Bab 5. Rumor

1421 Kata
"Bapak sudah dengar soal gosipnya?" Camelia menopang dagunya dengan tangan yang tertelungkup di d**a Bima. Setelah pergumulan itu mereka tak langsung tertidur, melainkan memilih untuk berbincang terlebih dahulu. "Gosip apa?" Sementara pria itu berbaring dengan sebelah tangan dibawah kepala. "Rumor soal hubungan kita." Bima tertawa terbahak-bahak. "Serius." "Jangan terlalu menanggapinya, karena hanya akan memecah konsentrasimu," ucapnya yang kemudian menyentuh pipi Camelia dengan punggung tangannya. "Tapi semakin lama gosip itu semakin kencang saja. Apakah itu tidak mengganggu Bapak?" "Tidak, aku terlalu sibuk untuk memikirkan hal semacam itu." Bima menatapnya lekat-lekat. Ada perasaan lain tentang wanita ini yang tidak bisa dia abaikan, namun keadaannya yang memang tidak memungkinkan bagi mereka untuk bersama. Meski jika memaksa pun dirinya bisa namun Camelia bersikeras menolaknya. "Saya mulai khawatir, Pak." Wanita itu menyurukkan kepalanya di d**a Bima. "Khawatir soal apa?" "Bagaimana jika hubungan ini diketahui oleh publik?" Bima terdiam. Jelas akan ada banyak hal yang hancur karenanya, dan dia tak bisa membayangkan akan bagaimana jadinya nanti. Karena selain karirnya yang sudah pasti akan jatuh, rumah tangganya yang selama ini aman-aman saja juga akan porak-poranda. "Maka jangan sampai diketahui publik." Pria itu berujar kemudian dia meletakkan sebelah tangannya di wajah untuk menutupi kedua matanya yang dia pejamkan. Kini Camelia yang terdiam. "Tetap lakukan apa yang selama ini kau lakukan dan jangan berpikir untuk memberikan keterangan lebih kepada media. Kalau bisa tutup mulut saja," katanya lagi. "Tapi, Pak?" "Diamlah, aku mau istirahat. Besok aku harus pergi ke Malang untuk kunjungan kerja. Jadi jangan membuat pikiranku kacau karena keluhanmu." Pria itu segera memejamkan mata. *** "Kau serius dengan bisnismu ini rupanya?" Junno menatap sekeliling gedung dan area luas di mana pria-pria berbadan besar tengah berlatih. "Memangnya kapan kau melihatku tidak serius?" Adam seperti biasa, menjadi orang yang paling sering dia temui akhir-akhir ini jika tidak ada misi yang dikerjakan. "Maksudku, kau benar-benar mewujudkan niatmu untuk memiliki tempat seperti ini." "Ya, jika bisa kenapa tidak? Lagipula ini berguna untuk bisnis di masa tua nanti setelah kita tidak bertugas lagi." Dua pria itu memperhatikan kegiatan di depan mereka. "Apa kau menerima klien dari kalangan pejabat?" Junno bertanya. "Siapa pun yang membutuhkan jasa keamanan dan mampu membayar dengan jumlah yang sesuai. Karena para bodyguard ini benar-benat sangat terlatih." Adam menjawab. "Sudah tidak diragukan lagi jika bosnya adalah kau." Junno tertawa. "Tapi sebentar, kau ini kan abdi negara. Memangnya boleh punya bisnis sampingan seperti ini?" Mereka berhenti di sisi lain yang menyerupai lapangan, tempat pria-pria di depan sana berlatih fisik. "Usahanya atas nama istriku, jadi aman." Adam pun tertawa. "Dasar kau ini!" "Tidak apa, yang penting tidak merugikan negara. Lagipula aku harus realistis karena bekerja dibawah perintah orang lain itu tidak menjamin masa depan kita bagaimana. Apalagi dengan profesi berbahaya yang dihadapi. Kita tidak tahu akan terjadi apa nanti." Adam berujar. "Hentikan! Mengapa kau bicara seperti itu? Aneh sekali, hahaha." Lalu Junno menepuk punggung rekannya tersebut. "Bergabunglah jika