6. Ex.

1129 Kata
Sepertinya semesta berbeda pendapat, buktinya kita saling menemukan lagi dengan cepat. *** Satria kaku saat berhadapan lagi dengan eboni itu, ia seperti terhipnotis lagi setelah sekian lama tak pernah melihatnya, otaknya seakan berhenti memerintah hingga mereka berada dalam posisi seperti itu selama beberapa detik. Setelah Elsa berdiri tegak, barulah Satria melepaskan pegangannya pada pinggang serta lengan Elsa, dan gadis itu melengos keluar hotel tanpa mengucap sepatah kata seperti ketakutan setelah melihat sosok menyeramkan. Satria diam menatap punggung Elsa yang kian jauh hingga berbelok ke arah parkiran, sorot matanya ikut meredup, ia pikir semua itu mimpi, tapi ketika mendengar banyak orang berbicara di sekitarnya—ternyata apa yang baru saja ia alami adalah real, dia bertemu gadis itu lagi. “Ini hape siapa yah?” ucap seorang laki-laki pegawai hotel yang baru saja membungkuk mengambil sebuah ponsel di ujung lobi, Satria mengamatinya sejenak hingga ia teringat sesuatu. Satria menghampiri karyawan itu, “Maaf, Mas. Itu punya saya.” “Oh, ya udah ini, Mas. Kok dibuang? Kan mahal,” ujar si karyawan. “Nggak sengaja jatuh tadi.” Satria menerima ponsel itu. “Lain kali hati-hati, Mas. Saya permisi.” Si karyawan melenggang pergi, sedangkan Satria menatap ponsel pipih warna gold itu, ketika ia menghidupkannya terlihat wallpaper bergambar Elsa tengah berfoto seraya memegang stroberi, tampak menggemaskan dan Satria tersenyum akan hal itu. “Gue nggak nyangka bakal ketemu lo lagi, El. Apa ada sesuatu yang belum selesai?” gumamnya lantas memasukan ponsel Elsa ke saku celana, ia mengedar pandang. Satria memilih keluar dari hotel dan menghampiri mobilnya, ia duduk di balik kemudi lantas menyimpan ponsel Elsa di dalam dashboard, niatnya untuk hadir dalam acara pertunangan Lova akhirnya ia urungkan ketimbang membuat Elsa tak nyaman jika lagi-lagi melihatnya. Lebih baik ia pulang dan menetralisirkan hati serta pikirannya, gadis itu datang sengaja pamer lagi ke dalam hidupnya—untuk kedua kali. "Ternyata Jakarta nggak seluas yang gue kira, El,” gumam Satria sebelum akhirnya menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi dari hotel itu. *** Sedangkan Elsa yang ditemani Keenan tampak kelimpungan mencari ponsel miliknya, mereka datang ke tempat terakhir kali Elsa menyentuh benda itu yakni lobi hotel. Meski banyak orang berlalu lalang tapi mereka tak canggung untuk berjongkok atau membungkuk karena takut jika ponsel itu masuk ke kolong sofa atau tempat lain, Elsa bahkan mengangkat beberapa pot besar di sudut-sudut lobi, Keenan juga tiarap seraya meraba bawah sofa—tapi tak menemukan apa pun. Seorang karyawan hotel terlihat menghampiri Elsa yang berjongkok di depan pot bunga seraya memijat keningnya, ia begitu pusing karena benda berisikan segala kenangannya saat di Jepang ternyata tak ditemukan. “Maaf, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” tawar karyawan laki-laki itu, Elsa menoleh dan beranjak. “Iya, saya lagi cari hape saya yang jatuh di sekitar sini, Mas.” “Hape?” Karyawan itu menerawang. “Warna gold bukan?” Elsa mengangguk cepat, “Iya, Mas-nya lihat? Mana?” Karyawan itu mengusap tengkuknya, “Iya tadi ketemu di saya, tapi ada yang ngaku hape itu punya dia, Mbak. Jadi, saya kasih.” Bahu Elsa meluruh, harapan ponselnya bisa kembali sepertinya benar-benar tipis. Terlihat Keenan baru beranjak setelah meraba kolong sofa yang sempit, ia menghampiri Elsa dan karyawan itu. “Emang siapa yang bawa pergi hape saya?” tanya Elsa dengan raut kecewa. “Laki-laki, Mbak. Pakaiannya rapi, dia juga mungkin datang ke acara pertunangan di lantai empat itu.” “Oke, Mas. Makasih.” Si karyawan melenggang pergi, Elsa benar-benar kecewa karena menghilangkan ponselnya, harusnya ia tak menjatuhkan benda itu tadi, harusnya sebelum ia pergi—cari dulu benda bersejarah itu, tapi sekarang sudah raib entah di tangan siapa. “Gimana sekarang?” tanya Keenan, ia tak suka melihat Elsa cemberut lagi. “Udah nggak apa-apa, gue masih bisa beli lagi besok-besok.” “Pasti kenangan di hape lo banyak ya. Gimana kalau kita lihat CCTV aja, siapa tahu lo kenal atau hapal muka orang yang ambil hape lo,” ujar Keenan memberikan ide brilian. Seketika senyum Elsa melebar, “Benar juga.” “Kalau gitu, kita tanya ruang CCTV-nya di mana.” Keenan mengajak Elsa bertanya pada satpam hotel, dengan senang hati satpam bertubuh gempal itu mengantarkan mereka ke ruang CCTV yang memantau semua aktivitas dalam hotel itu berada. Kini mereka berhadapan dengan seorang petugas hotel yang selalu berjaga alias mengawasi tempat itu, ia duduk di balik komputer seraya memutar ulang waktu di mana Elsa bertemu dengan sosok itu. Jantung Elsa berpacu tak keruan saat mengulang lagi kejadian tak terduga itu, dan sekarang Keenan pun ikut melihatnya, jadilah Keenan akan tahu alasan kenapa Elsa bisa menangis di dalam mobil. Terlihat adegan saat Elsa menabrak seseorang hingga ia melempar ponselnya ke selasar, hingga berada dalam posisi awkward itu. Elsa bernapas lega karena CCTV itu tak mengekspos wajah Satria—hanya punggung saja, jadi Keenan pasti akan bertanya siapa laki-laki itu, dan Elsa lebih baik dihujam pertanyaan bertubi-tubi daripada Keenan tahu alasannya ia menangis. Tak sampai menunggu waktu lama, karena setelah Elsa keluar dari hotel—sosok laki-laki itu menghampiri seorang karyawan hotel di sudut lobi, mereka tampak berbicara hingga si karyawan memberikan sesuatu yang dipegangnya, Keenan dan Elsa bisa menebak jika itu benda yang mereka cari. Setelahnya sosok laki-laki itu melenggang keluar hotel. “Makasih ya udah dikasih tahu, Pak,” ucap Elsa. “Sama-sama, Mbak.” “Saya permisi.” Elsa keluar dari ruangan itu dan diikuti oleh Keenan, di kepala laki-laki itu sudah bertengger banyak pertanyaan. “Elsa,” panggil Keenan. “Iya?” “Boleh gue tanya sesuatu?” “Apa?” Pada akhirnya dia juga bakal tanya, please jangan kaget, batin Elsa. “Laki-laki itu siapa?” “Dia itu ... bukan siapa-siapa, kok.” Elsa memaksa senyumnya. Keenan hanya mengangguk, ia tak ingin membebani Elsa dengan pertanyaannya yang banyak, lebih baik diam karena Keenan sudah tahu jawabannya, apalagi ia mengenali postur tubuh laki-laki dalam CCTV itu. Jadi, lo udah ketemu lagi sama Satria? Tangisan lo itu pasti karena dia, ternyata lo emang benar-benar belum bisa move on, El. Keenan meremas tangannya, ia ikut sedih setelah menyadari semuanya meski Elsa sudah menutup-nutupi hal itu, faktanya Elsa memang tak tahu jika Keenan mengenal Satria. Sepertinya lebih baik diam daripada memberitahu hal itu pada Elsa, bisa-bisa gadis itu makin sulit melupakan. Ia bersikap tenang di depan Elsa, mereka kembali masuk ke area acara. Terlihat suasan makin ramai karena acara sebentar lagi dilangsungkan. “Gue bantu cari hape lo ya, El,” tawar Keenan. “Nggak perlu, gue bisa cari sendiri kok. Jangan repot-repot.” Kalau lo cari sendiri, artinya lo bisa ketemu dia lagi, dan lo bakal sakit hati lagi, gimana gue bisa tenang. Batin Keenan. “Oke kalau gitu.” Keenan berusaha tak apa-apa. Elsa juga tampak tenang meski ia benar-benar gelisah karena ponselnya berada di tangan Satria, meski laki-laki itu juga tak bisa membukanya sebab Elsa mengunci layar dengan sidik jarinya. Namun, semua hal penting berada di ponselnya, jadi mau tak mau ia harus mendapatkan benda itu lagi. Meski sakitnya akan kambuh, harus melihatnya lagi atau mengajak bicara. Semua itu membuat Elsa benar-benar pusing, ia sangat mengutuki kebodohannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN