Minggu sore aku datangi rumah eyang Jeje. Sepi.
Aku menekan bel rumah berpagar putih ini. Aku coba mengintip di celah pagar untuk melihat ke dalam. Tidak ada mobil eyangnya Jeje, hanya ada mobil yang biasa tante Astri pakai kalo lagi di Jakarta.
Aku tekan lagi bel rumah ini. Setelah menunggu 3 menit baru keluar pembantu eyang seorang ibu - ibu paruh baya yang biasa dipanggil mbok Tati oleh Jeje.
"Ya Mas ..." sambutnya ketika pintu pagar sudah dibuka dari dalam.
"Jeje sudah pulang mbok?" tanyaku. Aku tentu saja sudah pernah bertemu dengan mbok Tati karena sering membukakan pintu pagar kalau aku main kesini, tapi tidak pernah ketemu eyang yang selalu didalam, sementara aku langsung ke tempat workshop Jeje dengan tembikarnya itu dihalaman samping.
"Lho ... non Jeje kan pindah ke Jepang ikut mbak Astri," jawabnya agak terkejut mendengar pertanyaanku, mungkin mbok Tati pikir kok aku seperti tidak mengetahui soal kepergian Jeje, walau pada dasarnya aku memang tidak tahu.
"Bukannya dia akan pulang hari ini? Itu mobil eyang nggak ada lagi jemput Jeje ya mbok?"
"Nggak, Bapak sama Ibu sudah 3 hari berangkat ke Jogya ke tempat Mas Didit ... nggak tahu sampe kapan, katanya sepi disini nggak ada non Jeje."
"Yakin Jeje pindah beneran mbok? Memangnya semua barangnya di bawa?" Aku masih penasaran dan tentu saja mencari celah, siapa tahu jawaban mbok Tati bisa memberiku sedikit harapan.
"Nggak semua ..." Nah kan tidak semua.
"Buku - buku dan bajunya sebagian diminta untuk diberikan untuk cucu saya di kampung ... dan sudah saya kirim ke kampung seminggu yang lalu mas."
Aku terdiam mendengarkan penjelasan mbok Tati. Otakku masih mencari jalan lain.
"Boleh saya masuk dan lihat kamar Jeje mbok?"
"O boleh, mas masuk dulu biar mbok kunci pintu pagarnya.
Kamar bercat putih yang hanya berisi tempat tidur yang sudah tidak beralas sprei, meja belajar yang kosong hanya ada foto Jeje bersama orangtuanya dan lemari pakaian.
"Boleh saya buka lemari Jeje mbok?"
"Boleh, nggak ada isinya lagi mas," jawab si mbok tapi tetap aku buka. Sayangnya ucapan si mbok barusan benar 100 persen, hanya ada gantungan pewangi dan juga gantungan baju yang tidak ada bajunya dan rak yang lain kosong, tidak ada apa - apa lagi.
"Mbok punya nomer telpon tante Astri?"
"Nggak tahu mas, si mbok nggak ngerti pake telpon ... nggak punya juga."
"Trus gimana kalo menghubungi Eyang?"
"O itu bapak akan hubungi Parto anak si mbok yang kerja di pabrik di Serpong, kalo ada yang penting nanti dia akan kesini ngabarin."
Owh... alangkah ribetnya prosedur si mbok ini. Aku yakin dia ini buta huruf dan anti kemajuan zaman, tidak mungkin eyangnya Jeje tidak mampu membelikannya hape.
"Minggu depan saya kesini lagi mbok, siapa tahu eyang sudah pulang."
"O ya datang aja ... mbok nggak kemana - mana kok mas."
Aku pun pamit pulang dengan pikiran yang kacau. Bagaimana aku mencari khabar tentang Jeje sekarang?
Perasaan kesal dan penasaranku sekarang sangat tinggi, aku tidak mengerti kenapa Jeje harus melakukan ini. Bahkan dua minggu lalu di bandara pun rasanya tidak ada yang salah. Ada apa ini?
Aku langsung pulang ke rumah, dalam keadaan tidak jelas begini aku tidak mau mampir - mampir kemanapun, didalam kamar adalah tempat ya tepat.
"Bang ... baru pulang?" tanya yayang yang sedang mengecek makan malam yang sedang dihidangkan.
"Iya yang.."
"Jangan naik dulu, sekalian makan malam aja ... sebentar lagi beres nih."
"Iya yang.."
Aku sebenarnya malas untuk makan malam, perasaanku sedang tidak enak, pikiranku juga tidak fokus ...aku ingin masuk kamar dan berteriak sekuatnya. Sesak rasanya dadaku ini. Aku duduk di sofa ruang tengah ini sambil menyalakan Tv, tapi mataku ke hape yang tidak aku nyalakan layarnya, hanya aku putar - putar saja ... ragaku disini tapi pikiranku penuh dengan nama Jeje.
"Ayo bang makan," panggil yayang dan saat aku menoleh rupanya yayang baru saja dari dalam kamar dan keluar diiringi yangpa.
Aku berdiri lalu mengambil tempat dihadapan yangpa, sedangkan yayang disebelah yangpa.
"Mana yang lain, nggak kesini?" tanya yangpa ke yayang, maksudnya yang lain adalah anggota keluarga papa dan om Nino.
"Belum, aku juga nggak manggil."
"Panggil lah kesini ... makanan banyak begini."
"Tin ...coba kesebelah, panggil siapa aja yang belum makan malam .. suruh kesini." ucap yangti yang meminta mbak Tina ke rumah sebelah. O ya ...mbak Tina ini art yangpa dari hampir 30 tahun yang lalu saat masih lulus sekolah. Sampai level papa memanggil mbak, harusnya level aku dan adik - adikku tidak memanggilnya mbak, tapi mbak Tina yang tetap maunya dipanggil mbak, katanya dulu ... 'kalo abang sudah punya anak baru manggil dia mbah'.
"Mulai libur kapan bang?" tanya yangpa.
"Minggu depan yangpa."
"Nggak mau kemana - mana?"
"Belum tahu, nggak ada temennya."
"Berapa lama libur?" tanya yayang.
"Kurang lebih 3 minggu yang."
"Pergilah jalan - jalan kemana gitu, ke Eropa kek atau ke Amerika ...urus visa." ucap yangpa.
"Pengen ke Jepang," gumamku tapi rupanya terdengar oleh yangpa.
"Ke Jepang lagi? Kan baru tahun lalu. Apa kita umroh aja yuk ... mau nggak yang?"
"Ayok, udah lama nggak ke tanah suci," jawab yayang.
"Abang belum pernah kan?"
Aku menggeleng.
"Waktu itu kan aa' sama Priska berdua aja lanjut Turki," jelas yayang.
"O iya .. yang pas kita pulang haji itu ya?"
"I ya ... kan gantian jagain Ririn."
"Dulu berapa hari ya yayang pergi haji .. kok kayaknya sebentar banget, bukannya haji itu sebulan lebih ya yang?"
"Yayang ambil yang khusus, hanya beberapa hari aja .. 10 hari kalo nggak salah ya mas?"
"Iya kurang lebih."
"Ooowh bisa ya?" tanyaku yang memang awam urusan seperti ini.
"Bisa ..kan cuma jalanin pokok - pokok ibadah, jadi berangkat penerbangan terakhir trus pulangnya yang duluan."
"Yaudah kita umroh aja bang ... lagi dingin nih."
"Siapa yang mau Umroh?" tanya papa yang datang bersama Ririn.
"Papa ngajak Abang umroh, katanya minggu depan libur 3 minggu." jawab yangpa.
"Oooh ... abang mau?"
"Mau aja," jawabku yang memang tidak punya rencana apa - apa, walaupun sebenarnya aku lebih senang kalo ke Jepang mencari Jeje saat ini.
"Nanti telpon Wendy yang ... umroh yang private aja seminggu."
"Iya, besok aku telpon. Ada yang mau ikut lagi nggak?" tanya yayang.
"Coba tanya Azki."
"Kan dia sekolah mas."
"Ah cuma seminggu ... izin aja, biar abang ada temannya."
"Nanti tanya dulu sama Azki, mau izin nggak dia. Aa' nggak makan?"
"Udah Ma ... tadi mbak Tina datang aku lagi makan."
"Adek nggak mau makan?"
"Udah ..."
"Mana Mama?"
"Mama lagi sakit."
"Sakit apa?"
"Sakit perut, dia tadi siang makan bakso .... kayaknya kebanyakan sambel."
"Ada - ada aja, makan dimana?"
"Nggak tau sama ibu - ibu teman kelas Ririn."
"Udah minum obat?"
"Udah, dikasih Nino tadi."
"Nino mana ya, kok nggak kesini?"
"Tadi ada di rumahnya, capek kali baru pulang."
Aku yang sudah selesai makan berniat pamit permisi.
"Aku duluan ya .."
"Abang mau kemana?" tanya Ririn.
"Mau lihat mama, mau ikut?"
"Mau sama papa aja," jawab adikku yang super manja itu.
"Bang, paspor kasih ke yayang besok ya."
"Iya yangpa." jawabku yang langsung beranjak ke rumah sebelah untuk melihat keadaan mamaku.
Ku batalkan niatku untuk langsung masuk kamar dan kini malah ke rumah sebelah untuk melihat mama.
"Bang ..." Suara Azki memanggilku ketika aku baru saja mau masuk ke rumah mama. Aku berhenti menunggunya datang menghampiriku.
"Tumben dirumah ... nggak ngapel?" bisiknya dengan wajah yang bermaksud menggodaku.
Tiba - tiba aku mendapat pikiran terang.
"Abang minta tolong dong Ki .."