kau mau. Aku yakin tenagamu akan dibutuhkan seseorang nantinya," bujuk Adam kepada rekannya di Komando Pasukan Khusus itu. "Mm … akan aku pikirkan nanti. Baru berapa minggu keluar dari penjara masa sudah bekerja? Tidak asik sekali kau ini." Junno tertawa lagi, yang membuat Adam mencebik. *** "Bagaimana Mbak, tanggapannya soal rumor hubungan dengan Pak Bima Adipura? Ada perkembangannya?" Seorang wartawan lagi-lagi melontarkan pertanyaan yang sama. Camelia bungkam. Dia tetap melanjutkan langkahnya ke pelataran parkir di mana mobil mewahnya sudah siap setelah menyelesaikan pekerjaannya untuk pemotretan salah satu produk minuman ringan. "Mbak Camelia? Mohon tanggapannya, Mbak." Sebuah microphon didekatkan ke wajahnya dan hampir mengenai bibirnya yang tertutup rapat. "Hey!!" Dan hal tersebut membuat sang aktris tersulut emosi. "Tanggapannya, Mbak. Bagaimana soal …." "Tidak ada!" Camelia berteriak seraya menepuk microphone dengan cukup keras sehingga benda itu terjatuh ke aspal. Dan hal itu terekan kamera dengan jelas. "Waahhh …." "Kamu yang sopan ya? Hargai saya!" katanya dengan nada marah. "Ya Mbak jawab dong pertanyaan kami." "Terserah saya dong, itu kan hak saya mau jawab atau tidak." "Tapi seharusnya Mbak ini bersikap kooperatif lah." ucap wartawan yag lain dengan kamera yang masih merekam adegan tersebut. "Kooperatif apanya? Memangnya kalian ini polisi sehingga saya harus kooperatif? Yang ada juga kalian yang harus menghargai privasi saya." Camelia mendorong salah satu kamera yang menyorot wajahnya dengan jelas kemudian terburu-buru pergi ketika sopir dan manager menariknya keluar dari kerumunan. Diikuti sorakan mengejek dari para pencari berita dunia hiburan tersebut. "Seharusnya kamu tidak perlu bersikap seperti itu juga, Mel." Lina memberanikan diri untuk berbicara. "Bersikap bagaimana?" Camelia mengalihkan perhatiannya dari ponsel saat mendengar managernya berbicara. "Ya jaga sikap, jangan emosi seperti tadi. Pakai mikrofon dan kamera kamu pukul lagi. Bagaimana kalau itu jadi masalah?" "Kamu tidak lihat tadi kalau mereka melewati garis privasiku?" Yang tentu saja membuat kekesalan Camelia kembali tersulut. "Garis privasi apanya? Kamu ini artis. Tidak ada privasi untuk seorang artis." Lina menjawab. "Bukan masalah artis atau bukan, tapi mereka menanyakan hal pribadi dan aku tidak suka untuk mengumbar urusanku ke publik. Tidakkah kau mengerti, Lin? Lagipula aku tidak terbiasa mengumbar hal yang tak ada hubungannya dengan pekerjaanku. Dulu aku hadir dengan kabar prestasi soal pencapaianku di dunia sinetron, lalu mengapa sekarang aku harus melakukan hal lain?" "Demi eksistensimu, Mel. Ingat itu!" ucap Lina kemudian. "Tapi tidak dengan gosip juga." "Kau tahu, terkadang gosip bisa membawa popularitas seseorang yang payah sekalipun menjadi melambung tinggi. Jadi mengapa kau khawatir soal itu? Seharusnya rumor seperti ini bisa kau manfaatkan untuk menarik pekerjaan lebih banyak." "Tapi tidak dengan membawa nama Pak Bima, aku tidak bisa. Kau pun tahu alasanya!" Camelia memijit pelipisnya yang terasa nyeri, sementara Lina menghela dan menghembuskan napasnya pelan-pelan. "Kau managerku, jadi kau pasti sudah tahu bagaimana keadaanku. Maka aku minta jangan memperkeruh keadaan dengan menyudutkanku untuk masalah itu, Lin." "Maka bersikaplah dengan baik, karena sekarang hanya itulah modalmu satu-satunya. Jaga hubungan baikmu dengan media dengan tidak bertingkah kasar." "Karena tidak ada yang membelaku, Lin. Kau juga ada di sana tapi malah diam saja saat mereka melontatkan pertanyaan tidak pantas. Lalu aku bisa mengandalkan siapa?" Camelia setengah berteriak, yang membuat dang manager akhirnya bungkam. *** Camelia membiarkan pintu balkon apartemennya terbuka lebar-lebar sehingga angin malam masuk ke dalam huniannya yang hampir tiga tahun belakangan ini dia tinggali. Bukan unit yang terlalu mewah seperti yang dimilikinya dulu sebelum sepi job, tetapi cukup untuknya berlindung di kala lelah. Apalagi memberinya pilihan untuk pulang ke rumah yang isinya merupakan ibu dan adik-adiknya yang tidak pernah bisa berhenti mengeluhkan banyak hal. Dan tinggal sendirian adalah merupakan yang terbaik baginya. Wanita itu menatap lampu kota yang berkilauan di bawah sana. Gedung-gedung lain juga menyalakan lampu yang membuat keadaan menjadi semakin semarak meski sebagian besar tidak beroprasi pada jam malam seperti itu. Lalu ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk, dan salah satu temannya sesama artis mengirimkan gambar. "Party di Heaven's jam sepuluh nanti. Kau ikut?" Pesan berikutnya muncul sedetik kemudian. Camelia terdiam. Kemudian pesan dari managernya pun menyusul. "Mel, ada undangan dari Heaven's, kau mau ikut?" Dia melirik jam digital di dekat televisinya. Baru jam delapan malam, dan tak ada kegiatan lagi. Bima bahkan sudah tiba di rumahnya satu jam yang lalu dan pria itu mungkin tidak akan datang untuk beberapa hari ke depan karena keluarganya yang berlibur di Paris pun sudah kembali. "Baik, jemput aku, Lin!" balasnya kepada sang manager, begitu pula yang dia lakukan pada temannya. *** "Dengar, Mel. Aku minta maaf soal kejadian waktu itu. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah. Aku hanya ingin memberi tahu." Lina memulai percakapan ketika mereka sudah dalam perjalanan. "Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya. Lagipula itu tidak penting, kan?" Camelia yang malam itu tampil begitu cantik pun menjawab. "Serius, jangan marah padaku. Tekanan dari agensi menuntutku untuk bisa mendisiplinkanmu, apalagi keadaannya sekarang sedang kurang baik. Apalagi untukmu. Hal seperti itu akan membuat populritasmu semakin merosot dan banyak pihak yang tidak menginginkanmu, jadi …." "Iya iya aku paham. Lain kali aku tidak akan mengulanginya lagi, aku janji." "Baiklah." "Jadi, akan ada siapa saja di pesta nanti?" Mereka tiba di depan sebuah club terkenal di Jakarta "Banyak sekali. Dan kau bisa memanfaatkannya untuk membangun relasi." Mereka kemudian masuk ke dalam gedung megah yang hampir dipenuhi oleh pengunjung tersebut. Lampu disko sudah menyala menyambut kedatangan orang-orang, dan para pelayan hilir mudik mengantarkan minuman. "Camelia?" Seorang pria tampan menyambutnya di ambang pintu, dan mereka segera berpelukan. "Hai Dean? Apa kabar?" Camelia menjawab. "Sangat baik, bagaimana denganmu? Lama tidak bertemu, kau sangat sibuk ya?" Pria itu memeluk tubuh Camelia denga erat. "Begitulah." Camelia tersenyum cukup manis setelah pelukannya terlepas. "Kemarilah, kita bertemu yang lainnya." Kemudian mereka masuk lebih dalam. Melewati kerumunan untuk mencapai area VVIP di mana tamu-tamu khusus yang merupakan selebriti papan atas sudah berkumpul.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN