Aku Suka Kamu

1321 Kata
Hai, Geno, bagaimana kabarmu? Apa yang kau lakukan selama tidak bersamaku? Tidak pernahkah kau merindukan sosok orang yang hampir setiap hari selalu hadir menemanimu meski dari jauh? Selama kau pergi, ada rasa rindu yang kadang terbesit di dalam kepalaku saat tanpa sengaja namamu melintas di dalam pikiranku. Saat akhirnya kita terhubung kembali, aku ingin mengutarakan rasa rinduku itu kepadaku. Tapi apa daya, aku terlalu egois dan terlalu malu untuk mengakui perasaan rinduku kepadamu. Bagaimana lagi? Aku adalah seorang perempuan, perempuan yang seharusnya menerima dan menunggu, bukan mengutarakan. Maka, apabila kau merasa rindu kepadaku, utarakanlah! Katakanlah kepadaku! Aku akan membalas perasaan rindu itu dengan indah. Sayangnya, mungkin saat itu kita sedang sama-sama merasa egois dan saling berpegang bahwa kita masing-masing adalah benar. Sehingga baik aku maupun kau, tidak ada satupun yang mengucap kata maaf. Aku tentu saja merasa benar, tetapi kau juga tidak merasa salah. Saat kita kembali terhubung, ada keinginan yang sangat besar di dalam kepalaku untuk membahas masalah yang menyebabkan kita tidak lagi sejalan, tetapi tidak, aku lebih memilih untuk merelakan masalah itu hanyut dan memulai hari baru bersamamu, bersama orang yang selalu bisa membuatku tertawa. Setidaknya saat itu kau selalu membuatku tertawa, Geno, sebelum akhirnya badai menyerang. Sejak kita terhubung kembali, kita menjadi sedikit lebih akrab dibandingkan sebelumnya. Selain akrab, kau juga terlihat semakin terbuka dengan cerita-cerita tentangmu. Aku sebagai orang yang suka mendengar cerita orang lain, merasa antusias mendengar kisah-kisah yang kau ceritakan padaku. Meski kisah itu hanya sebuah kegiatan sehari-hari, bagiku sudah cukup istimewa. Aku tidak terlalu peduli dengan apa yang kau ceritakan, asal itu darimu, maka aku akan meletakkan cerita itu pada ingatan berharga yang kumiliki. Semakin kau terbuka atas dirimu, semakin aku mengenal sosok Geno yang sebenarnya. Jujur saja, awalnya aku terkejut mendengar cerita-cerita tentang apa yang terjadi selama kau tidak bersamaku. Geno, sebenarnya kau adalah seorang lelaki yang baik, berasal dari keluarga baik, dan menjalani kehidupan di lingkungan yang baik. Aku tidak tahu alasanmu melakukan ini, aku tidak tahu alasanmu memilih jalan ini. Aku tahu dari beberapa cerita yang kau katakan padaku jika kau mengalami hari berat ketika berada di rumah. Terkadang kau berseteru dengan Ayah dan Ibumu, terkadang kau merasa kesepian, terkadang kau juga bertengkar dengan sahabat-sahabatmu di sana. Semua itu kau ceritakan kepadaku sehingga aku mengetahui seberat apa kehidupan yang kau jalani di sana. Beratnya hari-hari yang kau hadapi di sana, membuatmu terkadang mengambil jalan pendek. Awalnya, kau merasa memiliki teman yang bisa diajak bercerita, berkeluh kesah tentang kehidupan sehari-harimu. Tapi sejak kita berkonflik dan berpisah jalan, kau seakan kehilangan arah atas dirimu sendiri. Aku sempat bertanya kepadamu, kenapa kau tidak berkeluh kesah kepada orang lain di sana? Padahal kau memiliki sahabat, kau memiliki banyak teman, kau bukanlah orang yang antisosial seperti diriku saat ini. Tapi kenapa? Kenapa kau tidak membuka diri terhadap mereka? Jawaban dari pertanyaanku membuat air mataku mulai menggenang di kelopak mata. Kau bilang jika tidak ada sahabat yang bisa kau percaya di sana, semua teman yang kau kenal hanya menusukmu dari belakang ketika kau bercerita tentang masalah hidupmu. Beberapa teman berkata kepadamu, menganggapmu sebagai anak mama, anak manja yang ke mana-mana selalu dipantau oleh orang tua. Sebagai seorang lelaki, seharusnya kau bisa bertindak lebih bebas, lebih merdeka atas badan dan pikiranmu sendiri, bukan diatur oleh orang lain meskipun itu orang tuamu sendiri. Begitulah kau menceritakan pendapat teman-temanmu terhadap keluhanmu. Sebagian lain bukannya mencari solusi, justru membuat gosip-gosip miring tentangmu di belakang. Kau bercerita kepadaku jika gosip itu kau dengar sendiri ketika tidak sengaja melintas di belakang para sahabat ketika mereka tidak menyadari kehadiranmu. Saat itu kau langsung marah dan meninggalkan mereka, tetapi akhirnya kau berpikir jika hanya mereka orang yang mau menjadi sahabatmu di sana, sehingga kau berusaha meredam amarah yang berkobar di dalam kepalamu. Kau berusaha berdamai dengan mereka, berteman dengan mereka, menganggap semua perlakuan mereka terhadapmu hanya angin lalu belaka, demi bisa memiliki sebuah hubungan yang disebut dengan persahabatan. Ah, saat aku mengingat hal itu lagi, rasanya sangat lucu hingga membuatku tertawa geli. Bagaimana tidak? Kau seharusnya sudah mengetahui dan sepenuhnya sadar jika lingkungan pertemananmu sangat buruk dan beracun. Tapi kenapa kau masih tetap ingin berada di sana? Apakah kau haus pengakuan? Kau haus pujian? Kau berteman dengan orang-orang rusak itu karena ingin dianggap keren? Pfft… bermimpilah! Ah sial, kenapa di masa lalu aku bodoh sekali, Geno? Aku menganggap sikap sombong dan sok edgy yang kau tunjukkan itu keren. Padahal semua itu hanya sampah! Kau tahu? Sampah! Jika aku bisa kembali ke masa lalu, ingin rasanya aku menampar diriku sendiri dengan keras, atau bahkan membenturkan kepalaku hingga pingsan karena muak dengan kebodohan dan kenaifan yang aku tunjukkan. Bagaimana bisa di masa itu aku menganggap sikapmu keren? Astaga, sepertinya di masa lalu aku lebih sakit daripada masa sekarang! Maaf aku sudah memakimu, Sayang. Tapi memang itulah yang aku rasakan saat ini. Sayangnya di masa lalu, saat kepribadianku masih mentah dan belum ditempa dengan keadaan, aku berpikir jika apa yang kau lakukan itu sangat keren. Kau idaman, aku menganggapmu pemberani karena sanggup bertahan di dalam lingkungan beracun, serta setia kawan karena tidak meninggalkan teman-teman yang sudah menusukmu dari segala arah. Aku sangat kagum dengan keteguhan hatimu, membuat bunga yang ada di hatiku semakin bermekaran kau buat berkat sikap lelaki sejati yang kau tunjukkan. Namun sayang, ada satu hal yang membuat air mata yang menggenang di kelopak mataku menetes. Aku tidak rela jika harus melihatmu seperti ini, aku tidak ingin melihatmu seperti sekarang ini. Sayangnya, aku tidak bisa berbuat apapun. Apa yang terjadi kepadamu saat ini, ada aku yang ikut andil di dalamnya. Saat kita saling menjauh dan ada kesepian yang bersarang di pikiranmu, ditambah perlakuan buruk yang kau terima dari teman-temanmu, membuatmu mulai menyentuh barang terlarang. Dimulai dari menghisap tembakau, cerita itu mampu membuat air mataku mulai menetes. Aku merasa bersalah, Geno, karena aku yang menjauh, akhirnya kau harus mengalihkan rasa kesepian di hatimu dengan tembakau. Aku merasa berdosa, seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendiri. Kau bercerita kepadaku jika awalnya kau terbatuk-batuk ketika mencoba menghisap tembakau untuk pertama kali. Tapi seiring berjalannya waktu, kau mulai terbiasa dan menikmati setiap hisapan beracun yang masuk ke dalam tubuhmu. Aku menangis mendengar cerita itu, karena seharusnya kau tidak berbuat seperti itu. Seharusnya aku tetap ada di sana menemanimu, bukan justru menjauh dan merusakmu secara tidak langsung. Aku tidak bisa berkata-kata mendengar ceritamu. Aku ingin berkomentar pun, rasanya perkataanku akan pedas sehingga aku menahan diri untuk mengatakan hal itu kepadamu. Namun semakin aku diam, kisah yang kau ceritakan membuatku semakin merasa bersalah. Aku tahu, apa yang kau lakukan di luar sana adalah pengaruh dari lingkungan pertemanan yang kau jalani. Tapi aku tidak rela, seorang Geno yang seharusnya mampu menjaga dirinya, harus terjerumus karena rasa kesepian yang aku ciptakan. Kau bercerita kepadaku jika kau mulai menyentuh alkohol. Kau bahkan menunjukkan foto saat sedang memegang minuman keras tersebut. Sedih, Geno, aku sangat sedih mendengar hal itu, bagaimana bisa seorang Geno yang berasal dari keluarga terhormat dan dibesarkan di lingkungan terhormat mampu menenggak minuman terlarang itu? Aku geram, namun tidak bisa berbuat apapun. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanya menangis, karena air mata adalah satu-satunya senjata ketika aku sedang marah. Geno, saat mendengar ceritamu, jujur aku sangat kecewa terhadapmu. Namun rasa bersalah yang bersarang di dalam kepalaku mampu mengambil alih logika tumpul yang aku miliki. Bukannya menghindar, aku justru semakin mendekat kepadamu. Rasa bersalah itu juga menumbuhkan keinginan untuk membantumu kembali seperti sebelumnya, mengubahmu menjadi lebih baik dari hari ini. Geno, apapun keadaanmu saat itu, sosok Nanda muda yang naif ini mau menerima dan justru memutuskan untuk mulai menjatuhkan hati kepadamu. Aku ingin kembali menjadi temanmu, teman yang bisa menjadi tempat untuk berbagi keluh kesah. Saat itu juga aku berjanji kepada diriku sendiri, bahwa aku akan terus mendampingimu hingga perlahan mampu mengangkatmu keluar dari lubang hitam kesesatan yang sedang kau hadapi saat ini. Aku berharap, kehadiranku bisa menjadi pencerah bagimu, sehingga kau dengan senang hati kembali kepada sosok Geno yang aku kenal sebelumnya, sosok Geno yang selalu bisa membuatku tertawa dan membuat hari-hariku penuh warna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN