ADA BOM WAKTU

1245 Kata
“Lah tumben Sayang kamu ke sini pagi-pagi,” kata Seruni Harsana, mama Galih, yang berprofesi sebagai pengacara kondang. “Iya Ma, aku mau titip dua kardus ini ya. Aku mau ke rumah eyang dulu. Mama buka amplop hadiahku ini nanti jam tiga sore ya Ma. Jangan buka sebelum atau sesudahnya karena ada bom waktunya,” kata Listy bercanda. “Apa sih?” tanya Seruni penasaran pada calon menantunya itu. Tiga bulan lagi Galih dan Listy akan menikah. “Kardus ini undangan Ma, biar Galih saja yang urus, kalau amplop special buat Mama, tapi Mama bukanya nanti jam tiga sore, karena ada bom waktunya. Jadi kalau sebelum itu nggak bagus. Sesudah itu juga nggak bagus. Kalau bisa Mama dengan papa, tapi aku sudah kirim juga kok paket ke papa untuk dibuka jam tiga sore,” jelas Listy. “Aku pamit ya Ma,” kata Listy pada calon mertuanya. ≈≈≈≈≈≈≈≈ Listy langsung ke bandara saat itu masih jam sepuluh pagi. ‘Ayah, Ibu, Mas, aku ke rumah eyang. Nggak usah ribut cariin aku. Sepertinya pernikahanku dengan Galih batal. Tapi kalian nggak usah ribut dulu. Aku sudah berikan alasan mengapa pernikahan itu batal pada Mama Seruni juga pada papa Mahendra. Aku minta mereka buka jam tiga sore. Jadi kemungkinan nanti jam tiga sore baru bom meledak.’ ‘Kalau sebelum itu Galih mencari aku, bilang saja kalian nggak tahu aku ke mana, tapi aku yakin dia belum bisa bangun karena sudah aku buat babak belur.’ ‘Pokoknya aku ke rumah eyang, jadi nggak perlu takut aku nggak kabur dari kalian. Aku sekarang sedang on the way ke bandara. Habis ini ponsel aku matikan. Aku hanya nyalakan saat untuk reservasi, habis itu aku matikan lagi.’ ‘Mohon mengerti aku, semua alasan tentang mengapa aku batal menikah sudah aku kirim ke ponsel kalian masing-masing.’ ‘Aku akan kembali lima atau enam hari lagi, jangan lupa tanggal 27 bulan ini kosongkan waktu kalian, aku akan ajak kalian ke pesta kejutan. Serius aku marah kalau kalian enggak ikut datang di acara specialku itu.’ Listy mengirim pesan di group keluarga saja agar semua bisa langsung baca, daripada dia harus japri satu persatu pada kakaknya, juga ibu dan ayahnya. ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Kamu ke sini kok nggak bilang-bilang to Nduk?” kata eyang putri menyambut kedatangan satu-satunya cucu perempuannya. Karena dari tujuh cucu yang dia miliki, hanya Listy yang perempuan. “Aku tiba-tiba bete Eyang. Tapi seminggu lagi aku harus balik karena ada penayangan film perdanaku. Jadi aku mau libur di sini lima hari Eyang. Tenang saja aku nggak ngapa-ngapain kok. Aku pengen jalan-jalan, pengen refreshing saja.” “Eyang nggak usah mikirin makanan aku, jangan masak yang neko-neko takutnya aku enggak maem di rumah. Kalau aku sempat makan di rumah, yo aku makan. Kalau nggak yo wes.” “Aku kan pengen jajan kuliner Jogja juga, aku kangen sama Jogja,” Listy langsung melarang eyangnya sibuk, karena sang eyang nanti bisa kecewa bila semua yang dia siapkan tak Listy sentuh. Ini Eyang Kakung lagi ke mana tanya Listy hari ini jam 02.00 siang Eyang kakungnya tidak ada di rumah Eyang biasa toh kalau nggak ke PASTY ( Pasar Satwa dan Tanama hias Yogyakarta ), ke mana lagi. Dia pasti cari tanaman, atau beli pupuk, atau apalah. Kesenangannya dia kan dari dulu seperti itu,” jawab eyank putri dengan senyum manis semanis gula merah. “Kenapa Eyang putri nggak ikut?” tanya Listy. “Eyang kakung itu kalau ke PASTY senengnya cuma ke bagian tanaman. Maunya Eyang putri kan kebagian burung sama ayam, dia nggak mau. Mendingan kalau Eyang ke sana pergi sendiri. Sejak dulu kami memang nggak pernah bisa cocok kalau untuk hobi itu,” kata eyang putri yang tidak suka memelihara tanaman. Tapi Eyang putri suka memelihara hewan, aneka jenis hewan eyang putri senang memeliharanya, sebaliknya eyang kakung tidak. Kata eyang kangkong pelihara hewan ribet. Harus ngasih makan, harus bersihin kandangnya dan segala macamnya. Padahal versi eyang putri pelihara tanaman juga ribet, harus ngasih pupuk, harus nyiram, harus motongin atau repotting dan sebagainya. Jadi untuk dua hal tersebut memang eyang kakung dan eyang putri tidak sejalan. Itu ciri khas mereka berdua sejak dulu dan anak serta mantu serta cucu menyukai perbedaan itu, karena kedua tak saling menghalangi, mereka saling dukung tapi tak saling ganggu. ≈≈≈≈≈≈≈≈ Irhan memperhatikan sekeliling, sudah habis waktu maghrib. penyanyi kafe mulai kembali ke tempat dia duduk. Di café ini penyanyi hanya pakai satu gitar, sebenarnya ada organ tapi tidak ada yang main. Yang mala mini isi acara hanya main gitar saja. Di kafe ini Irhan duduk di depan, tapi agak ke kiri kalau dari arah penyanyi café, kalau dari arah pintu masuk café, tentu depan agak ke kanan karena penyanyi cafe pasti melihat ke arah pintu masuk atau audience ‘kan. Irhan melihat pengunjung ramai, walaupun bukan malam Sabtu atau malam Minggu. Kalau malam Sabtu atau malam Minggu parah, penuh sesak, tak nyaman cari tempat duduk sesuai keinginan, kalau hanya duduk tentu banyak, tapi yang sesuai keinginan sulit. Irhan jarang datang di weekend karena agak penuh dan banyak anak-anak. Kalau seperti sekarang dia ingin santai. Tentu nggak enak kalau malam Sabtu atau malam Minggu ke sini, karena cafe ini memang untuk keluarga bukan untuk muda-mudi khususnya. ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Selamat malam, assalamu’alaykum, kita kembali lagi setelah istirahat shalat magrib. Saya lihat beberapa tamu baru ada yang baru datang nih,” sapa penyanyi café malam itu. “Wow ada pelang-gan setia kami, yang kalau ke Jogja dia sering mampir ke sini. Kayaknya kesempatan awal ini saya mau nodong dia saja deh. Ayo dong Mas Irhan nyanyi dulu buat kami semua,” pinta si penyanyi cafe dia menodong Irhan untuk menyanyi. Rupanya irhan sudah beberapa kali mengisi panggung sehingga penyanyi café hafal dengan sosoknya. Tanpa malu atau ragu Irhan pun maju, tak canggung untuk menemani penyanyi café. “Mas Irhan mau main gitar juga, atau bagaimana nih? Atau mau di organ?” kata penyanyi cafe yang entah namanya siapa. “Kayaknya saya lagi males megang gitar atau organ deh, enaknya nih mukul drum, tapi di sini nggak ada drum. Ya sudah deh nyanyi saja,” kata Irhan yang ternyata bisa beberapa alat musik. “Selamat malam, assalamu’alaykum para pelang-gan café Harmony, selamat bersantai Bersama keluarga tercinta. Bagaimana nih penonton maunya lagu yang mellow atau lagu yang gembira? Mungkin ada yang lagi patah hati? Kita nyanyi yang melow-melow dikit ya?” sapa lelaki muda berparas super tampan yang terlihat wajahnya dingin dan tadi dipanggil dengan nama Irhan oleh penyanyi café. Diiringi gitar penyanyi café, Irhan pun menyanyikan lagu SI-AL dari Mahalini. Sambil menyanyi dia mengedarkan pandangannya, ada satu gadis di tengah bagian depan duduk sendirian dengan satu gelas kopi dan satu piring pisang goreng. ‘Gadis itu kenapa ya? Kok wajahnya keruh banget.’ ‘Sepertinya jiwa gadis itu tak ada di situ, hanya tubuhnya saja yang ada.’ ‘Kamu nggak usah berpikir macam-macam deh, kalau dia kayak Dewi bagaimana? Dewi yang sebegitu solehnya saja ternyata kelakuannya minus. Sudah kamu nggak usah mikirin perempuan lagi,’ kata sudut hati kiri Irhan. ‘Ya nggak begitu juga sih. Jangan lihat orang dari bajunya, karena Dewi menutup tubuh hanya buat fashion saja. Ikut-ikutan supaya terlihat alim, padahal kelakuannya minus,’ kata sudut hati kanan Irhan. ‘Ah aku ngapain mikirin dia, sudah nyanyi lagi saja,’ pikir Irhan. Dia mengedarkan pandangan ke arah lain. Banyak gadis cantik. Ada yang sendiri, ada yang berdua, ada yang dengan anak, tapi dia kembali tergoda ingin melihat gadis yang duduk di tengah. “Ada yang mau request lagu?” kata si penyanyi café.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN