***
Rumah Qomar Al-Amin, Jakarta, Indonesia.,
Halaman depan rumah.,
Pagi hari.,
Mereka baru saja saja selesai menikmati sarapan bersama disini. Seperti biasa, pria yang usianya sudah melewati setengah abad itu akan selalu duduk di depan rumahnya.
Bayangan akan dirinya akan kepulangan putri tercintanya selalu ia dambakan.
“Yah, ini diminum obatnya. Kita masuk ke dalam saja, Yah?” ujar wanita itu sambil membawa sebuah nampan berisikan segelas air mineral hangat dan beberapa bungkus obat. Dia berjalan mendekati suaminya yang duduk di kursi kayu panjang, di depan rumah.
Yah, Miranda Yasira selalu menemani suaminya, Qomar Al-Amin untuk duduk di depan rumah mereka. Dia tahu kalau suaminya sangat merindukan putri sulung mereka, Syefa Yasmin.
Dan entah kenapa, pagi ini dia merasa gelisah. Kegelisahannya juga turut dirasakan oleh suaminya.
Dia sempat mengatakan itu pada suaminya menjelang shubuh tadi pagi. Lalu ia menyuruh putri bungsunya, Salma untuk mengecek waktu kota New York.
Saat ia tahu bahwa disana tengah berada di jam malam, Miranda mulai khawatir. Dia tidak tahu sedang apa dan dimana putri yang mereka panggil, Yasmin.
Qomar masih menatap ke arah gerbang berbahan besi berwarna putih dengan tinggi satu meter. Sejak Dokter memvonisnya terkena penyakit jantung, tubuh Qomar semakin terasa gemuk. Bahkan hari-harinya selalu memakai kaus dan sarung kotak-kotak saja.
Dia tidak lagi bekerja atas saran Dokter. Sehingga kehidupan mereka sekarang bergantung pada hasil penjualan lahan sawah warisan dari keluarganya.
Miranda menyiapkan beberapa butir obat untuk sang suami, sambil sesekali melirik suaminya yang masih termenung sejak tadi.
“Ayah jangan pikirkan apapun. Mbak Yasmin pasti baik-baik aja disana,” ujar Mirana menenangkan hati sang suami.
Ucapan istrinya barusan spontan membuat Qomar menarik napas panjang. Dia melirik sodoran gelas ke arahnya. Dia segera menjangkaunya, dan meneguknya sedikit.
Lalu perlahan, dia meminum obatnya satu persatu. Sampai meminum obat terakhirnya, Qomar masih terus membayangkan pertengkaran hebat antara mereka dengan putri sulung mereka yang memilih pergi dari rumah untuk selamanya.
“Ayah … ayok kita masuk ke dalam. Ayah baru minum obat. Ayah harus istirahat,” ujar Miranda menatap lekat sang suami yang mulai kelihat tua setelah penyakit jantung menyerangnya beberapa tahun lalu.
Qomar tersenyum tipis, walau pandangannya masih menuju ke arah depan rumah mereka yang berada di ujung perempatan jalan.
“Sebentar lagi, Ma. Siapa tahu Mbak Yasmin balik. Kita gak tahu rencana Allah, Ma.” Dia melirik istrinya sekilas, berharap ada keajaiban dari Tuhan.
Bila mendengar nama putrinya, sungguh Miranda tidak kuasa menahan apapun terutama air mata yang sudah memenuhi kelopak matanya. Dia tidak tahu kenapa rasanya sangat sedih bila melihat suaminya selalu mengharapkan putrinya kembali ke rumah tanpa mereka pinta.
“Ma …”
“Iya, Yah?”
Miranda mengusap lembut lengan kiri sang suami yang kini bertubuh gemuk.
“Apa Mbak Yasmin masih marah sama Ayah? Kenapa dia gak pulang-pulang ya, Ma?” tanyanya terus menatap ke arah jalan raya di perkampungan mereka.
Miranda menghela panjang napasnya. Kalimat berulang yang selalu sama. Tidak jauh berbeda sejak suaminya terkena penyakit jantung.
“Yah, Mbak Yasmin pasti pulang. Tapi Ayah kan tahu sendiri pesan dari Salma. Katanya Mbak Yasmin sudah kontrak beberapa tahun disana. Mungkin setelah kontrak habis, Mbak Yasmin pasti pulang kok, Yah.” Dia terus mengusap lembut lengan kiri sang suami, dan masih melanjutkan ucapannya.
“Kalau Mbak Yasmin pulang sama Farhat. Gak apa-apa, Ma. Ayah terima asal putri kita gak pergi kemana-mana lagi. Nanti kita nikahkan ulang disini. Kita bikin pesta besar,” gumamnya mulai menitihkan air mata.
Miranda tak kuasa melihat respon mata suaminya yang lagi-lagi tidak mampu membendung air mata. Dia memeluk tubuh sang suami.
“Ayah jangan begini. Mama jadi sedih. Salma uda berusaha minta bantu temannya untuk cari nomor telpon baru Mbak Yasmin. Kita berdoa semoga usaha mereka gak sia-sia, Yah.”
Qomar terisak kecil. Dia benar-benar merindukan putri sulungnya itu. Bahkan disaat putrinya, Salma terus berusaha mencari kabar Yasmin. Sebagai seorang Ayah, dia merasa sudah tidak berguna lagi.
“Bilang sama Salma, bagaimana pun caranya suruh mereka cari nomor telpon Mbak Yasmin ya, Ma. Ayah cuma mau tahu kabar dia aja. Itu aja, Ma.”
Miranda terus mengangguk kecil sambil terisak seiring dengan air mata yang terus tumpah.
“Iya, Yah. Nanti kalau Salma pulang kerja, kita bilang lagi sama dia. Ayok, Yah. Kita masuk aja. Gak enak kalau tetangga lihat kita menangis diluar,” ujarnya seraya menuntun suaminya untuk berdiri.
Qomar mengangguk kecil. Dia berjalan masuk ke dalam rumah mereka.
Miranda membawa masuk kembali beberapa barang yang tadi ia bawa. Lalu berjalan lambat mengikuti langkah kaki suaminya.
Rumah yang bisa dibilang berukuran besar dan memiliki pekarangan yang luas. Pagar besi setinggi 1 meter mengeliling pekarangan rumah mereka.
Bisa dikatakan jika rumah mereka merupakan idaman sebagian masyarakat. Namun, isinya menyimpan seribu rahasia dan kesedihan yang hanya diketahui oleh keluarga inti mereka saja.
Orang tua yang sangat merindukan putri sulung mereka. Lalu, seorang Adik yang terus berusaha mencari tahu informasi dan keberadaan sang Kakak.
Mereka selalu memanjatkan doa pada Tuhan agar selalu menjaga keluarga mereka, Syefa Yasmin dimanapun ia berada. Tidak ada fokus lain di pikiran mereka selain mengetahui kabar terbaru dari sosok yang sangat mereka rindui itu.
..**..
Kejadian malam di New York membuat getaran di hati Ayah dan Ibunda Syefa Yasmin. Walau mereka masih mengalami perselisihan yang tidak kunjung selesai, bahkan tidak pernah berkomunikasi sama sekali, mereka selalu mengingat putri sulungnya itu.
Hati nurani orang tua tidak akan pernah bisa berbohong. Dimanapun putri mereka berada. Tuhan selalu menyisipkan perasaan gelisah bila terjadi sesuatu dengannya.
Ketika di New York, Syefa tertimpa masalah baru dengan munculnya Farhat kembali untuk meminta maaf. Lalu di Indonesia, orang tua Syefa ikut merasa gelisah.
Tuhan tidak pernah tidur dengan semua rencananya. Bahkan jika ancaman seseorang terus berada di depan mata, Tuhan selalu punya cara untuk melindungi hamba baik yang bersangkutan.
***
The Margara Apartment, New York, USA.,
Kamar Syefa.,
Malam hari.,
Dia masih berada di posisi yang sama. Kedua matanya sudah membengkak sejak tadi. Entah apa yang ia rasakan dari lubuk hatinya yang paling dalam.
“Aku merindukan mereka, Ya Tuhan. Aku merindukan Ayah dan Mamaku, dan juga Adikku.”
Kedua tangannya masih menengadah dan berdoa, dengan posisinya masih duduk diantara dua sujud. Matanya terus menatap ke arah luar jendela, melihat langit hitam pekat di luar sana.
“Lindungi mereka dimana pun mereka berada. Maafkan atas segala kesalahanku yang sudah melawan mereka.”
Syefa bahkan tidak mampu lagi untuk menangis dan mengeluarkan air matanya.
“Aku ingin kembali ke rumah. Tapi … aku tidak sanggup bila kebahagiaan mereka hancur hanya karena kedatanganku kembali.”
Glek!
Tenggorokannya tercekat. Sangat susah baginya menegukkan saliva sendiri bila mengukir bayangan wajah kedua orang tuanya. Dia mengusap kedua tangannya di wajah.
“Aku merindukanmu, Ma, Yah, Salma. Aku merindukan kalian.”
Dadanya sungguh terasa sesak. Dia seorang diri, dia tidak memiliki siapapun disini selain bayi yang ia kandung.
“Tolong jaga diri kalian dengan baik. Aku berjanji tidak akan merepotkan kalian lagi sampai kapanpun.”
…
Tuhan Maha Mendengar. Hanya Tuhan yang bisa menjadi pendengar yang baik tanpa bosan sampai kapanpun.
Semua orang tahu dan memahami ini. Kita memanjatkan doa kepada Tuhan. Doa yang dibisikan ke bumi, lalu didengar oleh langit. Kemudian Tuhan menerima segala doa itu dengan tangan terbuka.
Setiap orang berhak memiliki masa lalu. Setiap orang berhak merubahnya. Dan setiap orang tidak berhak menghakimi orang lain atas masa lalunya. Karena hanya Tuhan segala penentu yang ada di bumi dan langit.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)