Kia merasa ada yang aneh. Karena sepanjang jam kerja, ia sama sekali tidak mendapatkan pekerjaan. Padahal semuanya sibuk kerja, tapi ketika Kia meminta pekerjaan atau setidaknya hendak membantu, rekan kerjanya kompak meminta Kia untuk istirahat saja di kursi kerjanya.
“Kok begini? Enggak guna banget hidupku. Seharian cuma lihatin orang kerja. Apa sudah jadi kebiasaan karyawan baru dikacangin gini?” pikir Kia yang jadi tidak betah.
“Nanda ke mana, ya? Seharian ini aku juga enggak lihat dia. Mau cari dia ke mana? Kantor ini terlalu luas. Yang ada nanti aku tersesat, enggak bisa balik lagi,” batin Kia lagi yang juga mendadak menyesali keadaan. Ternyata ada plus minus bekerja di sana.
“Bekerja di kantor besar memang gini. Mendadak pengin kerja di tempat kecil saja, tapi yang begitu rawan ditemukan oleh kak Fero,” lirih Kia yang baru ingat, harusnya dirinya juga tidak dekat-dengan dengan Albizar agar Albizar tak mendapat dampak dari hubungannya dan keluarga sang papa.
“Takutnya Al juga kena getahnya,” lemas Kia bersiap pulang meski ia masih belum ada tujuan. Ketika ia keluar dari ruang kerjanya, semuanya juga kompak mempersilakannya lebih dulu.
“Mereka hormat ke aku, apa sengaja bikin aku jadi enggak berguna?” pikir Kia.
Kia melangkah tak bersemangat meninggalkan ruang kerjanya. Wanita cantik itu mirip orang tersesat, tapi setelah kedua mata kecil Kia melihat Nanda di lorong depan, Kia langsung antusias. Kedua kakinya refleks berlari menghampiri Nanda. Selama satu tahun terakhir, wanita cantik bertubuh mungil itu sudah menjadi sahabatnya. Malahan boleh dibilang, Nanda menjadi satu-satunya sahabatnya selama Kia tinggal di Jakarta.
Di waktu yang sama, Albizar yang ada di dalam lift, buru-buru melepas jasnya. Albizar membuang sembarang jasnya hanya karena kedua matanya memergoki Kia. Sang pengawal yang awalnya baru menguap langsung tercengang dan nyawanya seolah dicabut secara paksa.
“B—Bos ...?” sergah pak Hamka buru-buru memungut jas sang bos. Ia yang juga sudah menenteng dua tas kerja, jadi kewalahan.
“Ada Kia. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Berpura-pura bahwa saya bukan bos di sini. Yang bos ... yang bos jadi kamu!” sergah Albizar yang langsung membuat sang pengawal keder.
“Aku jadi bos dadakan?” pikir pak Hamka buru-buru keluar dari dalam lift menyusul sang bos yang akan selalu mirip orang kasmaran di setiap melihat Kia.
“Apa yang membuatnya begitu ceria? Dia menghampiri orang?” pikir Albizar tak jadi menyusul Kia.
Layaknya pengintai andal, Albizar bersembunyi di balik tembok menuju lorong Kia dan Nanda berada.
“Nda, hari ini aku bingung banget karena semua teman satu divisi—ku, enggak ada yang kasih aku kerjaan. Aku mau bantu, lagi-lagi mereka menolak. Aku tawari minum dan sebagainya, mereka kompak minta aku buat duduk, istirahat saja. Padahal mereka sendiri yang bilang, kalau bos kita galak banget. Kamu juga pernah bilang, kalau meski fasilitas dan gaji di sini gede, bosnya juga galak banget mirip malaikat maut?” ucap Kia mengadu kepada Nanda.
“Kok gitu, ya? Coba nanti aku kroscek, ya,” ucap Nanda yang langsung mengajak Kia pulang ke kost-nya.
“Aku beneran takut karena seharian ini enggak kerja apa pun,” lirih Kia.
“Sudah ... nanti aku yang urus. Insya Allah, besok semuanya sudah stabil. Ini sori banget aku baru kabarin kamu, soalnya seharian ini aku sibuk banget. Dua kali rapat dan salah satunya sampai di luar kantor,” ucap Nanda sambil terus menggandeng Kia.
Albizar yang ditinggal langsung lemas. “Enggak ada acara pulang bareng dong kalau gini caranya,” pikirnya yang kemudian tetap usaha. Ia memutuskan untuk diam-diam mengikuti Kia dan rekannya yang memang belum begitu ia kenal.
“Jadi, dia yang merekomendasikan Kia buat kerja di sini?” pikir Albizar jadi tahu akibat kesibukannya mengikuti Kia dan Nanda.
Demi bisa satu lift dengan Kia yang selalu gandengan dengan Nanda, Albizar sengaja memakai masker sekaligus kacamata bening. Ia melakukannya untuk melakukan penyamaran. Akan tetapi, Kia tetap hafal aroma tubuh Albizar. Aroma parfum maskulin yang terasa sangat mahal. Tatapan Kia jadi tertuju kepada kedua mata Albizar yang ada di sebelahnya. Mereka hanya terpaut dua orang, tapi Kia sadar, sosok yang ia yakini ia kenal, kerap mengawasinya secara diam-diam. Hingga Kia yang merasa sedang jadi buronan keluarga sang papa, juga buru-buru mengeluarkan stok masker maupun kacamatanya.
“Iya bener, ... takut di depan ada kak Fero atau mata-matanya,” pikir Kia yang sebenarnya sudah sangat lelah dengan drama dari keluarga apalagi anak-anak papanya.
Ketika Nanda tak sengaja mengelus kepala Kia, Kia langsung kesakitan.
“Kenapa?” heran Nanda sebab reaksi Kia benar-benar kesakitan.
“Kemarin aku jatuh, jadi ... ya seperti ini,” ucap Kia.
“Jatuh gimana? Jatuh di bagian kepala bahaya loh, Ki. Sudah periksa ke dokter belum?” sergah Nanda.
“Sudah jangan dibahas,” yakin Kia bertepatan dengan lift yang akhirnya terbuka. Sembilan orang di sana termasuk Kia beranjak keluar dari lift. Namun, Kia benar-benar tak tahu, bahwa keadaannya sudah membuat seorang Albizar mencemaskannya.
***
“Revan mau datang!” panik Nanda mengabarkan kepada Kia yang baru akan membasuh wajah di keran kamar mandi.
“Oh ...,” refleks Kia yang jadi agak bingung jika harus bertemu apalagi bergaul dengan orang baru bahkan itu Revan pacarnya Nanda.
Kia yang sadar adanya dirinya di sana hanya menumpang, sengaja mematikan air kerannya. Ia tak jadi membasuh wajah dan berniat mendengarkan cerita sang sahabat lebih dulu. Akan tetapi, Nanda berdalih bahwa Revan pasti akan menginap. Yang dengan kata lain, malam ini Kia tidak bisa menginap di sana.
“Mereka sudah biasa menginap bareng? Aduh, kok ngeri ya gaya pacaran mereka!” batin Kia. Ingin memberi arahan agar sang sahabat tak pacaran kebablasan, tampaknya Nanda sudah biasa pacaran kebablasan.
“Terkadang, dalam sebuah hubungan bahkan itu persahabatan, memang ada ruang yang tetap enggak boleh kita masuki. Karena seberapa pun dekat kita, sahabat kita juga tetap punya privasi. Takutnya kalau aku memaksa Nanda buat jangan pacaran kebablasan, ... yang ada itu jadi masalah baru untuk hubungan kami. Amit-amit, ... jangan sampai aku begitu juga,” batin Kia yang mau tak mau harus angkat kaki dari sana.
Kost Nanda tinggal memang terpantau bebas asal jangan telat bayar. Di papan pengumuman, mereka bebas membawa siapa saja. Namun belum lama Kia pergi dari sana, Kia melihat pajero putih dengan plat mobil sangat Kia hafal, memasuki tempat parkir depan kost.
“Itu mobil kak Fero!” batin Kia benar-benar panik. Kia sengaja bersembunyi di balik tong samp.ah sebelah dan terbilang besar. Kia sampai jongkok kemudian memantau alasan Fero ke sana. Namun ternyata, Fero yang Kia ketahui sudah menikah, justru menjadi sosok yang mendatangi kost Nanda. Melihat itu, Kia refleks berdiri. Apalagi ketika Nanda yang sudah memakai piyama seksi, membuka pintu kemudian memeluk Fero penuh keceriaan.
“Edyaan! Beban hidupku nambah lagi! Pusing banget ya Allah ... kok malah ribet begini? Itu kira-kira Nanda tahu enggak kalau kak Fero sudah nikah? Atau setidaknya, kak Fero jujur enggak ke Nanda. Atu jangan-jangan, mereka sama nekatnya atas dasar masu sama mau? Jika sampai iya, apa bedanya dia dengan papa? Padahal dia sampai memaksaku menanggung semua kesalahan orang tua kami yang sudah menjalin cinta terlarang!” batin Kia sambil memijat-mijat kepalanya. Namun, hadirnya seseorang di sebelahnya yang juga baru saja berdeham, membuatnya syok. Ternyata itu Albizar, tapi refleks membuat Kia menjerit.
Masalahnya, Fero yang sudah hafal suara Kia, juga buru-buru mencari. Padahal, Fero baru saja masuk ke dalam kost Nanda. Pintu kost-nya baru akan Fero tutup.
“Kia, ... tadi itu beneran suara Kia! Ke mana wanita ja lang itu, bisa-bisanya dia menyusahkan hidupku!” batin Fero memang langsung mencari. Namun yang dicari sudah lebih dulu bersembunyi.
Kia kembali bersembunyi di balik tong sam.pah dan kali ini sampai mengikutkan Albizar bersamanya. Tak beda dengan Kia, sampai detik ini Albizar juga masih memakai masker hitam hingga sebagian wajahnya tertutup. Kendati demikian, Kia sudah langsung bisa mengenali Albizar.