9. Duda Tak Tahu Diri

1822 Kata
“Astagaaa Mili, Budhe sampe pangling loh sama kamu. Sekarang makin cantik aja sih, Nduk.” Begitu masuk rumah, Wulandari nampak terkejut karena Dimitri membawa serta keponakannya, langsung menarik pergelangan tangan Mili dan mengajaknya duduk di ruang tengah. Sama sekali tak menghiraukan lagi keberadaan sang putra yang berjalan pelan mengekori keduanya dari belakang. “Bu- budhe bisa aja sih.” seru Mili mencoba mengusir canggung yang mendadak bercokol di hatinya. Bertemu lagi setelah beberapa tahun tak bersua dengan sang budhe tentu saja gadis itu merasa sedikit sungkan. Apalagi setelah keadaannya yang serba salah dengan Dimitri saat ini. “Iya ih, Budhe serius. Terakhir ketemu waktu kamu baru banget lulus SMA itu kan, rambut masih panjang, kemana-mana dikuncir kuda. Ehh, sekarang lha kok makin dewasa makin imut gini, pake rambut pendek. Duuuh gemes, Budhe.” Wulandari kembali mencubit gemas pipi tembam Mili entah untuk yang ke berapa kalinya siang ini. “Maaf Bu, monggo ini minuman sama kuenya.” suara Bi Minah, asisten rumah tangga Wulandari menjeda perbincangan keduanya. Pekerja rumah tangga yang sudah puluhan tahun bekerja dengan Wulandari dan Sudirman itu membungkuk sekilas setelah meletakkan apa yang ia bawa di atas nampan persegi. “Bi, kamu siapin makan siang cepetan ya. Surti suruh bantu biar agak cepet, ini keponakan saya datang dari jauh. Udang Vanamei yang bapak bawa tadi pagi juga masak semua ya,” titah Wulandari langsung diangguki oleh asisten rumah tangga dengan tubuh berisi itu. “Repot aja Budhe,” Mili tersenyum kecil lantas kembali menunduk. “Halah repot apa, kan tadi Bang Dim bilang kalian mampir mau sekalian makan siang.” Wulandari melirik jam dinding besar yang bertengger di tengah ruangan. “Jam segini Surti biasanya udah selesai masak kok, kalau dibantuin Bi Minah pasti makin cak cek sat set. Kalian pasti udah lapar kan?” “Ngga—” “Laper dong Ma, mana di luar panas dan macet banget tadi.” Dimitri yang duduk di sofa tunggal tak jauh dari Wulandari lansung ikut menyela. “Tuuh, Bang Dim laper kan. Wes pokoknya kalian berdua makan siang dulu di sini, apalagi tadi pagi pakdemu bawa udang windu sama vanamei seger-seger banget, Mil. Kamu pasti suka.” Mendengar paksaan tak langsung dari Wulandari, Mili akhirnya hanya bisa mengangguk patuh. “Papa mana Ma?” Menyadari canggungnya Mili, Dimitri ikut dalam perbincangan sang mama dan Mili. “Baru setengah jam lalu ke luar, Mama minta tolong ambilin bibit bunga matahari di tempatnya Om Wisnu. Sekalian Papamu ngecek stok udangnya di Keputih.” jawab Wulandari. Sudirman- ayah Dimitri, masih sangat produktif meskipun usianya terbilang tak muda lagi. Ayah seorang putra itu menjadikan hobbynya memancing menjadi bisnis yang menjanjikan saat ini. Apalagi setelah beliau memiliki beberapa usaha tambak di Gresik dan sekarang memiliki supplier ikan dan udang segar di wilayang Surabaya. Karena itulah tak heran jika di hari seperti ini ayah Dimitri jarang ada di rumah. “Eh eh … by the way, kalian berdua kok bisa barengan sih? Terus kamu Mili, bukannya kerja di Singapura ya setelah lulus kuliah?” Wulandari kembali menemukan topik untuk ‘menginterogasi’ kemunculan sang putra beserta Mili. “Eh, anu … tadi aku—” “Tadi kami nggak sengaja ketemu di salah satu café daerah Kertajaya Ma, langsung aja aku bawa ke sini, biar sekalian sillaturahmi sama Mama.” Dimitri kembali memotong kalimat Mili. “Mili tinggal di Surabaya sekarang, Nak?” Wulandari kembali menoleh dan menepuk punggung tangan Mili pelan. “Eng, … iya Budhe, baru beberapa bulan sih tinggal Surabaya. Sebelumnya ikut Mas Nala di Bogor.” “Berarti udah nggak kerja di Singapura? Kapan tahun itu Budhe ketemu sama Mama kamu di nikahan Putri, terus ya gitu deh ngobrol-ngobrol bentar.” Mili semakin mengeratkan genggaman tangan yang meremas erat tali tasnya. “Hmmm, udah nggak di Singapuura lagi Budhe. Resign. Kangen tanah air sih sebenernya.” “Baguslah kalau gitu Nak, biar nggak jauh-jauh juga dari keluarga kan?” Mili kembali mengangguk dengan segala pertanyaan Wulandari yang seolah menjadi ajang wawancara dadakan untuknya. Hal yang justru dimanfaatkan oleh Dimitri untuk mencari tahu tentang segala hal yang tak ia ketahui tentang Mili. “Terus kamu tinggal di mana? Kost? atau gimana?” Mili mengatupkan kedua bibirnya lantas melirik sekilas pada Dimitri yang tak melepaskan tatapannya sedikit pun dari gadis itu. “Aku ngontrak Budhe,” jawab Mili tersenyum kaku. “Di?” Mili kembali menarik napas panjang, mengingat ibu Dimitri ini tak akan berhenti bertanya setelah mendapatkan jawaban yang sangat detail. “Hmm, perumahan Kapas Krampung, Budhe.” “Di perumahan Madya Permai atau Gading Putro?” benar kan tebakan Mili, kalau budhenya ini sangat detail saat bertanya. “Hmm, Gading Putro.” jawab Mili singkat dan lirih. “Walaah di situ ternyata.” Wulandari menepuk paha Mili sambil berbinar. “Budhe sering ke sana kalau arisan dan ikut nganter bunga pesanan client.” “Iya, Budhe.” “Blok apa?” Astaga naga … jerit Mili dalam hati. Susah payah ia kabur-kaburan dari Dimitri dan sebisa mungkin merahasiakan tempat tinggalnya dari pria itu . Namun, siang ini semua usahanya terasa sia-sia setelah pertanyaan beruntun dari Wulandari yang tak lain adalah ibunda Dimitri. “Blok E.” Mili memejamkan mata saat menjawab pertanyaan tersebut. “Tinggal sendirian aja kamu di sana, Nak?” “Iya, Budhe. Lebih praktis, enak suasana tenang buat cari inspirasi kalau tinggal sendirian.” jawab Mili setelah menenangkan hatinya lagi. Apalagi begitu ia melihat seringai kecil di bibir Dimitri yang seolah menang jackpot setelah mendengar terang-terangan Mili menyebutkan alamat tempat tinggalnya. “Walaah, kalau cari suasana tenang, kamu kan bisa tinggal sama Budhe di sini, Mil. Bisa lebih hemat uang sewa. Di sini rumahnya terlalu besar buat Budhe sama Pakde. Bang Dim kan tinggal di apartment sejak lama.” “Waah, ide bagus tuh Ma.” celetuk Dimitri sontak berbinar cerah. “Setidaknya Mama nggak ngomel-ngomel lagi karena kesepian kalau ada Mili tinggal di sini.” Mili sontak saja melebarkan kedua bola mata mendengar kalimat Dimitri. Tinggal di rumah Wulandari adalah hal yang tidak pernah terpikirkan di benak Mili. Dan hal tersebut adalah hal yang paling tidak mungkin ia lakukan, mengingat ini adalah rumah orang tua dari pria yang ia cintai secara diam-siam selama ini. “Bener, Bang. Gimana tuh Mil?” Mili menggeleng pelan. “Engg—” “Maaf Bu, makan siangnya sudah siap di ruang makan.” panggilan dari Bi Minah kembali menunda kalimat yang akan dilontarkan oleh Mili. “Kita bahas nanti lagi ya, Cah Ayu. Sekarang kita makan dulu.” Wulandari refleks menggenggam telapak tangan Mili dan mengajaknya berdiri. Seolah mendapatkan ‘mainan baru’, perempuan paruh baya yang masih nampak cantik itu sedari tadi tak mau berjauhan dari Mili. Berbanding terbalik dengan Mili yang sejak tiba di kediaman Wulandari, ia selalu merasa asing dan canggung. Apalagi ia kini bukan gadis remaja seperti beberapa tahun lalu yang dengan mudah berbaur dengan siapa pun. *** "Jadi ini tujuan terselubung Mas Dim ngajak aku ke rumah Budhe Wulan?" Mili melayangkan tuduhan tersebut ketika mobil yang dikendarai Dimitri mulai memecah jalanan utama Surabaya. Tak terlalu ramai, namun juga tak bisa dibilang sepi karena kota ini memang tak pernah mati. Tak mau langsung menjawab. Dimitri malah tersenyum tenang dengan tatapan masih fokus pada jalanan di depannya. Andai ia menoleh pada gadis manis yang sedang protes padanya, Dimitri yakin ia tak bisa konsentrasi lagi pada kemudi karena lebih memilih tenggelam dalam pesona wajah damai Mili. Begini ya ternyata rasanya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Hati Dimitri mendadak tergelitik. "Mas Dim!" pekik Mili sebal karena diabaikan begitu saja oleh pria di sampingnya. "Apa, Sayang?" dengan santainya Dimitri malah berkelakar sambil tersenyum manis menggoda iman para perawan. Ckk ... dasar duda modal mulut manis. Gerutu Mili dalam hati sambil mencebik sesaat. "Sayang ... Sayang. Jawab dulu!" sembur Mili lantas menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Cukup dibuat kesal dengan tingkah mantan suami Fawnia ini. "Jawab apa? Perasaan kamu?" imbuh Dimitri membuat Mili semakin menganga tak percaya. "Iya, Mas juga sayang kok sama kamu. Kita punya perasaan yang sama. Jadi gimana kalau kita berdua jadi pemberontak demi perasaan kita?" Lampu merah. Jadi Dimitri punya kesempatan beberapa menit untuk memandangi wajah terkejut Mili saat ia menghentikan kendaraannya. Menggoda Mili seperti ini ternyata sangat menyenangkan dan membuat hatinya berbuncah bak ada ribuan kembang api yang meledak bersamaan. Tapi Dimitri memang serius dengan kalimat terakhirnya barusan. "Mas Dim jangan bercanda ya!" Mili mengangkat jari telunjuk ke depan hidung Dimitri. "Aku gak tanya tentang perasaan kita berdua barusan. Yang aku tanyakan, Mas Dim sengaja bawa aku ke Budhe Wulan biar bisa ngorek info tentang aku kan?" Masih lampu merah. Jadi dengan lancangnya Dimitri malah menggenggam tangan Mili yang terangkat tadi dengan telapak tangan besarnya. Membawanya ke depan wajah dan mengecupnya pelan. Perlakukan sederhana yang membuat Mili pias seketika. "Iya benar." Dimitri akhirnya menjawab dengan nada serius. "Kalau Mas yang tanya, kamu pasti ngelak dan main kabur lagi kan? Tapi kalau mama langsung yang tanya, kamu pasti nggak bisa bohong." "Licik!" desis Mili masih menatapnya nyalang. Bahkan tak mencoba menarik tangannya dari genggaman Dimitri karena sadar hal tersebut akan berakhir sia-sia. Dimitri tak akan mudah melepaskan tangannya. "Nggak apa-apa licik dikit, asal bisa tau kamu tinggal di mana, dengan siapa, ngapain aja. Bahkan sekarang ... Mas bisa bebas nganter kamu pulang setelah mendapat titah langsung dari nyonya besar Wulandari." sahut Dimitri tenang seolah tak terpengaruh sama sekali dengan tatapan menghunus dari Mili, yang justru terlihat menggemaskan di matanya. "Aku nggak perlu dianter pulang!" "Mas perlu mastiin keselamatan kamu." Dimitri kembali menjalankan mobil setelah rambu lalu lintas berubah warna hijau. "Aku bisa jaga diri sendiri!" "Mas nggak percaya, Sayang." sahut Dimitri masih dengan nada tenang. "Nggak usah panggil aku sayang-sayang, bisa?!" bentak Mili tersungut-sungut. "Tapi, Mas beneran sayang sama kamu, Mili." Tanpa sadar Dimitri mengeratkan genggaman tangannya. "Terus gimana sama tunangan Mas? Gimana sama Kak Fala?" "Mas bisa batalin tunangan itu sekarang juga." Dimitri tampak mengetatkan rahangnya. Mendengar nama Fala membuat hatinya tak nyaman seketika, karena memang ia tak memiliki getaran apapun pada gadis cantik itu. "Ngawur kamu, Mas!" Mili tak tahan lagi, jadi ia menarik paksa tangannya dari genggaman Dimitri. Baru saja memasuki gerbang utama kompleks perumahan di mana Mili tinggal, Dimitri langsung menepikan mobil tak sabaran. Pria itu menoleh dan membalas tatapan tajam gadis di sebelahnya. "Kamu yang ngawur kalau masih mengelak perasaan di antara kita berdua." "A- ak- aku nggak ada perasaan apa-apa sama Mas Dim," kilah Mili dengan suara sedikit bergetar. "Oya?" Mili mengangguk yakin. "Iya kok." "Tapi Mas bisa buktikan kalau kita punya perasaan yang sama," seru Dimitri serupa bisik. "Buktikan!" tantang Mili mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Oke." Hanya satu kata singkat itu yang keluar dari bibir Dimitri. Sebelum ia melepas sabuk pengaman lantas mencondongkan tubuh untuk meraih tengkuk Mili, menariknya cepat dan mengakhiri keterkejutan Mili dengan menabrakkan bibirnya pada bibir tipis Mili yang berpulas lip gloss beraroma strawberry. Dasar duda sinting!! Tak tahu diri!! Pekik Mili dalam hati lantas menutup kedua matanya yang sudah basah karena air mata. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN