Menghilanglah lagi sebagai mana mestinya, biarkan aku damai seperti seharusnya.
***
Semua orang yang diundang ke acara pertunangan Lova hadir dengan pakaian mereka yang modis—termasuk Elsa dengan dress sederhana yang ia beli di mall hari itu, tak lupa dipadukan dengan sneakers meski harusnya lebih cocok heels atau flat shoes. Untungnya warna dress dan sepatu yang ia gunakan selaras, jadi tetap anggun meski sederhana.
Elsa datang membawa mobil milik Serena, ia sudah ditawari berkali-kali oleh Iqbal soal mobil—bahkan sebelum gadis itu pulang ke Jakarta, tapi Elsa bersikukuh belum ingin menggunakan kendaraan roda empat itu sebagai hal pribadi untuknya, naik taksi atau diantar Jojo serta Marko rasanya sudah cukup.
Elsa menatap kaca di mobil sekilas guna memastikan penampilannya sudah benar, ia turun setelah dirasa cukup rapi. Pada akhirnya malam ini Lova akan bertunangan dengan Affan, tentunya Elsa ikut senang dan bangga memiliki teman seperti mereka yang sanggup mengikat tali kasih hingga jenjang lebih serius.
Gadis itu melangkah menghampiri beranda hotel yang juga ramai oleh banyak manusia berlalu-lalang, khususnya tamu-tamu pesta pertunangan Lova dan Affan, kebanyakan tamu mereka adalah remaja seumuran dengan dirinya.
Ia melangkah menapaki beberapa anakan tangga sebelum masuk ke lobi hotel.
“Mbak, tali sepatunya lepas tuh,” celetuk seorang pria yang baru saja melewatinya hingga Elsa menunduk dan mendapati tali sepatu sebelah kanan memang terlepas, ia berdecak sebelum akhirnya mengikat benda itu dengan kencang.
Elsa beranjak seraya merogoh ponsel dari sling bag, ia menunduk seraya melangkah hingga tiba-tiba menubruk tubuh seseorang sampai ponsel yang dipegangnya terlempar jauh setelah tangan Elsa terangkat.
Hampir saja ia jatuh ke selasar dan mempermalukan dirinya jika satu tangan laki-laki itu tak merangkul pinggangnya dan tangan lain menyentuh lengan Elsa.
Mereka bertatapan, ada rasa keterkejutan satu sama lain dan raut Elsa berubah dalam sekejap, sorot matanya meredup saat melihat sepasang manik hitam itu, manik dari laki-laki yang pernah ia cintai dulu. Elsa merasa ingin agar Tuhan hentikan saja detak jantungnya, lenyapkan dia atau butakan ia untuk saat ini agar tak melihat rupa itu lagi.
Waktu seolah berhenti, seperti hanya mereka saja yang berada di ruangan itu seraya menikmati kecanggungan luar biasa.
Mulut Elsa seperti dijahit, dadanya terasa sesak seperti dihujam bertubi-tubi, ia berharap malaikat lekas mencabut nyawanya sekarang, dan ia takkan lagi merasakan gelanyar mengerikan yang mulai menjalar ke sekujur tubuhnya.
Seketika kekuatan Elsa kembali, ia berdiri tegap hingga laki-laki itu melepaskan tangannya, segera Elsa melenggang pergi keluar dari hotel kembali ke mobilnya. Gadis itu duduk di balik kemudi seraya menangis teriris perih.
Sungguh, bertemu laki-laki itu lagi bukanlah salah satu agenda Elsa saat tiba di Jakarta, mengingat saja tak ingin, apalagi bertatap wajah. Elsa sesenggukan, dia memukul kemudi berkali-kali hingga kulit yang menutupi jemarinya kemerahan.
“Gue benci! Gue benci! Benci!” erangnya seraya memegangi kening dengan kedua tangan, sikunya menumpu di atas kemudi. Hati yang lama ditata sebaik mungkin, ia utuhkan lagi langsung hancur dalam sekejap.
Seseorang mengetuk kaca mobil Elsa, ia menoleh mendapati Keenan, gadis itu meraih beberapa lembar tisu dari dashboard untuk menghapus air matanya, siapa saja tak boleh ada yang tahu kalau ia baru saja menangis apalagi tahu bertemu dengan laki-laki itu.
Elsa membuka pintu, ia memaksa senyumnya pada Keenan meski wajah sembap itu tak bisa disembunyikan.
“Lo nangis?” tanya Keenan terlihat cemas, “ada yang jahatin lo di sini?”
“Ng ... nggak kok, cuma terharu aja kalau hari ini Lova mau tunangan, udah besar dia,” kilah Elsa, sejujurnya ia patah hati lagi setelah sekian lama terasa damai. “Terus, lo ada apa cariin gue?”
“Gue disuruh Lova buat cari elo, ketemu di sini.”
“Oh, gitu. Di lobi masih banyak orang?”
Keenan tersenyum, “Ya pastinya banyak. Kenapa emang? Lo takut sama keramaian?”
“Enggak gitu kok.” Gue cuma nggak mau lihat dia lagi, batin Elsa.
Sebenarnya setelah kejadian itu, ingin sekali Elsa pulang, tapi ia tak bisa egois apalagi sekarang malam penting untuk sahabatnya, ia harus tegar. Jangan sampai merobohkan pertahanan yang ia bangun selama tiga tahun itu, jangan sampai ia sia-siakan. Remaja itu hanya masa lalunya, dan Elsa takkan biarkan Satria mengusik lagi kehidupannya.
“Kalau gitu kita langsung masuk ke dalam,” ujar Elsa.
“Lo nggak apa-apa, ‘kan?” Keenan sedari tadi memerhatikan gadis itu, terutama raut melankolis yang kentara, juga redup mata serta wajah sembap, apa alasan Elsa tadi bisa ia percaya?
“Gue baik-baik aja kok. Ayo kita masuk.” Elsa melangkah lebih dulu, ia tak ingin Keenan berpikiran macam-macam setelah menangkap basah dirinya menangis di mobil.
“Oke.” Keenan mengekor hingga masuk ke dalam lobi dan menghampiri lift, letak tempat yang disewa untuk acara pertunangan Lova ada di lantai empat. Mereka berdua masuk bersama beberapa tamu undangan lain, beberapa wajah itu dapat Keenan kenali karena mereka satu kampus.
“Pacar elo, Ken?” tanya seorang gadis berambut sebahu, ia memakai dress warna abu-abu tanpa lengan, gadis itu bersama dua temannya.
Keenan menatap Elsa—sepertinya gadis itu tak mendengar celotehan teman Keenan, Elsa seperti kehilangan sesuatu, raut murungnya tak bisa lepas dari wajah cantik itu.
“Bukan kok, dia teman gue. Namanya Elsa.”
“Oh, gue kira pacar elo. Cantik kok, moga cepat jadian, Ken,” sahut teman gadis berambut sebahu itu, Keenan hanya bisa mengulas senyum menanggapinya.
Lift berhenti di lantai empat, mereka turun—kecuali Elsa yang masih melamun, Keenan sampai menahan pintu menunggu gadis itu, tapi Elsa tak kunjung sadar.
Dia itu mikirin apa dan siapa? Keenan membatin, pada akhirnya ia meraih tangan Elsa dan menariknya keluar lift.
“Lo mikirin apa dari tadi gue perhatiin ngelamun terus? Ada masalah apa?” Keenan membungkuk menyejajarkan tingginya dengan Elsa. “Sinar mata lo itu udah menjelaskan sesuatu, Elsa.”
“Gue—”
“ELSA!!!” seruan itu membuat Elsa dan Keenan menoleh, mereka melihat Fransiska melangkah tergesa, gadis itu sangat cantik dengan dress merah muda yang membalut tubuh mungilnya.
“Hei, Fransiska.” Elsa memasang senyum, mereka berpelukan. “Kok lo ada di sini?”
Fransiska menatap Keenan dan Elsa bergantian, “Kalian saling kenal?”
“Baru kenal kemarin, jadi dia teman SMA Lova.”
“Terus, lo ngapain di sini?” tanya Elsa menatap Fransiska.
Fransiska tertawa seraya menepuk bahu Keenan, “Gue itu satu kampus sama Lova, Keenan juga Affan.”
Elsa ber-oh panjang, ia menatap Keenan. “Jadi, kalian semua saling terhubung ya?”
“Betul,” sahut Keenan dan Fransiska bersamaan.
“Ayo kita masuk, Elsa,” ajak Keenan.
“Oke, Fransiska mau bareng nggak?”
“Enggak, gue lagi nunggu Hiro nih, katanya lagi di jalan.”
Elsa manggut-manggut, “Kalau gitu, gue sama Ken duluan ya, sampai ketemu di dalam.”
“Oke.”
Keenan dan Elsa meninggalkan Fransiska, setelah itu raut ceria Elsa berubah sendu lagi, dan Keenan pusing memikirkan alasannya, ia ingin tahu semua tentang Elsa, dunia gadis itu dan segala hal yang pernah terpaut dengannya. Keenan sudah terbius oleh magic yang Elsa buat meski kali ini adalah pertemuan kedua mereka, tapi mendengar masa lalu yang dikisahkan Affan sudah cukup membuat Keenan ingin menyelam lebih dalam lagi.
Elsa terus berdiri di sebelah Keenan, tak ada orang yang ia kenal di sana selain Lova dan Affan, wajah-wajah baru itu hanya bisa membuat Elsa diam.
“Mau minum?” tawar Keenan memecah keheningan antara mereka.
“Boleh.”
“Gue ambil dulu ya, jangan ke mana-mana.”
“Oke.”
Keenan melangkah pergi, gadis itu melihat ke altar yang dihias begitu cantik, banyak bunga lily serta mawar putih menghiasi langit-langit altar, ruangan besar mirip aula itu terlihat penuh warna karena banyak bunga warna-warni terletak di sudut-sudut ruangan, juga balon merah muda dan putih berbentuk hati yang tampak dibagikan oleh seorang pelayan hingga tiba Elsa mendapatkan salah satunya.
“Makasih, Mas,” ucap Elsa setelah diberi balon warna merah muda, ia tersenyum menatap benda itu.
“Ini minumnya.” Keenan tiba dan menyodorkan segelas air berwarna oranye.
“Makasih, Ken.” Elsa meraih gelas itu dan meneguk isinya sedikit. “Balon lo mana?”
“Balon?” Keenan memerhatikan sekitar. “Kayaknya gue dilewati, nggak dapat balon, deh.”
Elsa terkekeh, “Ya udah ini buat lo aja.”
“Buat gue?”
“Iya, bentuknya bagus, utuh.”
Dengan senang hati Keenan menerimanya, paling tidak ia melihat senyum memikat itu hadir lagi.
“Oh, ya, El. Gue boleh minta nomor elo nggak?”
Elsa mengangguk, ia membuka sling bag untuk mencari ponselnya, tapi ia mulai panik saat tak menemukan benda pipih itu. Matanya membulat sempurna setelah menyadari sesuatu—ponselnya jatuh saat ia bertemu Satria.
***