11. Amarah yang Membuncah

1118 Kata
Baru juga membuka mata, Kia sudah langsung lemas. Sebab ia tahu betul, apa yang di hadapannya bukanlah mimpi apalagi bagian dari halusinasi. Kini, pak Ferdinan selaku sang papa, tengah sekarat di salah satu ruang ICU. Di tengah suasana di sana yang remang, sang papa sampai dioksigen. Mesin EKG juga memantau kinerja jantung pria gagah itu. “Ngotak, kamu! Gara-gara kamu, papa sekarat. Ngapain kamu kemarin kabur begitu? Gara-gara kamu, saham perusahaan melayang enam puluh persen!” marah Fero, belum apa-apa sudah marah sambil mendorong kemudian memukul kepala Kia. “Gara-gara aku? Semuanya gara-gara aku? Yakin, semuanya gara-gara aku? Yang harusnya ngotak itu aku Kakak?” emosi Kia tak mau serba disalahkan lagi. Tatapan tajam Kia menatap Fero tanpa ampun. Setelah terbangun saja dalam posisi meringkuk di lantai amat sangat dingin. Kini lagi-lagi Kia dihakimi. Bukan hanya dengan caci maki. Karena lagi-lagi, Fero tak segan mendorong bahkan memukulinya. “Aku ada bukan karena mendadak jatuh dari langit, atau malah keluar dari paket kiriman. Aku, ada karena papa dan mamaku. Seperti halnya yang Kakak lakukan, Kak!” “Jelas kamu sudah menikah, kamu punya istri dan punya anak, bahkan istrimu sedang hamil anak kedua. Ngapain kamu pacaran lagi bahkan kalian sudah terbiasa tinggal sekaligus tidur bersama?!” Kia amat sangat emosi. Amarahnya berkobar-kobar. Kia sungguh tidak bisa memaafkan Fero. Bukan semata karena perbuatan Fero kepadanya. Namun juga kenyataan Fero yang justru hendak menghadirkan Kia-Kia yang lain. Fero sungguh akan menghadirkan anak haram, padahal sejauh ini, Fero yang paling mempermasalahkan Kia akibat statusnya. Setelah sempat tercengang dengan balasan lantang Kia yang lagi-lagi melawan, dengan segera tangan kanan Fero terangkat. Seperti biasa, ia bermaksud menampar pipi kiri Kia sebagai balasan sekaligus pelajaran yang harus wanita cantik itu terima. Namun dengan segera, Kia yang meski masih fokus menatap kedua mata Fero, menggunakan kedua tangannya untuk menahan tangan kanan Fero. Hingga karena kenyataan tersebut juga, kali ini Fero gagal menamparnya. “Hebat banget kamu ya, Kak. Satu kata buat kamu, ... MENJIJ.IKAN!” lirih Kia tapi amat sangat menusuk. Fero yang merasa muak, dengan segera mengerahkan tenaganya. Dalam sekali gerakan, ia mengangkat tubuh Kia, kemudian membantingnya. Sang adik langsung bungkam. Karena jangankan bergerak, sekadar bersuara saja, Kia yang meringkuk di lantai, seolah tidak bisa. “Papa sekarat, sementara perusahaan juga sedang membutuhkan banyak modal. Jadi, siapa pun yang berani membelimu dengan harga mahal, ...LAYANI DIA!” tegas Fero sambil menatap bengis punggung Kia di tengah napasnya yang terengah-engah. Selain itu, emosinya yang telanjur pecah, juga membuat detak jantungnya tak terkontrol. Meski kesal sekaligus sakit luar biasa, Kia tidak menyerah. Sebab Kia sadar, andai dirinya tetap di sana, ia akan berakhir menjadi pencetak anak haram. Akan terlahir banyak Kia malang dan otomatis merasakan kepedihan yang selama ini ia rasakan. “Yaaaaaahhhh!” teriak Fero ketika Kia nekat kabur. Kia lari terseok-seok cenderung membungkuk. “Lari, Kia ... lari sejauh mungkin!” teriak Kia dalam hatinya. Meski setelah ia membuka pintu ruang ICU yang harusnya selalu sunyi, ia mendadak lemas. Sebab, di sana ada lima pria sangar yang langsung menciutkan nyalinya. “Ikat saja tangannya agar dia tidak melukai dirinya sendiri. Karena jika dia sampai terluka, harga jualnya pasti akan berkurang,” ucap Fero tanpa sedikit pun merasa berdosa atau setidaknya iba. “Dalam tubuh kita mengalir darah yang sama, Kak! Sementara tabur tuai itu nyata! Dalam hidup ini benar-benar ada karma. Tunggu saja karma untukmu!” ucap Kia membiarkan tangannya diborgol di depan tubuh. Namun dengan segera, pria sangar yang memborgolnya juga segera menutupi tubuh bagian depan maupun belakangnya menggunakan selimut. Semuanya seolah sudah dipersiapkan secara matang. Sementara alasan penggerebekan kepada Kia sangat lancar, tentu karena suasana di sana sangat sepi. Jarang aktivitas, hingga tidak ada yang memergoki. Selain, Fero dan orang-orangnya yang sudah sangat niat meringkus Kia. “Ingat, ... nyawa papa dan juga perusahaan, ada di tangan kamu! Harusnya kamu juga paham hukum tabur tuai. Juga kewajibanmu sebagai seorang anak. Jadilah anak yang baik, meski anak versimu wajib jual dir.i seperti yang mamamu lakukan selama ini!” lirih Fero tepat di depan wajah Kia. Wajahnya yang bengis perlahan dihiasi senyuman penuh kemenangan. Senyuman yang seketika usai lantaran Kia nekat meludah.inya. Tak hanya itu, sebab Kia juga sampai menghanta.mkan kepalanya ke kening Fero sekuat tenaga. “Arrrggggghhh! Ba ji ngan!” teriak Fero meraung-raung. “Pada akhirnya aku harus berada di titik ini juga. Pada akhirnya aku mengalaminya ... ini kah yang dinamakan adil, sementara alasanku ada di dunia ini, juga bukan mauku?” batin Kia benar-benar merasa kecewa pada takdir yang harus ia jalani. Kia ingin menyerah, tapi hati kecil bahkan seluruh sumber kehidupannya, memintanya untuk tidak melakukannya. Semuanya meyakinkan Kia, bahwa Kia masih memiliki kesempatan. “Kesempatan bu nuh diri ketika akhirnya aku sudah tidak dijaga seketat ini. Iya, lebih baik aku mati daripada aku justru harus jual di.ri!” pikir Kia. Awalnya Kia mantap untuk mengakhiri hidupnya jika sudah ada kesempatan. Agar dirinya tak melahirkan Kia-Kia yang lain. Namun mendadak benaknya dihiasi adegan sang papa yang tengah sekarat. Hati Kia langsung teriris karenanya. Apalagi meski karena sang papa juga. Meski sang papa yang menyebabkannya merasakan banyak kemalangan. Ditambah lagi, sang papa juga belum pernah memperlakukannya dengan baik. Kia tak mungkin untuk mengatakan tidak. Karen pada kenyataannya, Kia hanyalah anak perempuan biasa yang tetap menyayangi papanya, bagaimanapun keadaannya. “Ya Allah ... tolong berikan keajaiban. Tolong, ... hamba benar-benar memohon!” batin Kia terus berdoa. Malamnya, di apartemen, Albizar yang sudah mirip orang kehabisan akal, mendadak dibuat jengkel oleh kedatangan sang sopir yang izin akan mengabarkan kabar penting. “Masih berkaitan dengan Kia, kan? Jika bukan, lupakan saja. Saya benar-benar tidak mood, Pak. Tolong kabarkan kepada mama, bahwa malam ini saya akan kembali telat pulang,” ucap Albizar sambil melangkah loyo menenteng jas hitamnya menggunakan tangan kanan. “Mohon izin, Bos. Ini masih menyangkut nona Tia. Ini yang kami dapatkan setelah melakukan pencarian besar-besaran,” ucap pak Hamka sangat santun dan sibuk menunduk. Di mata Albizar, ketakutan pak Hamka kali ini sangatlah berlebihan. Seolah pria itu telah melakukan kesalahan fatal. Sementara ketika ia melihat layar ponsel pak Hamka, jantungnya seolah langsung rontok. Sebab foto wanita cantik sangat seksi yang menghiasi layar ponsel pak Hamka justru Kia! Fatalnya, wanita tersebut hanya memakai lingi.re, dan memang sedang menjadi primadona di fo*rum wanita pengh*ibur, atau itu pelac.ur. “Ternyata dia pela*cur. Pantas malam itu dia tampil seksi dan ada di sekitar diskotik ...,” batin Albizar, merasa dipermainkan. “Beraninya dia mempermainkan aku! Apa maksudnya pergi tanpa pamit, dan ... dan selama bersama, dia juga sok polos?!” lirihnya yang kemudian tersenyum geli. “Baiklah kalau begini caramu! Kamu jual, aku beli! Aku pastikan, aku akan menjadi satu-satunya lelaki yang bisa membelimu!” batin Albizar benar-benar emosi. Ia marah, kecewa, bahkan dendam kepada Kia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN