Telur

1150 Kata
Malam hari setelah kau datang ke rumah memberi kabar yang menggemparkan, aku tidak bisa tidur nyenyak. Pikiranku kacau. Meski aku menguap berkali-kali dan mataku terasa berat, namun ketika hendak menuju ke alam mimpi, selalu saja pikiran-pikiran buruk tentang apa yang mungkin bisa kau lakukan untuk mendapatkanku terlintas, membuat jiwaku kembali ke dalam tubuh. Tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain mengumpat dan menangis, sehancur itu aku sekarang. Malam semakin larut, kendaraan yang berlalu lalang di depan rumah sudah sangat jarang. Suara yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan beberapa hewan malam yang saling beradu memecah kesunyian. Pikiranku yang kacau membuat suara itu terasa sangat mengganggu. Aku hanya bisa berputar-putar di atas tempat tidur, namun pikiranku sedang tidak bersamaku saat ini. Aku terus memikirkan bagaimana cara menghadapi sosok pria busuk yang mampu membolak-balikkan kalimat dan memanipulasi pikiran lawan bicaranya. Pria itu bukan orang lain, ia adalah dirimu, Geno. Jangan hanya tersenyum ketika membaca tulisan ini, pikirkan cara untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu padaku! Jangan kabur dari tanggung jawab! Aku hancur seperti sekarang ini karena dirimu! Detik jam dinding di kamarku yang memecah keheningan, mampu mengalihkan fokusku yang sedang berusaha keras agar tertidur. Aku berusaha melihat ke arah jam dinding yang menggantung di atas pintu kamar, dama gelap malam aku dapat melihat dengan samar, waktu sudah menginjak pukul 2 pagi. Hahhh… hampir semalam suntuk aku tidak tertidur. Bagaimana ini? Apapun yang aku lakukan tidak mampu membuatku terlelap. Tiba-tiba, perutku mengeluarkan suara. "Krukkk!" begitulah kira-kira suara yang bisa kudengar. Aku memegang perut sambil tetap berbaring, lalu bergumam, "aku lapar." Ya, aku sadar, sejak sore hari, tidak ada sesuap makanan yang masuk ke dalam tubuhku. Pantas saja badanku mulai gemetar. Selain memang sedang memikirkan sesuatu yang berat, tubuhku rupanya juga menuntut untuk diberi nutrisi. Sekuat tenaga aku berusaha bangkit dari tempat tidur. Saat berdiri, rasanya seluruh dunia berputar. Perutku mual, padahal tidak terisi apapun. Pikiran payahku malam itu bertanya-tanya, apakah aku hamil? Payah bukan? Padahal aku tidak pernah melakukan apapun bersamamu, tapi aku bisa berpikir seperti itu. Aku menutup mulutku dengan telapak tangan, karena semakin tidak tahan dengan rasa mual di perutku. Aku mencoba berpikir positif, mungkin ini akibat asam lambung yang naik secara berlebihan karena tidak ada makanan yang masuk ke perutku, bukan karena alasan lain. Pasti karena hal itu! Aku mencoba sekuat tenaga untuk keluar kamar, meski harus berjalan dengan tertatih dan merayap. Aku menyusuri tembok rumah dari kamarku yang ada di samping ruang tamu hingga ke dapur di bagian belakang. Perlahan, aku terus memaksa kakiku melangkah. Aku berpikir, jika saat Ayah dan Ibu ada di rumah, aku tidak memiliki wajah untuk diperlihatkan, bahkan hanya untuk sekadar mengambil makanan yang ada di dapur. Namun ketika Ibu dan Ayah sedang terlelap, saat itulah kesempatanku untuk makan datang. Entah sejak kapan aku memiliki pikiran buruk seperti itu, padahal biasanya aku seperti tidak tahu malu saat ingin mengambil makanan. Maklum, kita semua pasti melakukan hal ini di rumah masing-masing bukan? Sepertinya nasib belum berpihak kepadaku. Hampir tidak ada makanan yang tersisa di dapur. Bahkan nasi pun hanya tersisa nasi kering yang tidak layak dimakan. Aku menghela nafas kecewa, Ayah dan Ibu bahkan tidak menyisakan nasi untukku. Ketika itu aku berpikir, apakah mereka masih menganggapku sebagai anak? Apakah semua perbuatan baktiku selama ini terhapus hanya dengan fitnah keji yang kau ucapkan sore tadi? Cih, dunia ini memang kejam, Geno! Aku mencoba peruntungan dengan membuka lemari es. Jika tidak ada makanan, berarti Tuhan memang tidak mengizinkanku untuk makan hari ini. Aku mencoba berpikir sederhana dan positif, lelah rasanya selalu memikirkan semua hal buruk yang terjadi hari ini. Beruntung, ada satu butir telur yang belum diolah. Aku mencoba mencari hal lain yang mungkin bisa membuatku lebih kenyang dan menemukan tepung maizena dan mentega di salah satu kabinet di samping kompor yang biasa digunakan untuk menyimpan bahan mentah. Aku rasa cukup, malam ini perutku hanya diisi oleh telur. Miris sebenarnya, tapi tidak ada hal lain yang bisa dilakukan sekarang. Aku kocok dua sendok tepung maizena yang aku beri sedikit garam dan air, lalu aku tambahkan telur dan kembali kukocok hingha tercampur rata. Kemudian aku mengambil mentega curah yang ada di kabinet di mana aku mengambil tepung. Aku iris sedikit menteg itu menggunakan sendok makan, lalu aku letakkan di atas wajan kecil yang sudah kupasang di atas kompor. Perlahan, aku memutar knob untuk menghidupkan kompor karena tidak ingin Ayah dan Ibu terbangun. Sayangnya, suara ketika menggoreng telur cukup kencang serta aroma lemak yang tercium cukup pekat, jika Ayah dan Ibu baru terlelap, pasti akan segrra sadar jjka aku sedang memasak. Sambil beberapa kali menengok ke belakang, aku terus berharap agar telur di atas penggorengan ini lekas matang agar dapat dibawa ke kamar. Namun entah kenapa, rasanya menggoreng telur kali ini memakan waktu yang sangat lama. Aku mulai sedikit panik, air mataku kembali mengalir perlahan karena takut ketahuan Ayah dan Ibu. Keringat mulai mengucur perlahan, seiring jantungku yang semakin berdebar. Aku bisa menarik nafas lega saat akhirnya telur buatanku matang sempurna. Aku mengambil piring dan satu gelas besar air putih, lalu aku letakkan telur yang masih panas itu ke atas piring dan kembali berjalan mengendap ke kamar. Namun ketika aku melewati kamar Ayah dan Ibu, aku mendengar mereka sedang berbincang. Mataku terbelalak, rupanya Ayah dan Ibu masih terjaga. Mereka pasti tahu saat aku membuat makanan di dapur. Tapi kenapa mereka tidak keluar untuk sekadar menegur? Apakah mereka tidak ingin melihatku lagi? Aku kembali mengendap, mendekat ke pintu kamar Ayah dan Ibu, mencari tahu obrolan apa yang membuat mereka terjaga hingga dini hari. Sayup-sayup aku mulai dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku menggertakkan gigi ketika tahu bahwa mereka masih membicarakan kejadian tadi sore. Dari apa yang aku dengar, Ayah dan Ibu sama sekali tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Orang tuaku lebih percaya dengan ucapanmu, Geno, bukan ucapanku yang merupakan anak kandung mereka. Bahkan Ayah dan Ibu berprasangka buruk kepadaku. Bagaimana aku tidak marah? Bagaimana aku bisa baik-baik saja jika orang tuaku sendiri bahkan tidak memercayaiku? Mereka pikir, aku tidak mengakui kehamilanku karena berniat menggugurkan kandungan di luar sepengetahuan Ayah dan Ibu. Aku tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa memiliki pikiran keji seperti itu? Padahal, aku tidak pernah memiliki keinginan untuk membuang anak yang ada di dalam kandungan, jika memang benar-benar hamil. Tapi ini, aku tidak mengandung! Tolonglah, Ayah, Ibu, kenapa Ayah dan Ibu tidak bisa percaya kepadaku di saat seperti ini? Aku tidak kuasa lagi mendengar lebih lanjut obrolan Ayah dan Ibu. Semakin aku dengar pembicaraan mereka, hatiku terasa semakin sakit dan air mataku mengalir semakin deras. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan tertatih ke kamar, menahan badan yang terasa bisa ambruk sewaktu-waktu. Sesekali aku masih menoleh ke belakang, ke arah kamar Ayah dan Ibu. Entah kenapa, ada sedikit rasa benci yang hinggap di dalam pikiranku. Padahal selama ini aku tidak pernah membuat Ayah dan Ibu kecewa, aku selalu menurut kepada Ayah dan Ibu, aku selalu berbakti. Tapi kenapa? Kenapa hanya dengan kesalahan yang tidak kuperbuat, dunia terasa seperti terbalik?

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN