat kontras dengan kulit di lehernya yang putih. Namun pandangannya masih bisa dikatakan sadar, matanya bergerak memandang Ema. “Duduklah.” Ema membantu pria itu duduk di kursi lalu berjalan mengambil air putih yang dia lihat berada di atas meja pantry. Dia bahkan baru sadar kalau kamar hotel ini memiliki dapur juga bar mini. “Berapa harga menginap di kamar semewah ini?” gumam Ema lalu kembali dengan sebotol air mineral di tangannya. “Minum dulu.” Pria itu mengangguk kecil lalu mengambil botol yang disodorkan Ema padanya. “Thanks,” ucap pria itu. Ema mengangguk lagi sebelum dia mengambil tempat duduk di depan lelaki asing itu. “Namamu siapa?” tanya pria itu. “Ema,” jawab Ema singkat. “Nama saya Arlo,” balas Arlo. Ema mengangguk, Mami Agnes sudah memberitahu nama dari “klien”nya hari ini. Tapi wanita itu tidak memberitahukan latar belakang dari Arlo, dia hanya bilang kalau lelaki yang sudah membayarnya hari ini adalah seseorang yang super kaya dan istimewa. Ema memperhatikan sekitarnya dan mengangguk setuju, hanya orang tertentu saja yang bisa berada di kamar hotel mewah seperti ini. Ada hening yang menciptakan suasana kikuk dalam waktu yang lama, dua orang manusia itu hanya bisa duduk diam sambil berhadapan. Yang satu sedang berkutat dengan pikirannya apakah dia harus mengubah citra dirinya dengan pria b******k sementara yang satunya sedang mengumpulkan kembali keberaniannya yang sudah mulai terpecah-pecah. “Saya tebak kamu butuh uang banyak ‘kan?” tanya Arlo memecah keheningan. Ema tersentak kaget tapi sedetik kemudian dia menguasai dirinya lagi dan mengangguk pelan. “Tentu saja.” Arlo mengangguk merasa benar dengan pemikirannya. “Saya minta wanita perawan yang belum pernah disentuh lelaki dan banyak lagi persyaratan, pasti sulit baginya menemukan wanita seperti kamu,” lanjut Arlo. Ema hanya diam saja, ucapan Arlo tadi membuatnya kembali merasa gugup. “Hmp!” Arlo menutup mulutnya dengan tangan, rasa mual tiba-tiba saja menyerangnya. “Anda tidak apa-apa?” tanya Ema. Arlo menggeleng cepat. “Aku rasa aku terlalu banyak minum.” “Ya.” Ema menatap ke botol alkohol yang ada di atas meja. Matanya lalu mengarah ke arah lantai karpet di mana sudah ada tiga botol yang sama berasa di sana. “Anda memang sudah minum terlalu banyak,” lanjut Ema. “Saya dengar sup daging yang mengandung jahe bisa membantu Anda menghilangkan rasa mual,” ucap Ema. Arlo menatapnya sebentar, tidak bereaksi apa-apa sebelum mualnya kembali datang dan membuatnya kembali menunduk karena menahan keluarnya isi perut. “Bagaimana kalau memesannya? Anda butuh itu untuk meredakan efek alkohol,” ucap Ema. Arlo hanya bisa mengangguk dan menutup matanya, dalam hatinya dia malu juga karena harusnya saat ini dia bertindak selayaknya pria nakal seperti yang diinginkan Bella. Nyatanya dia malah seperti bayi yang harus diurus. “Mau berbaring di kasur saja? Sepertinya Anda akan lebih nyaman jika berada di sana,” ujar Ema lagi. Arlo ingin membantah tapi wanita itu sudah membantunya berdiri dan membawanya ke kasur dan tubuh Arlo mengikutinya. “Jadilah badboy, Lo!” ucap Arlo dalam hatinya, mengingatkan dirinya sendiri kalau itu adalah tujuan awalnya. “Istirahat sebentar, nanti akan saya bangunkan kalau semuanya sudah siap,” ujar Ema yang bahkan membantu Arlo memakai selimut. Dia benar-benar menjadi bayi besar. Tapi kantuk yang ditunggu Arlo beberapa hari ini akhirnya datang juga, perlahan tapi pasti nafasnya menjadi teratur berangsur menghilangkan sakit kepala yang menderanya beberapa hari ini. Sampai akhirnya Arlo tidak sadar kalau dia tertidur juga. “Pak Arlo! Pak Arlo!” Suara itu ditambah dengan guncangan kecil di tubuhnya berhasil membuat Arlo bangun. Arlo cukup terkejut dengan wanita asing yang membangunkannya sampai beberapa detik kemudian dia kembali mengingat siapa wanita itu. “Anda tidak bisa tidur dengan perut kosong seperti itu, ayo bangun! Saya sudah pesankan makanan yang bisa membantu Anda meredakan efek alkohol,” ucap Ema yang membantu Arlo bangun. “Saya bisa sendiri,” ujar Arlo menolak bantuan Ema. Lelaki itu bergegas menuju ke arah meja makan dan menemukan ada banyak makanan di sana. “Ada sup daging dan aku juga memesankan minuman jahe. Itu akan sangat membantu,” ucap Ema. Arlo duduk dan hanya menatap makanan di depannya itu, ini memang pertama kali baginya minum sampai dia merasa mual. Selama ini dia hanya minum alkohol jika ada acara tertentu saja. Tubuhnya pasti kaget dengan jumlah alkohol yang masuk ke dalam tubuhnya dua hari ini. Arlo pelan-pelan meminum kuah dari sup daging itu dan harus dia akui bahwa saran dari Ema bisa membuat perutnya lebih tenang sekarang. Arlo terus meminum kuah dari sup daging itu sampai rasa mual di perutnya mereda. “Minum jahenya juga,” ucap Ema menunjuk ke arah gelas di atas meja. Arlo menurut, dia mengambil gelas itu dan meneguknya pelan-pelan. Sekali lagi, Ema benar. “Terima kasih,” ucap Arlo. Ema menggeleng sambil tersenyum. “Saya yang harusnya berterima kasih.” Arlo terdiam melihat senyum Ema, baru ini dia sadar kalau wanita berambut panjang itu memiliki senyum yang indah. Matanya besar dan tampak sangat berbinar, bibirnya tipis dan hidungnya mancung. Cantik. Cantik adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan Ema. “Kamu yakin kamu masih perawan?” tanya Arlo yang membuat Ema kaget. Ema mengangguk tapi kali pelan sekali, rasa gugupnya itu datang kembali. “Kamu cantik, pasti banyak lelaki yang ingin menidurimu. Dengan atau tanpa persetujuan kamu,” lanjut Arlo. Ema mengangguk. “Karena itu saya harus jadi lebih kuat daripada lelaki mana pun.” Arlo tersenyum miring dan mengangguk. “Tapi kamu tidak bisa melawan kuatnya uang.” Mata Arlo melirik ke arah Ema. Wanita itu mengangguk, wajahnya berubah sedih. “Anda benar. Tapi siapa manusia yang bisa menang melawan uang?” Ema menarik bibirnya membentuk senyuman tapi perasaan sedih begitu tergambar dari senyumnya. Arlo kembali mengangguk kecil, dia menatap Ema sebentar sebelum kembali meneguk minuman jahenya. “Menurutmu, apakah wanita memang lebih menyukai pria nakal daripada pria baik?” tanya Arlo. Ema menggumam sebentar lalu mengangguk. “Wanita suka dengan pria seperti itu karena mereka lebih menantang daripada pria baik-baik. Bahkan ada kutipan lagu yang bilang all good boys go to heaven but bad boy brings heaven. Saya rasa itu ada be--" “Kalau begitu kita lanjutkan sekarang,” potong Arlo. “Hah?” “Menjadikan saya sebagai pria nakal,” ujar Arlo. “Saya ingin menjadi pria nakal sekarang. Saya sudah muak menjadi pria baik.” Arlo tersenyum getir. Ema menelan salivanya, jantungnya kembali berdetak dengan cepat seiring dengan Arlo yang berdiri dari kursinya dan menghampiri Ema. “Saya harus membuktikan bahwa saya juga bisa menjadi pria nakal itu, menjadi pria yang menantang untuknya,” ucap Arlo lalu menarik Ema dari kursinya. Keduanya berdiri berhadapan, kepala Ema menunduk tidak mampu melihat Arlo yang kini tengah menatapnya juga. Tangan Arlo menarik dagu Ema membuat kepala dari wanita itu menonggak ke atas menatap wajah tampan Arlo. Hidungnya yang mancung, matanya yang tegas, bibirnya yang sedikit terbuka dan juga alisnya yang tebal berhasil membuatnya sangat tampan bahkan dari jarak sedekat ini. Arlo memajukan wajahnya membuat Ema menutup matanya dengan segera, rasanya dia ingin memukul Arlo seperti yang biasa dia lakukan pada lelaki-lelaki yang mengganggunya tapi wajah Eva kembali muncul dalam benaknya dan membuatnya kembali melepaskan tangannya yang sudah membentuk tinju. Arlo masih memperhatikan wajah Ema yang semakin dilihat semakin membuatnya setuju kalau wanita ini memang sangat cantik. Apalagi gaun yang digunakan Ema saat ini adalah gaun pendek dengan kaitan yang mudah sekali dibuka. Arlo kembali memajukan wajahnya, mengarahkan bibirnya ke arah bibir Ema dan kemudian mengecupnya pelan. Mata Arlo terbuka kembali menatap Ema yang masih menutup matanya, tubuh wanita itu gemetaran membuat Arlo tahu pasti wanita di hadapannya itu belum pernah disentuh lelaki. Hal itu malah membuatnya bersemangat, niat awalnya yang hanya ingin membuktikan diri perlahan berubah menjadi menginginkan wanita ini. Arlo tidak sabar melihat reaksi-reaksi alami dari wanita polos di depannya itu. Dengan sekali tarikan, gaun hitam indah yang membentuk tubuh Ema itu jatuh ke lantai membuat sang pemilik kembali mengepalkan tangannya menahan malu karena tubuhnya yang bisa dilihat orang lain yang bukan suaminya sementara Arlo menelan salivanya melihat tubuh indah yang sebentar lagi akan dia sentuh itu. Arlo kembali menarik wajah Ema lalu menciumnya, kali ini dengan lebih panas dan basah. Ada keinginan dan juga hasrat di ciuman itu. Secara natural, Ema mulai mengerti dan membalas ciuman Arlo yang tanpa dia sadari sudah mengarahkannya ke arah kasur. Ema baru tersadar setelah pria itu mendorong tubuhnya ke atas kasur terempuk yang pernah Ema tiduri. Matanya memperhatikan Arlo yang membuka kemejanya dan memperlihatkan tubuh bagian atasnya. Ema pikir kalau dia akan segera ke inti acara mereka dan selesai tapi sepertinya Arlo sudah terpukau dengan tubuh Ema dan memilih bermain-main dengan tubuh Ema. Membuatnya bernafas dengan lebih berat, mengeluarkan lenguhan juga desahan seksi yang membuat Arlo semakin bersemangat. Sementara Arlo kembali merasa pusing tapi kali ini bukan karena alkohol melainkan karena Ema. Menyentuh wanita itu merupakan hal yang menyenangkan karena dia selalu memberikan reaksi murni dan berbeda, membuat Arlo begitu senang. Tangan dan mulutnya dia gunakan hanya untuk menjelajahi tubuh wanita muda yang sudah dia sewa mahal ini. “Bantu aku, Ema. Bantu aku membuktikan kalau aku adalah pria sejati yang lebih dari Adam!” Ema tidak mengerti dengan ucapan Arlo atau mungkin dia belum sempat mengerti dengan ucapan itu karena detik berikutnya yang dia rasakan hanyalah rasa nyeri dan sakit dari inti dirinya karena desakan Arlo. “Sakit?” tanya Arlo dengan suara yang entah kenapa menjadi lebih berat. Ema menggigit bibirnya dan mengangguk pelan. Dia berharap Arlo berhenti tapi pria itu tidak merasakan sakit yang sama malah kenikmatan tiada tara sedang melanda pria itu. Pergerakan yang awalnya pelan lama-lama menjadi cepat diiringi dengan bunyi suara nafas yang berat dan juga desahan-desahan yang penuh di ruangan luas itu. Ema pasrah ketika dia benar-benar dimanfaatkan oleh Arlo. Pria itu membuatnya menungging, membuatnya berbaring di kasur dengan membelakangi lelaki itu, menyamping bahkan membuatnya berada di atas yang malah membuat dia malu karena harus melihat wajah Arlo. “Kamu ... teruskan!” Arlo menahan dirinya, menggigit bibirnya karena nikmat yang masih melanda. Pinggul Arlo tidak berhenti bergerak sampai akhirnya pelepasannya berada di dalam Ema. Nafasnya masih memburu tapi perlahan mereda. Arlo menarik Ema ke dalam pelukannya, mencium puncak kepala Ema. “Terima kasih.” *** Arlo terbangun entah sudah pukul berapa, yang dia tahu hanyalah kepalanya sakit dan pusing dan dia sendirian. Arlo melirik ke arah sampingnya yang kosong dan dia tahu kalau wanita itu sudah pergi, dia kembali mengingat malam tadi dan membuatnya tersenyum. Arlo bangkit dari kasur dan menuju ke arah meja makan, dia menemukan piring bekas dia makan semalam dan juga sebuah foto polaroid dari wanita yang bersamanya tadi malam. Foto yang dia ambil secara spontan itu memperlihatkan wanita itu dari samping tapi tetap terlihat sangat cantik. “Dia sudah membantuku,” ucap Arlo sambil menepuk-nepuk foto itu ke tangannya. “Berarti sekarang saatnya.” Arlo tersenyum miring.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN