"Mili Cemil ... Kamu di mana? Kenapa belum nyampe kantor juga jam segini?" omel Fala saat menghubungi Mili lewat sambungan telepon.
Mendengar suara Fala yang tak sabaran, Mili sontak melebarkan mata. Gadis manis yang baru bangun tidur itu segera menegakkan duduk di tengah ranjang besarnya. Mencoba meraih jam digital berbentuk persegi yang ia letakkan di atas meja kecil sebelah nakas.
Sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima menit. Terang saja Fala mengomelinya, karena jelas-jelas Mili terlambat datang ke kantor. Bahkan masih belum bangun dari ranjangnya.
"Aku diare Kak Fal," dusta Mili saat memutar otak mencari alasan yang tepat. "Ini aku lagi di toilet loh." sambungnya lagi berharap lebih meyakinkan.
"Ckk, abis makan apaan sih semalam sampe diare gitu?" tanya Fala penasaran.
"Hmm, itu tuh Kak, hmmm ... habis makan tahu telor semalam. Kayaknya bumbu kacangnya nggak cocok sama perut aku, sampe melilit gini." Mili tak pandai mengarang cerita, namun demi kedamaian paginya, gadis itu harus melanjutkan sandiwara yang terlanjur ia mulai.
"Ya udahlah, sekalian gak udah ngantor aja. Eh tapi, siang ini tapi bisa langsung ke Pastela nggak Mil? meeting sama client baru yang minta digambarin buat souvernir nikahan dia itu. Tapi kalau kamu belum sehat bener ya nggak masalah sih skip dulu, nanti aku kabarin dia." sambung Fala terdengar khawatir.
Mili memejamkan matanya untuk beberapa detik sebelum menjawab permintaan Fala. "Aku usahakan, Kak. Siapa aja yang ikut ketemu client?"
"Ya cuma kita berdua sih Mil," jawab Fala.
"Hmmm, oke nanti aku kabari ya kak."
"Oke, ditunggu ya Mil. Nanti aku jemput di kontrakan biar kamu gak perlu repot naik motor atau order ojek online aja, kan baru enakan tuh perut."
Mili mengangguk sekali seolah sedang berbicara langsung dengan Fala. "Hmm, thank you Kak Fal, aku order ojek aja deh." seru Mili tulus.
"Sorry telat, Kak." Mili meringis lebar tatkala sudah sampai di sebelah meja makan bundar yang dipesan oleh Fala di salah satu café yang sebelumnya mereka sepakati bersama seorang client.
Melihat kedatangan Mili yang nampaknya kacau karena berkejaran dengan waktu, Fala gegas menurunkan ponsel yang sebelumnya ia letakkan di sebelah telinga. Lantas meletakkan kembali benda pipih itu ke atas meja.
"Syukurlah akhirnya datang, kamu bikin khawatir aja Mili Trilili. Lama banget sih?"
"Ada kecelakaan beruntun tadi, macet parah gilak. Supir taksinya aja sampe ikutan puyeng cari jalan alternative masuk-masuk gang sempit."
Mili menarik satu kursi kayu lantas ia duduki. Tak membuang wajtuy lagi, gadis itu juga langsung mengeluarkan tablet yang selama ini menjadi senjata andalannya. Sambil menunggu tabletnya menyala sempurna, Mili memutuskan memilih beberapa menu makanan yang ada di cafe ini dari buku menu yang ada di depan Fala. Karena melihat Fala sudah memesan minuman dan makanan sendiri, tentu saja membuat gadis itu menginginkan hal yang sama.
"Client kita belum dat—"
Ponsel Fala yang kembali bergetar menggantung kalimat tanya Mili.
'Eh, Mas. Gak jadi, gak jadi. Ini si Mili barusan aja nyampe, sorry ya merepotkan.'
' ... '
'Oke, oke ... nanti aku kabari lagi kalau kerjaan kami sudah beres.' Fala melengkungkan senyum cerah sebelum memutus panggilan teleponnya.
"Siapa Kak Fal? Kok pake nyebut-nyebut namaku segala sih?"
Mili memicingkan matanya sekilas, namun sedetik kemudian mengangkat satu tangannya untuk memanggil seorang pramusaji karena ia akan memesan minuman dan makanan ringan. Ketan durian dengan taburan keju serta satu gelas jus jambu berukuran jumbo menjadi pilihan Mili siang ini.
"Mas Dimitri, tadi aku minta tolong dia buat jemput kamu di kontrakan. Habisnya kamu nggak nyampe-nyampe sih, kirain lagi sekarat atau apa kan. Apalagi kamu bilang habis sakit perut semalam." jawab Fala seolah tanpa beban.
Mendengar nama Dimitri tentu saja membuat Mili membelalakkan mata seketika. Gadis berparas cantik itu mendadak tak bisa bernapas. Bagaimana bisa?
"A- apa? Gimana maksudnya?"
"Ya kan kamu tadi nggak nyampe-nyampe Mil, mana telpon aku gak diangkat juga. Ya khawatir lah." decak Fala memanyunkan bibir.
"Aku tadi lagi di jalan Kak, jalanan hectic banget sampe aku gak nengok ponsel sama sekali."
“Ya, makanya aku minta bantuan Mas Dim buat jemput kamu. Atau minimal nengok keadaan kamu lah di kontrakan." Fala kembali mengangkat kedua bahunya santai.
Mili melongo seketika. "Kenapa harus Mas Dim?" ujar gadis itu nyaris tanpa suara saking pelannya.
"Ya karena kantor Mas Dimitri ternyata searah sama kontrakan kamu, Mili. Nggak begitu jauh gitu." Mili menyesap minuman dinginnya sambil menggerak-gerakkan jemari lentiknya manja. Khas sekali seorang Fala Adisti.
"Kak Fala ngasih alamat tempat tinggalku ke Mas Dim?" pekik Mili mengedipkan mata beberapa kali.
Susah payah Mili mencoba melarikan diri dari Dimitri. Bukankah akan sia-sia saja jika pada akhirnya Fala yang dengan suka rela memberikan alamat lengkapnya pada duda tampan nan rupawan itu.
"Aku kasih tau kalau kamu tinggal di kompleks Shama Hills. Baru aja mau aku kasih tau blok sama nomor rumah kamu, eeh ternyata kamunya nongol."
Kali ini Fala mengendikkan dagunya ke tablet Mili. Memberi kode pada gadis itu Agara memeriksanya, biasanya karena Fala baru saja mengirimkan blue print pekerjaan mereka hari ini.
"Kak Fala ada-ada aja deh," dengkus Mili lantas memeriksa tabletnya. Benar ternyata ada satu email terbaru dari email Little ArtSpace yang merujuk pekerjaan mereka siang ini.
"Udah lah, gitu doang Mil. Toh Mas Dim juga belum jadi berangkat kok. Jadi kamu gak merepotkan siapa-siapa kan? Nggak usah nggak enakan gitu. Toh kamu udah kayak adik kandung aku sendiri, santuy ya sist." Fala mengibaskan satu tangannya ke udara.
Mili hanya bisa mendebas napas, memang tak bisa berkutik lagi. Apalagi Fala hanya berniat baik karena mengkhawatirkan keadaannya. Karena memang perempuan itu tak tahu menahu perihal apa yang pernah terjadi di antara Mili dengan calon suaminya, Dimitri.
Fala dan Mili diliputi keheningan karena keduanya sibuk dengan tablet masing-masing, sampai sekitar dua puluh menit kemudian client yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Client kali ini bernama Mbak Naya, yang ternyata adalah teman semasa SMA dari Fala.
Pantas saja Fala memaksa untuk ikut dalam pertemuan kali ini, padahal ini sama sekali bukan ranah pekerjaannya. Karena ia ingin reuni singkat juga dengan sahabat lamanya. Naya datang tak seorang diri, melainkan ditemani seorang ibu paruh baya yang ternyata adalah calon mertuanya.
“Hai Nay, akhirnya ketemu juga ya kita. Kangen banget tau!!” Fala berdiri menyambut sahabat baiknya yang hari ini menjadi client pertama Mili semenjak bergabung menjadi salah satu illustrator di Little Artspace.
“Hai juga, Fala. Astaga … lama gak ketemu kenapa makin hot aja sih lo.” Naya membalas pelukan hangat Fala.
Tak mau canggung sendirian, Mili ikut bangkit berdiri. Setelah membungkuk hormat, ia menyalami Naya dan calon ibu mertuanya secara bergantian.
“By the way ini Mili, Nay. Ilustrator yang nantinya akan gambarin apa yang lo minta buat acara pernikahan lo nanti. Dia baru tiga bulanan gabung di Little Artspace, tapi lo nggak perlu ragukan lagi kemampuan gambarnya. Udah sampe Singapura segala loh dia.”
Fala begitu bangga memperkenalkan Mili. Padahal ya … Mili merasa ia masih perlu banyak belajar lagi, meski beberapa orang mengatakan hasil goresan tangannya memang seluar biasa itu. Dan, karena itu pula, Evan- pendiri Little Artspace mengajaknya bergabung di perusahaan miliknya setelah melihat karya-karya Mili dalam beberapa kontes juga yang sengaja ia pajang di halaman social media.
“Salam kenal ya Kak Naya,” sahut Mili tersenyum lebar.
“Salam kenal juga ya,” balas Naya ramah. “Kemarin lusa aku udah kirim beberapa coretan yang aku pengen ke emailnya, Evan. Udah liat kan?” Naya masih menatap lurus ke arah Mili.
“Udah, Mbak. Aku juga udah bikin desain awal yang mau aku tunjukin ke Mbak Naya.”
Mili mulai membuka beberapa file gambar yang sudah ia siapkan sebelumnya. Sebelumnya, Evan hanya memberi tahu Mili kalau clientnya ini adalah calon menantu dari salah satu pengusaha ternama si Surabaya. Jadi permintaannya harus banget sesuai dengan apa yang diinginkan Naya. Dan keinginan Naya termasuk hal yang lumayan rumit bagi Mili. Karena calon pengantin itu ingin dibuatkan pernak-pernik pernikahan yang serba custom dengan ilustrasi yang didesain khusus.
Dan, yang paling banyak menyita waktu dan pikiran Mili adalah permintaan Naya yang ingin dibuatkan semacam story book dengan hard cover tentang perjalanan cintanya dengan sang calon suami. Lalu ilustrasi yang akan digambar detail oleh Mili itu akan dicetak secara massal untuk undangan juga souvenir tamu pernikahan yang pastinya akan berjumlah ribuan.
“Ini untuk cover story booknya, sengaja aku buatkan beberapa pilihan biar Mbak Naya bisa pilih gambar yang cocok. Lalu ini untuk desail undangan juga kotak souvenir-nya.” Mili mencoba menjelaskan dengan sedetail mungkin.
“Ini lucu nih,” Naya mulai menunjuk pilihan kedua dengan tema fairytale. “Gimana Ma?” sambungnya lagi lantas mendekatkan tablet milik Mili ke arah calon ibu mertuanya.
“Bagus, girly banget Nay.” komentar si calon mertua. “Kamu udah rundingan sama Edward?”
“Udah dong, Ma. Kata Mas Ed, sih semua terserah aku.” jawab Naya dengan nada manja.
Pembicaraan keempatnya berlangsung hampir satu jam setelahnya. Tentu saja didominasi oleh si calon pengantin wanita yang akan melepas masa lajang kurang lebih enam bulan lagi dari sekarang. Mili dengan cermat mencatat beberapa revisi yang diinginkan oleh client pertamanya ini, ia tak ingin ada sedikit cela yang akan menurunkan penilaiannya sejak bekerja di perusahaan milik Evan ini.
“Eh, Fal, kata anak-anak yang lain lo udah ada tunangan ya? kenapa nggak undang-undang gue sih?” dengkus Naya setelah desain permintaannya sudah fix dan kembali diserahkan pada Mili. Kini mereka kembali bersenda gurau membahas apa saja yang bukan masalah pekerjaan dan tentu saja tak dipahami oleh Mili.
“Acara tunangannya dadakan gitu deh, Nay. Karena nyokap dari tunangan gue sempet drop, jadinya dipercepat.” jawab Fala kembali mengaduk minuman dinginnya.
“Terus kapan mau naik ke jenjang pernikahan nyusulin gue?” Naya menepuk pelan pundak sahabatnya.
“Entahlah kapan, belom terlalu jinak juga sih calon laki gue. Anteng banget dia.” Fala terkekeh sendiri mendengar jawaban spontannya.
Mili yang mendengar jelas semuanya, hanya menunduk sambil berpura-pura sibuk dengan layar tabletnya. Padahal ia tak melakukan apa-apa selain menggerak-gerakkan jemarinya secara asal di atas layar datar itu.
Pertunangan dadakan karena ibu Mas Dim drop? Tante Wulan kah maksud Fala? Batin Mili mulai mulai menebak-nebak kemana-mana.
“Kenalin dong sini.” suara Naya kembali terdengar membujuk sahabatnya.
“Eh, boleh deh. Tadi dia bilang lagi nggak sibuk di kantor, gue minta ke sini aja kali ya, biar kalian kenalan.” sahut Fala langsung mengetikkan jemari di atas layar ponsel, hal yang sontak saja membuat Mili kelimpungan seketika.
“Boleh, boleh. Suruh ke sini aja sekalian jemput elo kan?” tawar Naya langsung di angguki Fala.
Mili menegakkan duduknya seketika. Lagi-lagi merasa tak aman jika harus berlama-lama di sini. Bisa-bisa ia kembali bertemu dengan Dimitri dan merasakan bimbang seperti yang sudah-sudah.
“Eh, Kak Fal. Aku balik dulu ya.” Mili langsung merapikan barang-barangnya ke dalam tas yang ia bawa. “Aku kerjain di kantor aja sisanya.”
Tanpa disangkan, Fala langsung mencekal pergelangan tangan Mili dan menahannya erat-erat. “Nanti aja kita balik ke kantor sama-sama. Mas Dim udah di jalan kok, kita barengan aja naik mobilnya.” seru Fala dengan seringai tipis di ujung bibirnya.
***