Mili bimbang luar biasa, jadi tak ada yang bisa ia pikirkan selain segera menjauh dari hadapan Dimitri. Beruntung pria itu tak bisa mengejarnya, karena Mili dengan cepat bisa menemukan taksi kosong yang tengah melintas tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Jadinya ini ke mana, Mbak?” tanya supir taksi tersebut beberapa saat setelah Mili memilih menunduk diam menekuri jemarinya yang saling bertaut dan bergetar.
“Kapas Krampung, Pak.” jawab Mili begitu tersadar dari lamunannya.
Ya benar, rasanya pulang ke rumah memang sudah keputusan yang benar bagi Mili. Dimitri tan mengetahui tempat tinggalnya selama di Surabaya, jadi setidaknya Mili bisa terbebas dari bayangan pria yang terlampau sulit untuk ia raih tersebut.
Berbincang sebentar seperti tadi saja sudah membuat hati Mili gamang. Inginnya berlari merajuk dalam pelukan hangatnya, namun sudut hatinya yang lain meminta Mili untuk segera mengubur mati rasa cintanya pada Dimitri. Cukuplah satu kesalahan yang pernah ia alami dengan pujaan hatinya itu, Mili tak ingin mengulangi hal yang sama. Karena ada banyak hati yang harus ia jaga, Fala terutama.
"Sudah sampai mbak, ini rumahnya yang mana?" pertanyaan supir taksi di depan Mili kembali menarik kesadaran gadis yang matanya hampir bengkak karena tangis itu.
"Eeh, iya. Yang pagar cokelat itu pak, nomor tiga B." jawab Mili sembari menunjuk rumah minimalis yang menjadi tempat tinggalnya selama ini.
Setelah membayar ongkos taksi yang ia naiki, Mili gegas keluar dari mobil berwarna biru muda dengan logo burung merpati itu. Menoleh ke kanan dan kiri sekali lagi demi memastikan tak ada sosok yang mengikutinya. Setidaknya Mili belum siap jika harus berhadapan dengan pria yang menjadi alasannya menghindar kali ini.
Mendapati rumah yang hening, membuat gadis itu kembali larut dalam ingatan perbincangan dengan Dimitri beberapa jam yang lalu. Dan Mili benci akan hal itu, jadi ia putuskan untuk mandi dan membersihkan diri sebelum berakhir menjemput mimpi. Sudah sejak remaja, Mili punya kebiasaan, entah selarut apapun saat ia pulang, maka pergi mandi adalah hal yang wajib baginya.
Berendam dalam bath up adalah satu-satunya yang Mili pertimbangkan untuk mencoba mengusir ingatan tentang Dimitri, terutama saat mereka berdua terjebak pertemuan yang tak disengaja malam itu. Malam yang begitu ingin dilupakan oleh Mili, namun di sisi lain, hatinya menjerit menolak hal itu. Malam terlarang namun juga tak menampik pernah sangat diharapkan oleh gadis itu.
Bukannya malah lupa, kegiatan berendam bercampur melamun Mili justru membuat otak kecilnya mengingat detail apa yang sudah terjadi ‘malam itu’. Semua bermula saat Mili terlibat percekcokan dengan Indah, yang tak lain adalah ibu kandungnya sendiri. Pekikan kencang juga teriakan mewarnai perseteruan ibu dan anak malam itu.
“Oh jadi gitu sekarang, selain jadi selirnya Sasmito, Mama juga jadi baby sitter buat anaknya?” tantang Mili sembari menatap tak suka pada bocah perempuan berusia sekitar delapan tahun yang kini memeluk pinggang sang mama.
“Mili!! Kamu sudah bukan anak-anak lagi, kamu sudah dewasa nak. Coba berpikir secara dewasa juga. Mama melakukan ini dengan tulus, kenapa harus kamu permasalahkan?”
Bayangkan saja, belum ada dua puluh empat jam Mili menjejakkan kaki di rumah besar sang mama di Jakarta Pusat. Namun sudah disambut dengan pemandangan yang begitu merusak suasana hati Mili, yaitu hadirnya Ciara, adik sambung Mili yang memonopoli Indah untuk menuruti semua inginnya. Padahal Mili berniat mengunjungi sang mama lantaran mendengar kabar bahwa Indah sudah mulai pulih dari sakitnya dan sudah bisa beraktivitas seperti semula.
“Tulus karena fulus gitu?” pekik Mili tak kalah kencang. “Apa nggak cukup cemoohan orang-orang karena Mama mau dijadikan istri kedua? sekarang jadi kacung buat ngasuh anaknya Sasmito juga? gitu?”
Plakk..!!
“Jaga bicara kamu dengan orang tua Mili. Sudah habis kesabaran Mama menghadapi keras hati dan kepala batu yang kamu miliki.”
“Aku gini juga belajar banyak dari Mama. Mama lupa?!” rahang Mili mengetat, tak terima jika kini sang mama sangat membela suami dan keluarga barunya yang belum ada satu tahun membangun rumah tangga.
“Mama nggak pernah ngajarin kamu kurang ajar sama orang tua!” pekik Indah dengan kedua mata berkaca-kaca. Kedua tangannya sibuk menutupi kedua telinga Ciara agar gadis kecil dengan rambut bergelombang itu tak mendengar semua kata-kata kasar darinya juga Mili.
“Tapi Mama ngajarin aku gimana caranya untuk jadi orang yang nggak setia!!” Mili muntap hingga tanpa sadar mengacungkan jari telunjuknya ke depan sang mama. “Dulu, Mama sendiri yang koar-koar akan selalu setia sama mendiang Papa, nggak akan menikah lagi meski Papa sudah sudah nggak ada. Buktinya mana Ma? Mana?! Omong kosong!!”
Teriakkan terakhir Mili membuat bendungan air mata Indah tak terbendung lagi. Menunduk dalam sambil memeluk putri tirinya, Indah merasa hatinya remuk karena justru sumpah serapah itu ia dengarkan langsung dari putri kandungnya.
“Keluar kamu Mili!! Keluar dan jangan pernah temui Mama lagi.” lirih Indah diiringi dengan dentuman sakit hati.
“Fine!! Dengan senang hati, Ma. Semoga Mama bahagia dengan putri barunya yang sepertinya jauh lebih manis dan penurut dibandingkan aku.”
Tak perlu menunggu jawaban dari sang Mama, Mili langsung menghentakkan langkah meninggalkan rumah besar itu. Kalau Indah bisa sakit hati karena perkataannya, maka demikian pula dengan Mili. Gadis itu sudah lama memendam sakit hatinya lantaran sang mama yang semula berikrar akan selalu setia dengan mendiang ayahnya, kini justru menjalin bahagia dengan lelaki baru yang justru menjadikannya selir kedua.
Pergi dari rumah sang mama dengan perasaan kalut, Mili tak punya tujuan lain di Jakarta. Karena itu ia memilih untuk menghabiskan malam yang semakin larut dengan mendatangi salah satu club ternama yang ternyata tak begitu jauh dari tempatnya kini berada. Sky Seven, adalah nama club yang kini menjadi tujuan Mili melepas semua penat dan kecewa terhadap keluarganya sendiri.
Tak begitu sulit menemukan club tersebut karena Mili selalu mengandalkan maps yang selalu aktif di ponselnya. Bahkan belum sampai dua jam gadis itu sudah berani adu nyali dengan duduk di depan meja bartender dalam kondisi kacau hampir tak sadarkan diri karena sudah mabuk berat.
Mili tak menghitung dengan benar sudah berapa gelas campuran Vodka yang melewati tenggorokannya. Yang gadis itu tau, minuman itu dengan sangat cepat habis di tangannya.
“You want more, sweet girl?” tanya si bartender dengan wajah sumringah.
Pria tampan dengan tindik di telinga itu sudah sangat biasa menghadapi orang-orang mabuk di night club tempatnya bekerja. Tapi gadis yang meracau di depannya kali ini, tampak begitu berbeda. Pengaruh alcohol membuat wajah imutnya semakin menggemaskan, apalagi saat kedua pipinya merona mengundang siapa saja untuk ingin menyentuhnya.
Gadis di depannya menggeleng pelan, lalu menumpukan kepalanya di atas lengannya. “Minuman lo enak banget, sumpah! lagi boleh deh.” pinta Mili dengan suara sengau.
“Yakin? ntar lo pulang sama siapa?”
“Banyak taksi, lo nggak perlu khawatir.” balas Mili tak terlalu tertarik dengan senyuman bartender itu.
Menghabiskan minuman tambahannya yang ke empat, kepala Mili mulai terasa pening dan berat. Mili tahu benar kalau ia bisa saja kehilangan kesadarannya di tempat ini, yang mana artinya ia mengundang bahaya untuk dirinya sendiri.
“Lagi please!” Mili mengangkat satu tangannya pelan, memberi isyarat pada si bartender untuk mengisi gelasnya lagi.
“Stop it, Mili.” satu suara berat tiba-tiba saja mencekal pergelangan tangan Mili dengan sangat erat.
“Lo? Lo … Mas Dim? Mas Dim-nya gue bukan sih?” Mili memicingkan mata mencoba mengenali sosok pria tinggi yang kini menatapnya tajam. Namun otak Mili yang sudah terkontaminasi alcohol tak bisa berpikir dengan benar.
“Iya, elo Mas Dim anaknya tante Wulan kan?” seru Mili lantas terkekeh kecil. “Ngapain di sini, Mas? dunia kita berdua kecil banget sih? habis nggak sengaja ketemu di Singapura, sekarang ketemu di sini. Ckk, kalau kata orang nih ya … kalau sering kebetulan ketemu itu, tandanya kita jodoh.” lanjut Mili dengan pandangan berkunang-kunang.
Pria tinggi tegap yang memang benar adalah Dimitri, hanya menggeleng keheranan melihat penampakan kacau dari sepupu jauhnya ini. Tanpa sengaja, Dimitri memang sudah ada di club ini bahkan sebelum Mili datang. Ia dan beberapa rekan kerjanya sedang mengadakan farewell party di tempat ini untuk salah satu temannya yang akan pindah kerja. Namun fokus pria itu terpecah ketika ia melihat seorang gadis yang begitu dikenalnya justru dengan santainya menenggak minuman beralkohol seorang diri. Tanpa memikirkan bahaya yang bisa saja mengintai gadis cantik berperawakan mungil itu.
“Kamu tinggal di mana di Jakarta sini? Ayo, Mas antarkan pulang. Malem-malem bukannya istirahat malah keluyuran di night club.” gerutu Dimitri setelah mengeluarkan satu kredit card dan mengulurkannya pada bartender yang sekarang memasang wajah kaku.
“Pulang? No, gue gak punya rumah.” gertak Mili lantas merebahkan kepalanya lagi di meja bar. Kepalanya semakin pening, namun tenggorokannya masih menjerit menginginkan minuman laknat itu lagi.
“I’ll take you home.” tegas Dimitri tak ingin dibantah.
“Gue pulang sama taksi aja! Nggak mau sama Mas Dim!” pekik Mili lantas menarik paksa tangannya yang dicekal Dimitri.
“Astaga ini bocah kenapa sih?” geram Dimitri menyugar rambutnya asal.
“She drank quite a lot.” bartender tadi ikut menimpali.
“I know.” lirik Dimitri tak suka pada pria itu.
Dimitri kemudian berusaha untuk memapah Mili yang nampaknya nyaris tertidur di meja bartender. Mili sempat mengerjapkan mata saat Dimitri membantunya berdiri dari kursi. Menengadah sesaat, Mili masih sempat bergumam pelan di d**a Dimitri yang mendekapnya erat.
“Gue nggak mau pulang. Gue nggak punya tujuan.” lirih Mili berupaya membuka mata agar bisa melihat dengan jelas ke arah Dimitri.
Dimitri mendebas frustasi. Bingung harus membawa ke mana sepupu cantiknya ini. Karena ia sendiri hanya sementara di Jakarta untuk urusan pekerjaan. Mana mungkin ia membawa Mili ke hotel tempatnya menginap selama beberapa hari ini.
“A- aku ikut pulang Mas Dim aja.” pungkas Mili akhirnya merubah sebutan ‘gue’ menjadi ‘aku’ seperti sebelumnya.
Dimitri mengernyit sesaat sebelum memutuskan. “Oke kita ke hotel, besok pagi Mas antar kamu pulang ke rumah tante Indah.”
***