Bab 4. Camelia

1203 Kata
"Bukankah akan lebih baik jika kau tinggal ambil alih lagi apartemenmu?" Adam menyesap kopinya yang tak sepanas sebelumnya, sementara Junno menyalakan rokok di mulutnya. "Aku rasa tidak." Pria itu menyesapnya dalam-dalam kemudian meniupkan asapnya di udara. "Mengapa tidak? Daripada kau mengontrak lebih baik tinggali lagi apartemenmu. Lagipula itu penyewanya membayar setiap satu tahun sekali, dan sisa dua bulan dari pembayarannya yang terakhir tahun lalu." "Tahun lalu?" "Ya." Adam menganggukkan kepala. "Sepertinya dia betah sekali sehingga tinggal di apartemenku selama itu. Bukankah begitu aku menjalani hukuman unitnya sudah ada yang menyewa ya?" "Benar." "Apa orang yang sama?" "Ya. Kau tidak akan percaya jika aku katakan." "Siapa?" "Camelia Abigail." "Siapa?" Junno mengulang pertanyaannya. "Camelia Abigail. Artis sinetron itu. Sekarang dia jadi model juga." Junno terdiam sambil mengerutkan dahi. "Jangan katakan jika kau tidak mengenal siapa Camelia Abigail." Adam menatap wajah rekannya dengan heran. "Kau benar, ahahaha. Siapa Camelia Abigail itu aku tidak kenal? Kau lupa aku di penjara militer selama tiga tahun? Tidak ada akses apa pun di sana selain menjalani hukuman, olah raga dan membaca buku yang usianya sudah belasan bahkan puluhan tahun. Mana tahu aku perkembangan dunia?" Junno tertawa. "Ah, aku juga tahu karena istri dan anakku penggemar beratnya. Dulu saat sinetronnya masih ramai mereka setiap hari menonton tivi atau melihat beritanya. Hanya setahun belakangan saja konten tentang dia agak sepi." "Kau ini juga mengikuti berita soal artis itu ya? Haha, aneh sekali." Junno kembali menyesap rokoknya hingga ujungnya berpendar, lalu meniupkan asap putih dari mulut dan hidungnya. "Aku bisa menebak jika dia tak tahu bahwa apartemen itu pernah jadi lokasi pembun*han. Kalau tidak, aku yakin dia tak akan mau menempatinya," lanjut Junno yang kemudian meneguk minuman dinginnya yang sudah berembun. "Memang. Sengaja aku minta pengelola untuk tak memberitahukan soal kejadian itu dan mereka menurut." "Tentu saja, yang memberi perintah adalah kau, Adam Suteja. Baru melihatmu saja mereka sudah segan." Dua pria itu tertawa sebelum akhirnya ponsel milik Adam berbunyi nyaring. "Ah, ini istriku," katanya, kemudian menjawab panggilan. "Ya Sayang?" Percakapan telpon berlangsung untuk beberapa saat sementara Junno kembali menyulut rokoknya. Dia menikmatinya seperti tak ada hal lain untuk dilakukan selain itu sambil mengamati keadaan sekitar. Sebuah kerumunan tampak mendekat diluar restoran, lalu beberapa saat kemudian tiga orang yang diantaranya dua perempuan masuk setelah berdebat dengan pencari berita. "Mau makan saja harus ribut dengan wartawan, sampai kapan mau seperti ini?" Wanita dengan penampilan begitu cantik duduk di kursi yang terhalang satu meja dari Adam dan Junno. "Klarifikasi ku kurang ya sehingga mereka seperti itu? Lalu aku harus bagaimana?" katanya lagi pada wanita yang satunya. "Sudah aku katakan tidak usah ditanggapi, dan sebaiknya kau fokus saja pada karirmu. Yang lainnya biar aku urus," jawab wanita berkacamata itu. "Terakhir kali aku membiarkanmu mengurus masalahku, lihat apa jadinya sekarang?" "Kau tidak mengerti, Mel. Semuanya butuh proses yang tidak mudah." "Itu terus yang kau katakan, tapi tetap saja." Wanita cantik tersebut tampak marah-marah. "Junn!" Adam mengguncangkan pundak Junno yang sedang asyik menyimak perdebatan di depannya. "Ya?" Dan perhatiannya segera beralih kepada rekannya itu. "Kau masih mau di sini? Aku harus segera pulang," ucap Adam yang melihat jam tangannya. "Umm … ya, aku juga. Sepertinya perlu istirahat." Dua pria yang sama tinggi itu bangkit hampir bersamaan. Kemudian mereka pergi setelah Junno meletakkan beberapa lembar uang berwarna biru di tray bill. *** "Mungkin Pak Bima akan datang sebentar lagi, Mel." Lina, sang manager memastikan semua kebutuhan Camelia sudah lengkap. Mereka kembali ke apartemen pada malam hari setelah menyelesaikan pemotretan untuk majalah dewasa siang tadi, dengan Camelia sebagai cover depan untuk promosi pak*ian dal*m wanita dan produk semacamnya. "Ya, aku tahu." Sedangkan Camelia sudah berendam di bathtub nya seperti yang disarankan oleh terapis di spa tadi untuk melengkapi perawatan tubuh yang dijalankan sebelum pulang. "Kau suka produknya, Mel? Mereka secara khusus menyiapkannya untukmu." Lina mendekati bathtub. "Ya, aku merasa seperti selebriti kelas dunia karena produk ini." Camelia memejamkan mata dengan kepala ia rebahkan pada pinggiran bak mandi. "Dan jika kau bersedia mereka ingin menjadikanmu modelnya," ucap Lina lagi. "Benarkah?" Camelia membuka matanya. "Ya. Tapi harganya aku rasa …." "Terima saja, Lin." Wanita itu bangkit menegakkan tubuhnya. "Serius?" "Ya." "Tapi harganya aku rasa tidak sesuai untukmu. Mereka memberikan penawaran di bawah standar." Camelia terdiam. "Tapi jika kau mau baiklah, akan aku atur dengan agensi dan pihak mereka. Dari pada tidak ada job sama sekali, kan? Ini juga berkat Pak Bima. Dan aku rasa malam ini dia akan menagih imbalan untuk itu." Lina keluar dari kamar mandi, meninggalkan Camelia dengan perasaan yang tidak cukup baik. *** Camelia berdiri di depan cermin menatap dirinya sendiri. Sehelai pakaian kekurangan bahan sudah dikenakan, dan dia memastikan dirinya siap untuk menyambut kedatangan pria yang selama ini menopang kehidupannya. Bima Adipura yang seolah menjadi penolong ketika Camelia dihadapkan pada permasalah pelik saat Alif masuk rumah sakit karena kecelakaan parah satu tahun yang lalu. Belum lagi menghadapi tuntutan ganti rugi dari pemilik kendaraan sekaligus orang tua dari korban yang dia tabrak pada malam nahas itu. Yang secara kebetulan terjadi saat dirinya tengah dilanda kesulitan ekonomi karena berkurangnya pekerjaan. Namun tawaran Bima menyelamatkannya meski itu harus ditukar dengan keperawanannya. Dan hidup di dunia hiburan itu memang tak mudah. Tak selamanya juga berjaya mendapatkan kontrak-kontrak besar dan menggiurkan yang bisa menghasilkan uang ratusan juta. Tetapi akan mengalami pasang surut jika waktunya telah tiba. Apalagi bagi dirinya yang sudah tak se belia dulu harus bersaing dengan bakat-bakat muda yang lebih segar, lebih cantik dan lebih menjanjikan. Bukan karena dirinya sudah tak cantik, melainkan pasar industri hiburan sekarang memang sudah berubah. Tak ada yang kurang juga pada dirinya. Dia cantik, seksi dan juga tidak kalah terkenal dengan mereka yang baru. Tapi rumah produksi dan agensi lebih memilih daun muda untuk diorbitkan karena lebih mudah diatur dan diarahkan. Tak seperti dirinya yang punya keinginan sendiri untuk apa pun yang ia kerjakan. Hanya produk-produk dan pihak tertentu saja yang berani menggunakan jasa dan wajahnya untuk promosi mereka. Seperti hari ini, dia menjalani pemotretan untuk majalah dewasa dengan pakaian menantang dari salah satu produk ternama. Dan itu sudah berlangsung beberapa kali yang menjadi tambahan untuk mengisi pundi-pundi rupiah di rekening pribadinya. Apalagi jika ingat ibu dan kedua adiknya, dia akan bersedia menerima pekerjaan apa pun. "Seperti biasa, kau cantik sekali, Camelia." Sepasang tangan kekar menyelinap di pinggangnya, kemudian memeluk tubuh sintalnya dengan erat. Rasa hangat segera menjalar di punggung ketika Bima merapatkan tubuhnya, dan segera saja dia mengecupi pundak seksi Camelia. "Anda kembali lagi, Pak?" Dan wanita itu berusaha mengajaknya berbicara. "Ya, sudah aku katakan bukan?" Ciuman Bima pada tubuhnya menjadi semakin liar saja, dan Camelia merasa kali ini akan lebih sulit dari malam-malam sebelumnya. "Ya, mungkin Bapak mau mandi dulu, karena saya hanya sedang …." Pria itu tiba-tiba saja mendorongnya hingga Camelia tersudut di cermin dan dia segera menarik lingerie sehingga kain transparan itu terlepas dari tubuh moleknya. "Kau tahu aku selalu menginginkanmu, Camelia. Maka tidak ada alasan bagiku untuk tak datang." Bima berbisik di telinganya. Dia membalikkan tubuh Camelia sehingga kini mereka berhadapan dengan perempuan itu yang hampir telanj*ang. Kemudian melepaskan pakaiannya sendiri. Bima mengurut miliknya yang sudah menegang, lalu maju dan menyentuh pundak Camelia untuk kemudian menekannya hingga perempuan itu berlutut di hadapannya. Pria itu mendekatkan alat tempurnya ke wajah Camelia yang mendongak, kemudian mengisyaratkan padanya untuk melakukan apa yang dia inginkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN