15. KB

1321 Kata
Nanda ketakutan. Wanita itu merasa berdosa karena telah menjadi alasan bagian dari rencana Fero. Meski pada kenyataannya, Nanda juga tidak tahu, bahwa Fero bukan merancang perjodohan Kia dengan seorang pria. Kerena Fero justru menjual Kia. “Aku merasa berdosa karena sudah jadi bagian dari perjodohan Kia. Karena gini-gini, aku juga memilih minggat ketimbang dijodohin,” batin Nanda yang segera duduk di kursi kerjanya. Di sana, ia berlindung dari Kia. Karena jika ia di sana, Kia tak mungkin menghampirinya. “Tapi tadi Kia kelihatan happy. Ah, ... Kia kan selalu ceria. Di tempat berbeda, Kia yang kembali ke ruang kerjanya juga jadi kepikiran Nanda. Kia duduk loyo di kursi kerjanya. Kedua tangannya ada di pangkuan, sementara tatapannya kosong. “Rasanya pengin banget kasih tahu Nanda, tapi gimana ya ... aku bahkan bukan hanya selingkuhan. Karena aku istri simpanan. Posisinya aku beneran tetap lebih hina karena aku tahu, Albizar sudah menikah dan istrinya sedang hamil anak kedua. j*****m banget sih kalau gini caranya. Aku sudah jadi penyakit untuk kaumku sendiri,” batin Kia. Walau tidak ada keberanian mengabarkan status sekaligus pernikahan Fero, di jam pulang, Kia tetap menghampiri Nanda ke ruang kerja. Namun, Nanda yang sengaja menghindari Kia, juga sudah pergi dari sana. Nanda dikata rekannya, sudah pulang sejak sepuluh menit lalu. “Dia enggak menghubungi aku, ... apa memang dia sesibuk itu?” pikir Kia sengaja mengirimi Nanda WA. Kia : Nda, kamu baik-baik saja? Kamu sibuk banget? Jangan lupa makan sama istirahat, ya. Pokoknya, sesibuk apa pun kamu, kamu wajib makan sama istirahat cukup. “Di depan sudah ada yang jemput kamu. Kamu boleh jalan ke mana dulu, tapi sebelum pukul delapan malam, aku sudah ingin melihatmu diam di apartemen!” tegas Albizar benar-benar dingin. Namun selain terlihat sangat terkejut, Kia yang jadi kerap menghela napas pelan juga buru-buru meninggalkannya. “Apaan sih? Sepi, gelap, enggak ada orang lain, ngapain ketakutan dan juga masih meninggalkanku?” kesal Albizar dalam hatinya. “Astaghfirullah ... kirain malaikat maut, eh ternyata suami sendiri!” batin Kia masih deg-degan parah, bahkan meski ia sudah berusaha meredamnya menggunakan menghela napas pelan. Tak lama setelah Kia keluar dari lobi, ponselnya bunyi dan itu telepon masuk dari sopir yang pagi ini mengantarnya. Namanya pak Hari, dan seperti pagi tadi, pak Hari tak akan langsung menjemput hingga pelataran perusahaan. Kia agak berlari melewati wara wiri pejalan kali, motor, maupun mobil yang keluar dari halaman kantor juga. Karena memang, di sore menjelang petang kini menjadi puncak dari jadwal pulang bagi mereka yang sedang tidak lembur. Sekitar satu jam kemudian, Albizar mendapat WA dari pak Hari, bahwa Kia mendatangi sebuah klinik milik seorang bidan. Bos Al : Dia mau ngapain? Albizar masih rapat di kantor. Ia dengan beberapa orang dan dua di antaranya masih merupakan saudaranya. Karena pesan dari orang kepercayaannya, mata Albizar jadi kerap melirik layar ponsel di pangkuan. Sementara pesan balasan dari pak Hari barusan, sukses membuatnya tercengang. Pak Hari : Pasang KB katanya, Pak. Pesan tersebut lah yang membuat Albizar murka. Danian sang adik sampai ia semprot, lantaran pemuda itu tak mau ia tinggal. “Belajar urus kerjaan sendiri kenapa? Pengin aku buat ke Palestina kamu, biar lebih guna?” kesal Albizar buru-buru menenteng pergi tasnya yang juga hanya ia rapikan asal. Albizar tak tahu dan memang tak peduli, meski Danian sang adik justru mirip tentara perang yang kena sawan sebelum berperang, hanya karena ia tinggalkan. “Biarkan aku saja yang gantiin Kak Al. Namun Kak Danian siap-siap juga, ... Kakak enggak dapat jatah saham perusahaan. Karena Kakak enggak becus kerja!” ucap Daiana, adik paling kecil Albizar. Apa yang sang adik katakan membuat Danian tak bisa berkata-kata. Danian menatap shock sang adik yang awalnya duduk di sebelahnya. Kini, Daiana yang memang sangat irit bicara layaknya Albizar, pindah kemudian duduk di kursi paling ujung. Itu kursi bekas Albizar dan otomatis Daiana yang memimpin rapat menggantikan kakak mereka. ••• Di klinik yang Kia datangi, wanita cantik itu jadi ketakutan hanya karena apa yang tengah ia baca. Macam-macam KB guna menunda kehamilan, membuat Kia panas dingin sebelum menjalaninya. “Gimana ya? Kalau KB suntik katanya efeknya bisa enggak mens. Namun bukankah darah mens itu darah kotor, yang otomatis wajib dibuang tiap bulannya? Logikanya kan begitu, aku enggak mau percaya ke dokter apa bidannya. Mereka bilang aman, masalahnya kan mereka itu ibarat lagi jualan biar KB mereka laku. Terus kalau KB susuk, ya ampun, ini dibelek-belek dan ada adegan berdarah? Innalilahi aku ngeriiiiii,” lirih Kia yang juga langsung sesak napas ketika melihat penampakan alat IUD. “Kayak gini, dimasukin ke anuku? Lah memang enggak nusuk terus kelupaan lepas? Oh, no .. no ... ini lebih ngeri!” batin Kia langsung terbatuk. Ia mau-mau saja menerima sebotol air mineral berukuran sedang yang berasal dari sampingnya. Tak lama setelah Kia minum, yang memberi minum juga duduk di sebelah Kia. Bangku tunggu dan suasana di sana yang terbilang sepi menjadi saksi. Bahwa keterkejutan Kia membuatnya menyemburkan air di mulutnya dan harusnya ia telan, ke wajah Albizar. Karena memang, yang duduk di sebelah Kia, dan dengan kata lain, yang memberi Kia air satu botol air mineral, memang Albizar. “Ny. Aurora Kianti ....” Suara lantang seorang wanita masih bisa Kia dengar. Panggilan tersebut ditujukan kepadanya, t*i di ruang tunggu, hanya tinggal buku berisi macam-macam KB yang sempat Kia baca. Sementara kini, Kia justru melangkah pergi dari klinik yang wanita cantik itu datangi. Kia terus menunduk sambil mengikuti tuntunan Albizar. Tangan kirinya genggam erat oleh tangan kanan Albizar. Sementara tangan kanan Kira menenteng botol air mineral. Sebab tas yang awalnya Kia tenteng atau taruh di pundak, ditenteng tangan kiri Albizar. “Kalau gini caranya, ... aku merasa dia sweet banget. Masalahnya ... kok emosinya bisa pasang surut secara drastis. Apakah dia juga dibikin pas gaya tarik gravitasi antara Bumi, Bulan, dan Matahari, sedang kacau? Makanya dia juga mirip lautan yang selalu pasang surut tanpa bisa diduga?” batin Kia yang sesekali melirik Albizar. Niat hati Kia pasang KB agar tidak hamil dan tak sampai menghadirkan Kia-Kia yang lain, kandas. Sebab selain Kia yang takut pasang KB, Albizar juga melarang Kia menjalani KB. “Bos, mau narik motor apa mobil?” tawar pak Hamka yang kali ini memakai jaket kulit hitam. Kia awasi, di sana tidak ada mobil Albizar. Yang ada justru motor trail lengkap dengan dua helm. Motor tersebut ada persis di sebelah pak Hamka maupun pak Hari yang menunggu mereka. “Sepertinya tadi Al datang ke sini pakai motor,” pikir Kia memilih tetap diam. “Sepertinya dia masih sangat syok. Kami ikut pak Hari saja menggunakan mobil. Sisa helmnya taruh di bagasi mobil,” ucap Albizar langsung mengambil keputusan. Semuanya langsung sesuai titah Albizar. Pak Hari membukakan pintu penumpang dan Albizar menuntun Kia untuk masuk dulu, sementara dirinya menyusul. Di tengah suasana mobil yang gelap, Albizar yang awalnya baru duduk juga berangsur meringkuk di pangkuan Kia. Kenyataan tersebut mengejutkan Kia. Apalagi Kia juga sengaja duduk di ujung dan memang sengaja menjaga jarak dari Albizar. “Ya Allah ... sudah mulai begini. Suami orang ini ... suami orang!” batin Kia, mau tak mau jadi mengelus-elus kepala Albizar. Sebab kedua tangan Albizar menuntunnya dengan agak memaksa. Masalahnya, Kia tidak bisa untuk tidak peduli maupun sayang kepada Albizar. Seberapa pun pria itu menyakitinya, Albizar juga tetap menjadi orang yang paling peduli kepadanya. Menggunakan tisu kering yang ada di hadapannya, Kia mengeringkan wajah, kepala, dan juga sebagian leher maupun d**a Albizar. Semua itu basah karena kena semburannya. “Kenapa Kia terus canggung kepadaku? Sepertinya kami memang harus mengobrol secepatnya,” batin Albizar. “Kalau aku jujur, bahwa aku korban keluarga papaku, apakah Albizar bisa memaafkan aku? Setidaknya, andai kami tidak bisa bersama selama-lamanya karena dia pasti akan memilih keluarganya, ... minimal kami bisa menjadi teman. Sebisa mungkin kami wajib menjaga hubungan. Agar andai nanti kami benar-benar sampai punya anak, nasib anakku enggak akan ngenes-ngenes amat!” pikir Kia yang merasa, dirinya perlu berbicara empat mata dengan Albizar, sebelum hubungan mereka makin jauh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN