Bab 14. Unit

1127 Kata
Junno menatap bangunan tinggi itu dengan perasaan yang sedikit jengah. Entah mengapa dia menerima pekerjaan itu tanpa mempertimbangkan hal ini. Padahal tempo hari Adam sudah mengatakan jika until apartemen miliknya sudah disewa, dan orang yang menyewanya adalah perempuan yang keselamatannya menjadi tanggung jawabnya sekarang ini. Tapi dia tidak punya waktu untuk mundur dan alasan tepat untuk melepaskan pekerjaan ini karena akan mencoreng reputasi Adam dan perusahaan jasa keamanan temannya tersebut. "Pak?" Seorang penjaga keamanan yang mengenalinya menganggukkan kepala, namun Junno memberikan isyarat untuk tidak melakukannya. Dia tak ingin Camelia, Lina atau siapa pun yang tiba bersamanya di tempat itu mengetahui perihal kepemilikan unitnya yang mereka sewa. "Bapak mengenalnya?" Lina bertanya saat mereka sudah berada di dalam lift. "Lumayan." "Rekan di perusahaan jasa?" "Ya." Junno menjawab asal. "Pantas." Perempuan itu menggumam. Dengan cepat lift melesat ke lantai di mana Camelia tinggal, dan pintunya segera terbuka ketika mereka tiba. Dan Junno keluar terlebih dahulu sambil memeriksa keadaan. Dia menganggukkan kepala ketika area itu sepi dan cukup aman bagi perempuan tersebut untuk keluar dan mereka segera menuju ke unitnya. Junno sempat menahan napasnya sebentar ketika teringat peristiwa tiga tahun yang lalu ketika dirinya memergoki Lingga yang tengah memadu cinta bersama pria lain saat dirinya baru saja pulang setelah menjalankan tugas negara. Tetapi dia mampu menguasai diri. Tentu saja, selain melatih fisik dan kemampuan, bergabung di Pasukan Hantu juga mampu melatih emosi dan perasaannya agar stabil dan tidak gampang terpengaruh lingkungan. Kecuali ketika mendapati perempuan yang diperjuangkan setengah mati malah berkhianat di belakangnya. Itu lain lagi ceritanya. Lina berhenti di ambang pintu ketika menemukan sebuah amplop di lantai, lalu dia memungutnya. Dan ketika dia membukanya, apa lagi isinya kalau bukan foto-foto Camelia dalam balutan pakaian seksi dan lingeri yang diambil dari potongan majalah dewasa yang menyewanya sebagai model. Tentu saja membuat perempuan itu lagi-lagi mengalami keterkejutan. "Masuk!" Junno menggiring mereka ke dalam dan kembali memeriksa keadaan di luar sebelum dia menutup pintu. Camelia kembali menangis. Rasa takut jelas mendominasi pikirannya mengetahui mungkin saja saat ini dirinya tengah menjadi target dari tujuan seseorang. Meski motivnya belum diketahui tapi jelas ini terasa menakutkan. "Bapak yakin bisa menjaga Camelia?" Lina meyakinkan dirinya jika tanggung jawab itu akan diambil alih oleh pria di depannya. "Junno. Panggil saja Junno," ucapnya yang memeriksa sekeliling apartemen. Pintu dan kuncinya, setiap jendela dan segala apa yang ada di dalam unit itu tak luput dari perhatiannya. Mencari kalau-kalau ada sesuatu yang janggal di dalam sana. "Baik, Pak. Ehm ... Junno. Apa kau yakin bisa menjalankan tugas ini?" Ulang Lina. " Karena aku juga punya keluarga yang harus diurus. Aku tidak bisa selalu ada di sini dengan Camelia." Junno tak langsung menjawab. Dia tengah memindai keadaan di luar sana yang tampak normal-normal saja. "Mungkin kau butuh orang lain untuk menemanimu, jadi apakah aku harus ...." "Aku bekerja sendiri, dan aku tahu medannya seperti apa. Tapi jika aku butuh bantuan aku akan mencarinya sendiri." Akhirnya pria itu menjawab. "Baik. Aku hanya akan mempercayakan masalah ini kepadamu, jadi ...." "Tentu saja, ini menjadi tanggung jawabku. Jadi kau tidak udah khawatir. Yang aku butuhkan hanya kepercayaan kalian saja," katanya yang menatap Lina dam Camelia secara bergantian. "Itu yang sedang aku lakukan." "Ya, maka biarkan aku bekerja sesuai dengan standard ku." Dia dengan suara tegas. "Baik, aku serahkan keselamatan Camelia kepadamu. Aku akan menghubungi jika ada sesuatu dan kau pun sebaliknya," ucap perempuan itu, dan Junno pun mengangguk. *** Pintu kamar Camelia tertutup rapat sepeninggal Lina dan stafnya. Sementara Junno berada di ruang tengah mengerjakan tugasnya. Dia menyiapkan beberapa hal untuk memperketat keamanan dan menjaga keselamatan artis yang mulai hari ini sudah berada di bawah pengawasannya. Kamera pengintai dia pasang di beberapa sudut termasuk luar jendela dan diatas pintu utama yang terhubung ke ponsel pintarnya. Karena meski apartemen tersebut memiliki CCTV untuk standar keamanan, tetapi dia tidak ingin kecolongan seperti keterangan Camelia yang sebelumnya mendapatkan teror. Tentu saja pria itu tahu dan mengenali setiap sudut unit tersebut yang adalah miliknya. Sehingga dia dengan leluasa menerapkan beberapa hal di sana. "Kau memasang kamera di sini?" Camelia muncul dari dalam kamarnya, dan mendapati Junno yang tengah menempelkan kamera dengan sensor berteknologi tinggi di sudut langit-langit ruang tengah. Pria itu menoleh. "Ya," jawabnya, lalu kembali pada pekerjaannya. "Apa tidak berlebihan?" "Untuk keamanan? Tidak. Inilah standard ku." Camelia mendengus pelan, lalu dia melenggang ke arah pintu ketika bel berbunyi. "Tunggu!" Junno segera menghentikannya. "Apa yang akan kau lakukan?" Dia segera turun kemudian mengambil pistol yang diletakannya di meja dan memasukkannya ke belakang tubuhnya. "Mau mengambil makanan." Camelia berhenti tepat di belakang pintu. "Kau pesan online?" Junni berjalan menghampirinya. "Ya, apa lagi? Aku lapar." Perempuan itu menjawab lagi, dan dia kembali mendekati pintu. "Berhenti, kau lupa keselamatanmu sedang terancam?" ucap Junno yang mendahuluinya. Camelia mengerutkan dahi. "Aku sedang bekerja di sini, jadi semua yang kau lakukan harus di bawah pengawasanku," ucap pria itu lagi dan dia menghalanginya yang hendak membuka pintu. "Kau pengawal, bukan managerku." Camelia menjawab lagi. "Tapi managermu menyerahkan tanggung jawab keselamatanmu kepadaku." Dan pria itu mendebatnya. "Lagipula kau baru saja pulang dari rumah sakit. Apa lukamu sudah benar-benar pulih? Seharusnya kau istirahat saja di tempat tidur." Camelai menghela napas pelan. "Menyingkir, buat aku yang melihat keluar." Junno menyertakan kepalanya sebelum dia membuka pintu. Dan Camelia mundur dua langkah. Pria itu keluar lalu menutup pintu, dan sesaat kemudian dia sudah kembali dengan dua bungkusan makanan di tangan. "Kau gegabah sekali," katanya yang meletakkan bungkusan tersebut di meja makan, kemudian segera memeriksanya. "Hey, kau mau mengacak-acak makananku?" protes Camelia ketika Junno melakukan beberapa hal pada makanannya. Dia membuka bungkusannya dan memindahkannya ke dalam wadah. Memeriksa apakah ada ham yang aneh di dalamnya atau tidak? Dan setelah yakin dia menyerahkannya pada perempuan itu. "Nah, silahkan. Selamat makan," ujar Junno yang kemudian kembali pada pekerjaannya semula. "Aku ini mau makan, dan kau mengacak-acak makananku?" Perempuan itu menatap makanan di piringnya. "Aku hanya memeriksanya saja. Bukankah ini untuk keselamatanmu?" Junno menjawab. "Tapi ini makananku!" Pria itu terdiam untuk sejenak, kemudian dia menoleh kepadanya yang masih berdiri di tempatnya semula. "Kau tahu, beberapa kasus teror pribadi berujung kematian karena korbannya ceroboh. Pelaku bisa saja memanfaatkan keseharianmu yang biasa saja untuk menyerangmu. Seperti hari ini kau pesan makanan antar yang mungkin saja menjadi sarana peneror untuk menyerang lagi," jelas Junno yang membuat Camelia terdiam. "Ingat, pelakunya masih belum ditangkap dan aku pastikan dia masih berkeliaran mengincarmu." Dia melanjutkan. "Jadi aku sarankan kau menurut padaku, apa pun yang mau kau lakukan harus dengan sepengetahuanku. Karena jika tidak, makan aku tidak akan bisa melindungimu." Camelia kehilangan kata-kata. Baru sehari saja dia sudah merasa seperti tahanan. "Hah! Mau makan saja rumitnya minta ampun! Kalau begitu nanti sediakan makanan untukku!" Perempuan itu menghempaskan piring makanannya ke dalam tong sampah lalu melenggang ke kamarnya sambil menggerutu. "Hmm ... dasar perempuan!" gumam Junno sambil menggelengkan kepala, kemudian dia menyelesaikan pekerjaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN