Kau Di Sini?

1067 Kata
Hai, Geno, bagaimana kabarmu setelah satu tahun kita tidak berbincang? Apakah kau baik-baik saja selama ini? Lalu, untuk apa kau kembali menghubungiku setelah satu tahun bungkam tanpa kabar dariku? Apakah hanya karena kau merindukanku? Atau sebenarnya kau memiliki maksud lain? Apa hanya karena kebetulan kau berada di kota yang bersebelahan denganku, makanya kau kembali teringat olehku? Atau karena kau ingin kembali menghantui kehidupanku seperti dulu? Geno, setelah satu tahun dan kita kembali akrab, kau datang dengan punggung penuh luka. Jangan mengartikan kalimat yang aku tulis di dalam surat secara harfiah, karena aku seorang penulis yang terbiasa menggunakan kata-kata kiasan. Kau datang dengan penuh beban dan semua akhirnya kau limpahkan padaku setelah seluruh beban itu menggunung di dalam hatimu. Awalnya aku mengira sudah cukup kuat, tidak akan goyah meski kau jejali cerita macam-macam. Tapi sayangnya, tembok es yang sudah kau hancurkan itu, semakin kau remukkan hingga aku tidak kuat lagi menahan diri untuk tidak menangis mendengar cerita darimu. Setelah akhirnya kau kembali mendapatkan perhatian dariku, saat itu ada sebuah kalimat menyentuh yang kau utarakan padaku. Ada pernyataan penyesalan yang terucap, kau bilang jika kau menyesal telah melepas perempuan sepertiku di masa lalu dan lebih memilih perempuan busuk itu. Aku terkejut mendengar kalimatmu yang menjelekkan mantan kekasihmu satu tahun yang lalu itu dengan kata "busuk" yang menurutku sangat menusuk. Bagaimanapun, perempuan itu adalah mantan kekasih yang pernah kau cintai. Tidak seharusnya kau berkata demikian kepada perempuan yang pernah mengalihkan matamu dariku. Dengan suara sedih yang terdengar bergetar, kau menceritakan semua keburukan yang pernah dilakukan oleh mantan kekasihmu itu. Awalnya aku tidak terlalu peduli, namun saat itu kau terlalu lihai dalam merangkai kata, hingga tanpa sadar air mataku mulai menetes mendengar seluruh kisah yang kau ceritakan. Karena kau tahu jika saat ini kita berada dekat satu sama lain, kau mengajakku bertemu untuk pertama kalinya. Mendengar ajakanmu, hatiku langsung berdebar kencang. Aku tidak tahu harus bagaimana, karena aku tidak pernah menemui seorang lelaki secara pribadi sebelumnya. Ada rasa segan untuk menolak ajakanmu, aku takut kau sakit hati bila aku tidak mengiyakan permintaanmu. Tapi jika aku melakukan itu, aku sendiri merasa tidak nyaman. Tapi, aku saat itu merasa sudah bukan seorang Nanda yang selalu memikirkan perasaan orang lain ketika berbicara dan mengabaikan perasaanku sendiri. Aku saat itu merasa, lebih bisa menghargai perasaanku dan mulai lebih memikirkan diriku sendiri, sehingga aku mengatakan kepadamu jika aku tidak bisa menerima ajakanmu karena tidak pernah bertemu dengan seorang lelaki di luar sebelumnya. Mendengar jawabanku, ada sebuah nada kecewa dan suara berat yang aku dengar. Aku tahu, mungkin di dalam lubuk hatimu, kau sangat ingin bertemu denganku. Tapi maaf, saat itu aku sama sekali tidak siap. Ada rasa sedih yang tiba-tiba merasuk ke dalam pikiranku saat penolakan itu terlontar dari mulutku. Namun aku berusaha menahan gejolak itu karena aku harus belajar untuk mengatakan tidak jika ada sesuatu yang tidak aku sukai. Mendengar penolakanku yang seakan tidak goyah meski ada nada kecewa yang keluar dari mulutmu, membuatmu sedikit geram terhadapku kala itu. Bukannya menyerah, kau justru mencoba untuk merayuku, lebih dan lebih lagi. Segala cara kau gunakan agar aku mau menemuimu. Ada perdebatan panjang yang terjadi di antara kita, yang intinya adalah kau ingin membuatmu mau menemuimu. Akhirnya disepakati jika aku mau menemuimu di kota seberang jika aku membawa seorang teman dari sini. Awalnya, kau menawarkan diri untuk datang ke rumahku, tapi dengan tegas aku menolaknya. Kau menawariku untuk nongkrong di kotaku pun, dengan tegas aku menolaknya. Meski aku adalah seorang perempuan, tapi aku lebih memilih untuk mendatangimu ke kotamu dan mengajak untuk bertemu di salah satu titik di sana. Akhirnya aku setuju untuk bertemu denganmu secara langsung di salah satu cafe yang ada di kota tempatmu tinggal sekarang. Salah satu kota di ujung Jawa Timur yang terkenal dengan… aku tidak ingin membahasnya. Intinya, ada satu hal yang menjadi ciri khas kota tempatmu tinggal saat ini dan kota tempatku tinggal sekarang. Meski aku setuju bertemu denganmu, aku mengajukan satu syarat yang tidak boleh kau bantah. Aku harus mengajak seseorang untuk menemaniku, karena aku tidak ingin menemuimu sendiri. Aku merasa tidak aman jika harus bertemu denganmu seorang diri. Ada rasa takut amat besar yang aku rasakan, yang membuatku tidak sanggup untuk menemui lawan jenis sendirian. Bukan hanya kau, Geno, aturan itu juga berlaku untuk semua lelaki yang ingin menemuiku. Hari pertemuan sudah ditentukan, bertepatan dengan hari libur kerjaku di apotek dan juga hari libur kerjamu. Sebenarnya saat itu kau tidak benar-benar libur, tapi sengaja membolos demi bisa bertemu denganku. Di masa kini aku sadar, kebiasaan membolos demi seorang perempuan itu bukanlah sikap yang patut dibanggakan. Sayangnya saat itu, sikap yang kau tunjukkan kuanggap sebagai perjuangan seorang lelaki yang memiliki keseriusan terhadap perempuan. Payah sekali saat itu bukan? Hari pertemuan tiba, aku berdandan secantik mungkin, mengenakan pakaian sesopan mungkin, agar pantas bertemu dengan seorang lelaki yang berasal dari kota metropolitan sepertimu. Saat aku tengah bersiap, aku mendengar suara motor berhenti tepat di depan rumah, lalu aku mendengar suara orang yang sangat maju kenal memanggil namaku dari luar rumah. Sambil berdandan, aku memanggil teman yang datang menjemputku untuk langsung masuk ke dalam kamar yang tidak jauh dari ruang tamu. Mawar, ia lah orang yang aku ajak untuk bertemu denganmu. Dibandingkan denganku, Mawar tampak lebih antusias ketika aku berkata ingin menemuimu. Ia bersikap seperti itu karena tahu jika aku tidak pernah dekat dengan seorang lelaki sebelumnya. Bagi Mawar, posisiku saat ini adalah sebuah pencapaian. Belum lagi, Mawar mengetahui bagaimana drama yang terjadi di antara kita di masa lalu, sehingga membuatnya lebih antusias ketika mengetahui jika aku dan kau kembali terhubung setelah berpisah satu tahun. Bahkan Mawar juga ikut memilihkan baju, serta membantuku berdandan agar tampil cantik di depan seorang "pangeran" sepertimu. Pangeran, adalah kata yang dipilih oleh Mawar untuk menyebutmu. Meski saat itu pun aku tersenyum geli mendengar kata tersebut, tapi menurut Mawar julukan itu pantas disematkan kepadamu yang mampu meruntuhkan dinding es yang ada di hatiku yang dingin dan membeku. Bahkan hangatnya perhatianmu pun mampu mencairkan kepalaku yang beku terhadap lelaki. Setelah bersiap cukup lama, akhirnya aku dan Mawar berangkat dari desa tempatku tinggal menuju ke pusat kota di mana kau sudah menunggu. Di tengah jalan aku berdebar, semakin dekat aku denganmu, semakin gemetar tanganku karena sadar jika sebentar lagi aku akan bertemu dengan seseorang yang pernah merebut hatiku dan membuatku memiliki perasaan lebih dari seorang teman. Namun untuk saat itu, aku tidak ingin berharap lebih kepadamu. Aku lebih ingin menikmati hubungan sebagai seorang teman, tanpa ada urusan asmara yang menyertai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN