“Katakan dengan jujur, Ema!” desak Arlo lagi membuat Ema semakin terpojok.
Wanita itu masih menunduk, tangannya saling meremas tanda bahwa ia sedang berpikir dan ragu. Sesekali menggigit bibirnya menunjukkan bahwa telah terjadi pergulatan batin dalam diri wanita cantik dengan bulu mata lentik itu.
“Ema,” panggil Arlo lagi membuat Ema secara otomatis menatapnya.
“Jika itu benar, kamu tahu bahwa saya berhak mengetahuinya,” ujar Arlo lirih.
Pelukannya pada Cyra semakin erat, hangat dalam hatinya semakin kentara. Arlo bahkan tidak bisa menjelaskan perasaan apa yang sedang melanda dirinya saat ini, yang dia tahu hanya dia begitu nyaman berada bersama Cyra.
“Saya tidak suka anak kecil, Ema. Saya bahkan tidak suka saat berada di dekat mereka. Tapi,” Arlo menahan kalimatnya. Matanya menatap Cyra yang masih tidur dalam dekapannya lalu mengalihkan pandangannya pada Ema.
“Saat Cyra datang tadi dengan wajahnya yang mengantuk dan meminta saya menggendongnya, saya tidak bisa menolak sama sekali. Bahkan tidak ada penolakan dalam diri saya. Itu aneh.” Arlo menggelengkan kepalanya.
“Aneh sekali.”
Ema dapat melihat ekspresi bingung dari lelaki dengan hidung mancung itu. Dia menarik nafas panjang.
“Juga, menghitung dari umurnya dan peristiwa kita itu ... rasanya masuk akal. Kita tidak menggunakan pengaman apapun saat itu. Meski hanya sekali, potensi kamu untuk hamil itu tetaplah besar,” ujar Arlo.
“Tolong jujur, Ema.”
Ema menarik nafas panjang, matanya terpejam dan bibir tipisnya itu saling mengulum.
Ema mengangguk kecil membuat mata Arlo membesar.
Pria itu menatap Cyra lagi, kini perasaan hangat itu tidak hanya dia rasakan ada di hatinya. Kini semua tubuhnya menghangat, seolah menambah kenyamanan untuk Cyra yang berada dalam dekapannya. Kecurigaan Arlo benar tapi dia masih tidak menyangka bahwa itu menjadi kenyataan.
Ada rasa terkejut yang masih tertinggal, membuatnya menatap Cyra dengan tatapan nanar. Hampir menangis, Arlo memeluk Cyra semakin erat.
“Saya tidak percaya saya memeluk anak saya. Darah daging saya sendiri,” ucap Arlo dengan pelukan erat pada Cyra.
Ema jelas tidak tahu harus bereaksi apa, dia hanya bertanya-tanya dalam hati, apakah yang sudah dilakukannya merupakan hal yang benar. Apakah tidak akan ada penyesalan di depan sana, ada begitu banyak pertanyaan di dalam dirinya.
“Kenapa?” tanya Arlo.
“Hah?” Ema sadar dari lamunannya.
“Kenapa kamu tidak memberitahukannya pada saya?” Arlo memperjelas pertanyaannya.
“Memberitahu kamu kalau aku hamil?”
Arlo mengangguk.
“Pasti akan sulit buatmu untuk percaya. Aku hanya orang asing yang tidur denganmu sekali.” Ema menggelengkan kepalanya.
“Dan juga karena itu ada dalam perjanjiannya,” ujar Ema.
Arlo terlihat berpikir sebentar. “Perjanjian apa?”
Ema terlihat kaget mendengar pertanyaan Arlo.
“Perjanjian kerja.” Ema menekankan kata kerja karena dia dan Arlo tahu bahwa kata kerja di sini bermakna agak lain.
“Aku membacanya. Di sana dikatakan bahwa segala risiko termasuk hamil adalah risiko yang harus aku tanggung sendiri,” jelas Ema yang membuat Arlo membesarkan matanya, tidak percaya.
“Lagi pula, hal bodoh jika aku datang padamu dan mengatakan aku hamil. Intinya, aku merasa tidak ada untungnya untukku jika harus memberitahu kamu,” ujar Ema. Matanya menurun begitu juga dengan bahunya, menggambarkan perasaan putus asa yang ia rasakan saat itu.
Arlo hanya bisa menatapnya dalam diam.
“Aku benar-benar tidak tahu soal perjanjian itu,” ucap Arlo.
Ema hanya mengangguk.
“Itu diurus oleh orang-orangku. Aku saat itu sedang frustrasi dan hanya ingin bersenang-senang,” lanjut Arlo.
Terdengar begitu kejam tapi Arlo bersumpah dia benar-benar tidak berniat melakukan itu.
“Sudah risikonya,” ujar Ema.
Ema menatap Cyra yang masih lelap dalam dekapan Arlo.
“Lagi pula aku akhirnya punya Cyra, dia segalanya dan bisa menghapus semua rasa penyesalan itu,” lanjutnya.
“Pasti berat untukmu melewati masa itu. Maaf.” Arlo benar-benar merasa bersalah.
“Seharusnya waktu itu kamu menghubungi saya,” ucap Arlo.
Ema menggeleng. “Aku langsung kembali ke pulau begitu Cyra lahir. Di sini banyak membantu jadi rasanya tidak seberat itu.”
Arlo menarik nafas panjang, rasa penyesalannya memberatkan hatinya.
“Mulai sekarang kamu dan Cyra adalah tanggung jawab saya. Jangan pergi atau menghilang lagi.” Arlo bangkit dari duduknya membawa Cyra mendekat ke arah Ema.
Sorot lampu dari kamar membuat Ema bisa melihat wajah tampan Arlo yang mendekat padanya dengan lebih jelas. Garis rahangnya tampak begitu memesona berpadu dengan hidung, bibir yang seksi dan juga mata dengan pandangan tajam. Begitu sempurna pahatan Tuhan pada pemilik wajah itu.
“Kamu dan Cyra sekarang adalah keluargaku.”
Ema cukup terkejut mendengarnya ditambah lagi untuk pertama kalinya dia mendengar Arlo menggunakan bahasa formal padanya.
***
“Bos? Bos?” Hans melambaikan tangannya di depan wajah Arlo hingga membuyarkan lamunan lelaki itu.
“Anda kelelahan?” tanya Hans memastikan.
Arlo mengambil air mineralnya, meneguknya cepat lalu menggeleng. Fisiknya baik-baik saja, mentalnya yang tidak.
“Dari tadi saya perhatikan Anda kurang fokus,” ujar Hans.
“Biasanya juga begitu ‘kan?” Arlo tersenyum getir.
Hans menggeleng.
“Orang-orang biasanya memang menganggap Anda tidak pernah serius ketika mereka bicara dengan Bos tapi saya tahu pasti kalau Bos memperhatikan pembicaraan mereka. Hanya saja Bos terkadang suka sambil memikirkan hal yang lain,” jelas Hans.
Arlo hanya bisa memutar bola matanya dan menghembuskan nafas panjang.
“Kita sudah melakukan langkah pertama yang sangat baik, Bos. Meski mereka masih mau menaikkan harga tanah mereka tapi tetap saja ini adalah kemajuan yang sangat baik.” Hans memberi semangat.
“Apa yang akan terjadi kalau misi kita berhasil dalam waktu cepat?” tanya Arlo tanpa menatap Hans, matanya memandang lurus ke depan.
Hans tampak kebingungan dengan reaksi bosnya itu.
“Kita akan segera pulang tentu saja. Anda bisa kembali pada kehidupan Anda sebelumnya, bekerja dan menikmati hidup,” jawab Hans.
Arlo kembali menarik nafas panjang, dia menggeleng pelan.
“Apa Anda ada masalah?” tanya Hans lagi tapi kali ini dengan lebih berhati-hati.
Arlo tidak menjawab dengan kata melainkan dengan anggukan kepala. Jawaban yang berhasil membuat Hans terdiam.
“Kalau aku ingin lebih lama di sini bagaimana?” Arlo kini mengalihkan pandangannya pada Hans.
“Tempat ini memang bagus dan nyaman tapi Anda harus kembali untuk bisa mempertahankan posisi Anda, Bos. Mungkin setelah kita kembali dan berhasil menjalankan misi ini, Anda bisa tinggal di sini,” jawab Hans.
“Ada hal yang ingin membuat Anda ingin tinggal di sini?” tanya Hans.
Arlo menangguk.
“Aku menemukan keluargaku.”
Hans kembali menatap Arlo dengan tatapan keheranan.
“Keluarga?”
“Kamu mau mendengarkan sebuah kisah?” Arlo kini duduk menghadap ke arah Hans.
Hans tidak perlu menjawab, dia sudah bisa menunjukkan pada Arlo bahwa dia sangat siap mendengar kisah apa pun itu. Jadi untuk dua puluh menit berikutnya, Hans hanya bisa berkali-kali terkejut mendengar kisah Arlo yang putus asa, bertemu dan tidur dengan Ema sampai dia menemukan Cyra.
“Anda yakin anak itu adalah anak Anda?” tanya Hans.
Arlo terdiam. Logikanya meragukan itu tapi hatinya berulang kali meyakinkan dirinya untuk percaya.
“Kita butuh lebih dari sebuah pengakuan untuk bisa mengakui anak itu. Tidak ada yang lebih bisa dipercaya selain bukti,” lanjut Hans.
Arlo hanya bisa kembali menghela nafasnya panjang.
“Wanita itu memang tampak baik, tapi kita tidak akan pernah tahu seberapa gelap hati seseorang. Apalagi dari apa yang saya dengar kemarin,” ujar Hans.
Arlo dengan cepat kembali menatap Hans.
“Saya dengar kalau wanita itu sedang membutuhkan uang, rumah yang sekarang dia tempati akan segera disita oleh pihak Bank.”
Arlo dan Hans saling menatap.
“Saya tidak bilang kalau dia akan memanfaatkan Anda, hanya saja ... semua tampak terlalu kebetulan.” Hans menggelengkan kepalanya dan menarik bibirnya masuk.
Arlo terdiam lama, dia berpikir keras. Ucapan Hans masuk akal.
“Apa Anda yakin kalau Anda adalah satu-satunya lelaki yang tidur dengan dia?”
Arlo mengangguk. “Aku yakin kalau soal itu.”
“Apa Anda yakin kalau hanya Anda satu-satunya lelaki yang tidur dengannya? Mengingat dia adalah orang dari wanita yang suka membawa wanita itu,” lanjut Hans.
Arlo menelan salivanya, gugup dan penasaran dengan apa yang terjadi selama ini dan yang akan terjadi setelah ini.
“Anda mau saya untuk menyelidikinya?” tanya Hans lagi.
Arlo menggeleng. “Aku akan melakukannya sendiri.”
***
Suara benda jatuh dengan keras membuat Arlo yang sedang tidur mendadak terbangun. Takut terjadi sesuatu, lelaki itu berlari ke arah luar kamar.
“Ada ap--”
“Argh!!!”
Suara teriakan kaget memotong pertanyaannya.
“Ke-kenapa?” Arlo kebingungan dengan Ema sedang berdiri di samping meja makan dan kini tengah menunduk sambil memejamkan matanya.
“Mana bajumu?” tanya Ema.
Arlo menatap ke arah tubuh atasnya yang terbuka membuat badannya yang sudah dia bentuk dengan baik di pusat kebugaran itu terlihat dengan jelas. Jujur saja, dibandingkan malu, Arlo justru bangga.
“Itu karena rumah ini panas sekali makanya aku harus tidur dengan tanpa baju. Kamu harusnya menyesal karena aku masih memakai celana,” ucap Arlo.
Sementara Ema memutar bola matanya, tidak tahan dengan tingkat percaya diri Arlo yang tinggi.
“Aku terbangun karena suara benda jatuh. Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Arlo.
Dia sudah kembali lagi ke kamar dan meraih kaos pertama yang dia temui di sana sebelum kembali lagi ke ruang makan.
“Halo, Cy!” sapa Arlo pada balita menggemaskan itu.
Cyra tidak menjawab, dia asyik mengunyah sebuah pisang utuh yang berada di tangannya. Arlo mendekat dan langsung mencium pipi Cyra.
“Kamu menggemaskan sekali,” ucap Arlo. Matanya terkunci menatap Cyra yang sedang menghabiskan pisangnya.
“Maaf ya, tadi Cyra tidak sengaja menjatuhkan gelasnya. Airnya masih banyak makanya bunyinya nyaring sekali,” jelas Ema.
Arlo mengangguk, dia menarik kursi mendekat ke arah Cyra yang sedang duduk di kursi khusus bayinya itu.
“Kamu mau kopi?” tawar Ema.
Arlo jelas mengangguk, dia butuh kopi. Orang dewasa mana yang tidak butuh kopi?
“Kamu harus mengupasnya lagi sebelum lanjut makan.” Arlo membantu Cyra mengupas sedikit kulit pisang agar bocah itu bisa kembali menikmati buah pisangnya.
“Ini kopimu” Ema meletakkan gelas kopi itu di depan Arlo.
“Thanks.”
Ema mengangguk dan tersenyum melihat Cyra yang tampak lebih tenang sejak ditemani oleh Arlo.
“Ehm, Pak Arlo,” panggil Ema.
Arlo berdeham sebagai jawaban.
“Boleh aku minta sesuatu?”
Arlo terdiam, tubuhnya secara otomatis berhenti bergerak, hanya nafasnya saja masih berjalan. Itu pun karena bernafas itu otomatis.
Ucapan-ucapan Hans kemarin kembali dia ingat, menimbulkan gelisah dan gugup dalam dirinya. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, menduga-duga apa yang diinginkan Ema. Bisakah dia percaya pada wanita ini? Bisakah dia yang sudah pernah didustakan kembali merasakan sakitnya dusta untuk kedua kalinya?
“Ini tentang Cyra,” ujar Ema yang semakin membuat jantung Arlo berdegup kencang.