Kemanisan Palsu

1036 Kata
Kata Maaf yang terucap kepadamu bukanlah kata maaf yang bisa diartikan secara harfiah. "Maaf" yang terucap kepadamu saat kau merendahkan keluargaku, mengecap bahwa aku tidak memiliki masa depan jika hanya mengandalkan apa yang kumiliki saat ini, adalah kalimat sindiran untukmu yang menurutku sudah sangat keterlaluan. Tapi, apa yang aku lakukan saat itu rupanya tidak serta merta membuka pikiranmu lebih jauh. Awalnya, kau menanyakan alasanku terus menerus meminta maaf. Aku tidak memberikan jawaban berarti, hanya kalimat dingin seakan tidak acuh dengan apapun yang kau katakan. Dengan lembut, kau bertanya sekali lagi, apa yang terjadi kepadaku. Saat itu aku berpikir bahwa kau sudah menjadi orang yang berbeda, kau sudah berubah menjadi lebih baik, sehingga aku memiliki ekspektasi yang tinggi terhadapmu. Pertanyaan lembut darimu hanya aku jawab dengan satu kata, "tidak." Waktu itu, aku mengira kau sudah menjadi seorang lelaki yang peka, dapat mengerti apa yang aku inginkan, tanpa aku harus mengatakannya secara gamblang. Sayangnya aku salah, saat itu kau justru jengkel dengan sikap tidak jelas yang aku tunjukkan. Satu sisi aku sadar, jika apa yang kulakukan saat itu benar-benar salah. Namun di sisi lain, egoku saat itu menuntun agar aku memberikan pelajaran dengan menunjukkan sikap sebagaimana kau memperlakukanku selama ini. Memang tidak sama persis, atau bahkan berbeda jauh. Namun kala itu aku menemukan satu poin penting dari caramu bersikap, yaitu egois. Saat itu, saat setelah kau menghina keluargaku secara tidak langsung, saat itu juga aku ingin bersikap egois. Aku tahu, sikap diam membisu tanpa ada satu kata keluar setelah kalimatmu, akan memicu pertengkaran di antara kita. Aku benar-benar sadar, jika sikap kekanak-kanakan yang kutunjukkan akan membuatmu marah. Tapi sayang, saat itu aku tidak peduli lagi. Jujur saja, perasaanku padamu sudah lenyap. Aku sudah tidak peduli lagi dengan rasa bersalah yang menyebabkan jatuh ke dalam lubang krsengsarssn. Aku tidak peduli lagi jika kau menganggapku sebagai orang yang menyebabkanmu mulia mengonsumsi minuman keras. Kau tahu, Geno? Aku rasa, semua kalimat itu hanya alasan yang kau buat-buat sendiri. Alasan agar perempuan bisa masuk ke dalam perangkapmu, agar kau bisa mengendalikan perempuanmu sepenuhnya. Mungkin, jika aku ingin berburuk sangka kepadamu, kau bahkan mampu mengendalikan perempuan agar mau menuruti perintahmu dan memenuhi keinginanmu secara fisik. Maksudku, hubungan biologis antara lelaki dan perempuan pun mungkin sudah kau lakukan di luar sana, mengingat betapa mengerikannya lingkaran pertemananmu ketika di Surabaya. Sesuatu yang terjadi selanjutnya benar-benar sesuai perkiraanku. Kau tidak lagi bertanya tentang apa yang terjadi padaku. Kau diam selama beberapa detik, aku pun ikut terdiam dan tidak berusaha membawa topik baru ke dalam obrolan kita. Keheningan yang tercipta benar-benar terasa kontras jika dibandingkan dengan beberapa saat lalu di mana kita saling bercanda satu sama lain layaknya sepasang kekasih. Namun hatiku yang selama ini kau lukai, tidak bisa sembuh begitu saja hanya karena kau bersikap baik kepadaku. Memang benar, aku mulai menaruh harapan padamu. Tapi, aku sudah tidak bisa lagi melepaskan hatiku seperti dulu. Rasa dendam yang masih mendidih di dalam kepalaku, menjadi bahan baku yang membuatku kuat menghadapimu. Keinginan untuk menunjukkan sikap yang sama seperti sikapmu selama ini benar-benar besar, aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan selama ini. Tiba-tiba, serasa kerasukan setan, kau berteriak sekeras-kerasnya kepadaku. Tanganku bergetar sambil menahan ponsel agar tetap menempel di telingaku. Jantungku berdebar dan tanpa sadar air mataku kembali menetes. Kenapa? Kenapa kau tiba-tiba berteriak membentakku? Kenapa? Padahal beberapa saat yang lalu kau adalah seorang lelaki idaman yang diimpikan semua wanita. Tapi yang aku dengar sekarang hanyalah suara dari sosok lelaki yang paling ditakuti di seluruh dunia. Teriakan itu diikuti oleh sumpah serapah yang selama ini biasa kau ucapkan kepadaku. Kau mengecapku sebagai gadis bodoh, gadis yang tidak tahu terima kasih. Kau menganggapku tidak bisa menghargaimu, padahal kau sudah bersusah payah berubah demi aku. Kau bilang bahwa kau menahan gejolak yang ada di dalam hatimu dengan susah payah. Ada rasa ingin mengatur yang mendidik di dalam kepalamu karena melihatku saat itu seperti orang yang liar, kau menganggapku tidak bisa diatur dan tidak ingin diatur, padahal kau melakukan semua itu atas dasar rasa sayang. Dan lagi, kau menganggapku sebagai orang yang tidak peduli denganmu, padahal seharusnya aku tahu jika kau adalah orang yang sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Tapi kau tahu, Geno, aku lelah. Aku lelah dengan semua drama yang sudah kau lakukan selama ini, drama yang membuatku tidak peduli terhadap diriku sendiri. Ocehan yang menyerocos dari ujung telepon, aku dengarkan saja. Jujur aku sudah tidak peduli lagi jika kau marah, kepalaku sudah penuh dengan semua masalah yang terjadi di antara kita. Aku sudah tidak menganggap kau ada di sana, aku benar-benar lelah. Tidak lama setelahnya, kau menutup panggilan telepon kita dengan kasar. Setelah sambungan telepon benar-benar berakhir, tubuhku longsor, menjatuhkan diri di atas ranjang empuk yang setiap harinya aku gunakan untuk beristirahat. Badanku masih gemetar, mengingat betapa mengerikan sikap yang kau tunjukkan. Aku kira kau berubah, ternyata sikap lembut itu hanya pencitraan yang kau lakukan kepadaku. Trauma terhadapmu yang pelan-pelan aku coba hapus, kembali mencuat ke permukaan. Membuatku kembali berpikir jika kau adalah orang yang bukan seorang idaman sama sekali. Aku menangis sejadi-jadinya lagi. Aku lelah, lelah menghadapi seorang lelaki sepertimu. Aku tidak ingin apa yang terjadi kepadaku selama ini terulang, aku ingin menghargai diri sendiri lebih baik lagi dibandingkan sebelumnya. Rupanya percobaanku gagal, percobaan untuk melihat apakah perubahan yang terjadi pada dirimu akhir-akhir ini, rupanya hanya perangkap yang kau pasang untuk mendapatkan kekuasaan terhadap diriku lagi, setelah sebelumnya aku terlihat memberontak. Kau tidak rela melepaskanku, karena mungkin menurutmu aku adalah perempuan yang patuh, tidak banyak protes terhadap apapun yang kau katakan selama ini. Di tengah isak tangis yang terjadi kepadaku, aku sempat memeriksa ponselku untuk melihat apa yang kau lakukan setelah memarahiku di dalam telepon. Apakah kau akan kembali menghujatku melalui pesan singkat, atau langsung memblokir nomorku seperti sebelumnya. Rupanya kau langsung memblokir nomorku, tanpa mengeluarkan sumpah serapah yang selalu menjadi senjatamu untuk menjatuhkanku. Namun entah kenapa, aku merasa sangat lega bisa membuatmu marah karena sikap egois yang aku tunjukkan. Ya, seperti itulah sikapmu selama ini. Saat itu aku berpikir, jika kau jengkel dengan sikap yang aku tunjukkan, berarti kau juga jengkel kepada dirimu sendiri. Karena apa yang aku tunjukkan memang identik dengan bagaimana caramu memperlakukanku selama ini. Dalam tangis, ada senyum puas yang terukir di wajahku. Dalam nafas yang terengah, ada kepuasan yang aku rasakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN