4. Apa Dia Anak Saya?

1645 Kata
“Ma-ma?” Arlo terbata-bata saat dia menirukan ucapan anak kecil itu. Pandangannya dengan cepat beralih pada sosok wanita yang pernah dan sudah lama tidak ia temui itu. Maju beberapa langkah membuat Arlo bisa melihat anak kecil itu berlari ke arah wanita muda itu dan memeluk kaki wanita itu. Matanya yang besar begitu bersinar saat menatap Arlo meski pandangannya mengisyaratkan dia takut. “Anda mengenalnya, Bos?” tanya Hans. Arlo tidak mengalihkan pandangannya, dia mengangguk pelan. “Saya jelas tidak bisa melupakannya dengan mudah.” “Ah, Ema dulu memang pernah tinggal di kota,” timpal Dimas. Hans hanya mengangguk, dia berjalan melewati Arlo dan menghampiri Ema yang masih berdiri diam seakan terpaku kakinya di lantai. “Selamat sore, Nona. Perkenalkan nama saya Hans dan saya asisten dari Pak Arlo,” ujar Hans sambil mengarahkan tangannya pada Ema. Ema sadar, menelan saliva cepat lalu mengelap tangannya sebelum menyambut jabatan tangan Hans. “Ema,” ujar Ema. Hans tersenyum sambil mengangguk. “Yang ini namanya siapa?” Hans mengarahkan pandangannya pada balita perempuan yang masih memeluk betis Ema. “Yiya,” jawabnya sambil meletakkan tangannya di d**a. “Hm?” Hans kebingungan, mengerti bahasa bayi bukanlah kelebihannya. “Namanya Cyra.” Ema melirik Arlo yang masih terdiam dengan pandangan terkunci pada Ema juga balita itu. “Oh Cyra. Nama yang cantik sekali,” puji Hans. “Maasih,” balas Cyra yang membuat Hans tertawa gemas. Balita itu membuatnya senang. “Kalau begitu, nanti saya yang akan tinggal di rumah ini. Bos saya akan tinggal di bangunan yang lain. Mohon maaf jika merepotkan ya,” ucap Hans. “I-iya.” Ema masih melirik Arlo yang masih menatapnya tajam. “Hans kamu yang tinggal di sana!” ucap Arlo, dia maju mendekat ke arah Ema dan Hans. Hans tampak bingung, dia menatap Ema dengan ekspresi bingungnya tapi tidak mengeluarkan kalimat bantahan. “Tapi apa bos yakin? Anak ini--” “Aku tidak pernah seyakin ini,” potong Arlo. *** “Sudah semuanya?” tanya Hans yang selesai membantu Arlo merapikan barang-barangnya. Arlo mengangguk, sedari tadi dia hanya duduk saja di kasur dan membiarkan Hans yang bekerja. Bukan karena sikapnya yang buruk, hanya saja dia masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Anda yakin akan tinggal di sini? Pintu kamarnya saja rusak, ditambah lagi ada anak kecil itu. Dia memang terlihat menggemaskan tapi kalau sudah tantrum mungkin saja dia akan--” “Aku akan baik-baik saja, Hans. Jangan cemaskan aku,” potong Arlo lagi. “Baik kalau begitu,” ujar Hans. Hans sudah bersiap pergi tapi dia menahan langkahnya tepat di depan pintu. “Bertahanlah, Bos. Kita hanya perlu berada di sini selama sebulan dan setelah kembali nanti semuanya akan kembali normal,” ucap Hans. Arlo hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia kembali duduk termenung mencoba untuk merangkai semua peristiwa yang sudah hilang dalam hidupnya alih-alih memikirkan maksud dan tujuan dari kedatangannya ke pulau ini. Sebuah ketukan pintu membuat Arlo mengalihkan pandangannya, Ema berdiri di depan pintu. Wanita itu tampak sangat gugup, dia hanya mengelus-elus pintu saking kikuknya. “Aku sudah masak makan malam dan mau tanya apa kamu mau makan bersama--” “Mama!” Suara imut Cyra memotong pembicaraan Ema. Tidak lama kemudian sosok kecil itu muncul dari balik pintu dan tersenyum lebar ke arah Arlo yang mau tidak mau membuatnya juga ikut menarik senyum yang justru membuat wajahnya terlihat lucu. Cyra tertawa karena wajah Arlo. Arlo juga ikut tertular karena kini dia tertawa kecil dan tersenyum melihat anak itu. “Kamu mau makan bersama? Asistenmu tadi pergi dijemput orang desa,” ucap Ema. “Hans sudah pergi?” tanya Arlo dan dijawab Ema dengan anggukan kepala. Arlo ingin menolak tapi wangi tumisan sayur yang sudah ia cium itu berhasil menggoda perutnya dan membuat dia bangkit dari duduknya. Ema pergi lebih dulu karena dia harus menyiapkan alat makan sementara Arlo melangkah pelan keluar kamar. Pandangan Arlo turun ke bawah, mendapati Cyra tengah menatapnya dengan mata yang membesar dan juga mulut yang sedikit terbuka. Kepalanya bahkan mengada lurus ke arah Arlo dan berhasil memunculkan senyum di wajah Arlo. “Papa?” “Hah?” Arlo tentu saja terkejut. “Cyra! Ayo sini makan dulu!” Balita itu mendengar teriakan Ema dan dengan cepat berlari meninggalkan Arlo di tempat dengan sejuta kebingungan yang memusingkan. Makan malam itu berjalan lama, baik Arlo dan Ema memilih diam di meja makan. Arlo hanya sering memperhatikan betapa sibuknya Ema yang sedang memberi makan Cyra. Meski anak itu tampak baik dan tidak banyak bertingkah, dia tetaplah seorang balita yang masih butuh banyak perhatian. “Bagaimana bisa kamu berada di sini?” tanya Arlo pada akhirnya. Ema tampak kaget lalu setelahnya dia tersenyum. “Aku dan keluargaku berasal dari tempat ini,” jawab Ema. “Jadi ini ... rumahmu?” Arlo memandangi sekelilingnya. Ema menjawab dengan anggukan kecil. “Kamu sendirian di sini?” tanya Arlo lagi. Ema kembali mengangguk. “Hanya ada aku dan Cyra. Keluargaku yang lain--” Ema menatap sebuah foto yang tergantung di dinding membuat Arlo mengikuti arah pandangannya. Foto itu menampilkan empat orang, satu orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Satu perempuan tampak lebih tua. “Keluargamu?” tanya Arlo sambil menunjuk ke arah foto itu. Ema mengangguk. “Mereka sudah--” “Sudah beristirahat dengan tenang,” sambung Ema membuat Arlo jadi tidak enak hati karena sudah menanyakan hal yang bersifat pribadi seperti itu. “Maaf,” ucap Arlo. “Tidak masalah.” “Ma! Mama!” Cyra tampak bosan dengan makannya yang sedari tadi dia jadikan sebagai mainan. “Kenapa?” tanya Ema. “Papa!” Cyra menunjuk ke arah Arlo membuat lelaki itu juga Ema sama-sama terkejut. Ada hening yang cukup lama sebelum Ema tertawa kecil dan kikuk. “Maaf ya, Cyra memang suka memanggil pria yang lebih tua dengan sebutan Papa,” ujar Ema lalu tertawa kecil tapi tawa itu tidak menular pada Arlo. Mata pria itu masih menatap Cyra yang sekarang sedang berusaha memasukkan makanannya ke dalam mulut. “Berapa usianya?” tanya Arlo. Pertanyaan singkat itu berhasil membuat Ema terdiam, dia merasa sesak nafas sekarang. Gerik tubuh dan sikap kikuk Ema itu berhasil menimbulkan kecurigaan Arlo, matanya menyipit menatap Ema. Meski jantungnya berdetak dengan tidak normal sekarang, dia tahu pasti bahwa dia tidak sabar untuk mendengar jawaban Ema. “Ema? Saya bertanya,” ulang Arlo. Ema begitu kentara menelan salivanya. Aura intimidasi dari Arlo berhasil membuat lidah Ema keluh. “Satu tahun lebih,” jawab Ema pelan. “Apa dia--” “Selamat malam! Bos!” Ketukan pintu dan suara Hans yang berasal dari pintu depan membuat Arlo bangkit dari duduknya dan segera membuka pintu. “Saya punya kabar baik. Besok kita sudah bisa bertemu dengan para warga di sini!” Senyum Hans mengembang sempurna. Arlo hanya diam dan memasang wajah datar, dia melirik ke arah Ema yang masih berada di meja makan. “Kalau bisa secepat ini, kita bisa pulang dalam waktu dua minggu saja atau mungkin bisa lebih cepat!” lanjut Hans. Arlo hanya bisa menghela nafasnya panjang. Dia masih belum rela pergi. *** Ema terbangun dari tidurnya, dia tidak tahu itu sudah jam berapa yang jelas dingin sudah mulai menusuk kulitnya hingga membuatnya menarik selimutnya lebih tinggi. Dia baru saja akan memakaikan selimut untuk Cyra sebelum terperanjat kaget karena balita itu tidak ada di sampingnya. Hilang sudah kantuk Ema, dia melompat dari kasur untuk mencari Cyra tapi balita dengan pipi gembul itu tidak dia temukan di mana-mana. Ema sudah mencari sampai ke bawah kolong yang tentu saja tidak masuk akal dan tidak mendapati Cyra di sana. Sampai pandangannya tertuju pada pintu kamarnya yang terbuka dan membuatnya dengan cepat pergi keluar untuk mencari Cyra. Dia baru saja akan menyalakan lampu tapi terhenti setelah melihat cahaya yang berasal dari ruangan depan. Ema berjalan mendekat hingga mendapati seorang pria tengah duduk di sofa dengan televisi yang masih menyala dan tidak menampilkan gambar apa-apa selain warna biru. Ema baru saja ingin mengoceh tapi dia kembali menahan dirinya setelah melihat bahwa Arlo tengah tersenyum dengan pandangan pada Cyra yang menempel di tubuhnya. Anaknya itu tampak sangat nyaman dalam dekapan Arlo dan lelaki itu juga tampak sangat nyaman memiliki Cyra dalam pelukannya. “Dia cantik sekali,” ujar Arlo yang sudah tahu kalau Ema berada di dekatnya. Pandangan Arlo kini beralih pada Ema yang bingung harus melakukan apa. “Saya tidak bisa tidur dan pikir ingin nonton TV saja tapi sepertinya tidak ada siaran yang bisa ditonton di TV ini,” ujar Arlo. “Di pulau ini memang belum ada. TV itu hanya untuk Cyra menonton kartun yang sudah aku beli sebelumnya,” jelas Ema. “Kamu menyimpan kartun secara luring lalu menontonnya lagi?” Ema mengangguk lalu Arlo juga ikut mengangguk. “Aku sedang melihat TV tadi sebelum dia keluar dari kamar kalian. Saya membantunya untuk kembali tapi dia malah memelukku dan tidur. Saya takut bergerak karena takut membangunkannya dan tentu saja tidak sopan bagi saya kalau harus masuk ke dalam kamar kamu. Apalagi setelah mendengar dengkuran kamu.” Arlo menjelaskan peristiwa yang terjadi sebelum dia dan Cyra berakhir seperti sekarang. “Aku gak pernah mendengkur!” Ema menolak percay dengan kata-kata Arlo. Arlo hanya mengangkat bahu tidak peduli. “Saya hanya menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi.” Ema terdiam sebentar, dia tidak mau kalau ada yang bilang dia mendengkur. Menurutnya mendengkur itu tidak sopan tapi siapa yang bisa mengatur kamu akan mendengkur atau tidak. “Berikan Cyra padaku, aku akan kembali untuk menidurkannya di kamar.” Ema menjulurkan tangannya, bersiap mengambil anaknya. Arlo menatap Ema, tangannya menggapai tangan Ema. Menahannya dengan cukup kencang. “Katakan dengan jujur, Ema.” “Ju-jur apa?” Ema mengalihkan pandangan matanya, terlalu takut untuk menatap pandangan tajam Arlo. “Aku memang tidak pintar-pintar sekali tapi aku cukup tahu kalau usia Cyra sekarang, pas setelah peristiwa itu,” ujar Arlo. Suaranya berat membuat bulu kuduk Ema semakin tegang berdiri. “Katakan dengan jujur, apa Cyra anak saya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN