"Kau hari ini ada syuting?" Bima membiarkan Camelia memasangkan dasinya.
Pagi-pagi sekali pria itu sudah terbangun dan bersiap untuk pergi menghadiri rapat penting di gedung pemerintahan.
"Belum tahu, Lina belum mengabari." Lalu Camelia meraih jas dan membantu ia mengenakannya, seperti biasa.
Bima sedikit terkekeh.
"Kenapa? Ada yang lucu?" Membuat perempuan itu tertawa.
"Kau tahu, Mel? Terkadang aku merasa jika kau adalah istriku." Lagi-lagi Bima membiarkan Camelia mendandaninya seperti yang memang selalu dia lakukan setahun belakangan.
Tepatnya sejak mereka menjalin hubungan yang entah harus disebut apa atau bagaimana. Karena keduanya jelas sama-sama memiliki kepentingan.
"Ya, jika Bapak mau menganggap begitu silahkan saja. Bukankah selama ini saya memang selalu menjadi apa yang Bapak inginkan?" Camelia mengusap jas yang menempel di tubuh tingginya.
Di tempat itu memang tersedia pakaian untuknya jika sesekali dibutuhkan, dan Camelia selalu memadu padankannya dengan baik sehingga kapanpun Bima keluar dari unitnya, makan penampilannya akan sangat sempurna.
Pria itu memang tidak bisa disebut muda, tapi belum terlalu tua juga. Dan 38 tahun adalah usia matang dengan segala kemapanan yang menjadi dambaan semua orang.
Tampan, kaya, sukses dan memiliki kehidupan yang baik. Namun siapa sangka Bima menyimpan rahasia besar dalam hidupnya? Yakni hubungan dengan beberapa perempuan sebelum Camelia yang memang dijadikan selingan dalam hidupnya.
Meski tak dipungkiri, dia pun sudah berkeluarga dengan perempuan secantik Delisa Atmaja, seorang sosialita terkenal yang merupakan putri seorang menteri.
Namun baginya itu tidaklah cukup, karena Bima menyenangi petualangannya dengan perempuan-perempuan cantik lain yang kebanyakan adalah merupakan orang terkenal.
Namun hubungannya kali ini dengan Camelia terasa berbeda. Selain waktu itu dia yang mendapatkannya dalam keadaan yang masih suci, perempuan itu juga memiliki sesuatu yang tak pernah dia temukan pada wanita manapun yang dikencaninya. Maka, setahun belakangan hanya dialah yang menjadi tempat pulangnya selain rumah di mana Delisa berada.
"Kau benar." Bima memeluk tubuh bak gitar spanyolnya yang aduhai itu. Yang juga menjadi tempatnya melampiaskan nafsu kelelakiannya yang tidak pernah merasa puas.
"Jadi, apakah itu menandakan jika kau bersedia aku nikahi?" Pertanyaan itu kembali terlontar dari mulutnya.
Camelia terdiam.
"Tidak mau? Kau lebih suka kehidupan yang seperti ini?" Bima berujar.
"Atau kau juga memiliki hubungan selain denganku, sehingga kau tidak mau menjadi yang kedua bagiku?"
Perempuan itu kemudian terkekeh.
"Sekarang kau yang tertawa."
"Apa karena Bapak berlaku seperti itu, jadi menganggap saya juga sama?" Camelia malah bertanya. Dan dia mendongak lebih dekat pada wajah pria itu tanpa rasa gentar sedikitpun.
Bima tertawa.
"Tidak ya? Hum?" Lalu dia mengeratkan pelukan kemudian menundukkan wajah untuk meraih bibir Camelia yang selalu terlihat meggiurkan.
"Sudah hampir siang, Pak." Namun perempuan itu mengingatkan seraya memundurkan wajahnya.
Bima tertawa lagi dengan wajah terdongak ke atas.
"Ah, Camelia! Kau memang pandai membuatku berdebar seperti ini. Tidak heran aku selalu ingin kembali dan memilih untuk bersamamu saja." Kemudian dia melepaskannya.
"Aku pergi. Ingat, jangan berulah!" katanya yang mengusap wajah Camelia dengan punggung tangannya. Sebelum akhirnya dia segera keluar dari unit tersebut untuk menjalani pekerjaannya.
***
Camelia keluar dari kamar mandi dengan tergesa setelah mengenakan bathrobenya ketika mendengar seseorang mengetuk pintunya dengan keras.
"Kenapa kau menggedor pintu, Lin? Bukankah ada bel? Lagipula kau pegang kuncinya kan?" Dia mengintip dari lubang khusus di tengah pintu tetapi tak ada siapa pun di depan sana.
Camelia tertegun.
Tidak biasanya ada yang mengetuk pintunya seperti itu. Pengurus apartemen bahkan memiliki kunci cadangan untuk masuk dan mereka tidak pernah melakukan hal demikian.
Perempuan itu mengintip lagi, namun nihil. Tak ada seorang pun di depan pintunya.
Camelia hendak kembali ke kamarnya untuk berpakaian, namun ketukan itu kembali terdengar.
Dia berbalik. Lantas dengan cepat membuka pintu, dan tetap saja tidak menemukan siapa pun di sana.
Perempuan itu melihat ke arah kanan dan kiri, yang memungkinkan dirinya untuk menemukan pelaku yang pada hampir siang itu sudah mengganggu ketenangannya. Namun tetap saja, lorong apartemen hingga ke depan lift itu lengang.
Dan dia mundur untuk kembali ketika kakinya menginjak sesuatu yang tergeletak di lantai dekat pintu.
Camelia mengerutkan dahi kemudian memungut benda tersebut yang berbentuk amplop berukuran sedang dengan warna coklatnya yang khas.
Dia kembali menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika tak ada siapa pun di sana, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk dan merapatkan pintu.
Selembar surat Camelia temukan dengan beberapa lembar foto yang menampilkan dirinya sedang berada di sebuah club terkenal tiga malam lalu, bersama beberapa pria yang tampak begitu dekat. Kemudian foto berikutnya adalah beberapa interaksinya dengan Bima dengan sudut pandang jendela apartemen. Yang salah satunya adalah kegiatan pagi itu.
Camelia segera membaca tulisan yang tertera di kertas yang hanya satu kalimat saja."
"SEBAIKNYA KAU HATI-HATI." Yang ditulis dengan huruf kapital yang jelas.
Wajah Camelia memucat, lalu dia terlonjak kaget ketika suata di pintu kembali terdengar. Pegangannya tampak bergerak dan benda itu segera terbuka secara otomatis.
Camelia menahan napas.
"Mel?" Dan wajah Lina lah yang muncul.
"Oh, astaga! Syukurlah kau yang datang. Aku merasa hampir mati!" Camelia segera menghambur memeluk Lina yang masuk bersama dua orang dari agensi.
"Ada apa? Kau baru bangun?" Perempuan berkacamata itu memeriksa keadaannya.
"Kau tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Di sana ada orang ... barusan ... aku menemukan ini ... dia ...." Dia meracau.
"Wow wow wow, tunggu dulu. Pelan-pelan. Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu pucat begini? Ada sesuatu?"
"Tadi ada orang ... dia mengetuk pintu dengan keras, tapi ...." Lina menggiringnya ke sofa dan membiarkannya duduk di sana.
"Tenanglah, tenang. Ceritakan pelan-pelan." ucap Lina.
Camelia mengatur napasnya dengan benar untuk beberapa saat, lalu dia kembali berbicara.
"Aku kira itu ksi, Lin. Tapi setelah aku lihat tidak ada siapa pun di sana. Tapi hanya meninggalkan ini." Camelia menyerahkan isi amplop kepada Lina.
"Seseorang mengancammu?" Dia menatap wajah Camelia.
"Entahlah, kau pikir apa?"
Sejak kapan ini terjadi." Lina membaca surat dan melihat beberapa foto.
"Barusan."
"Mungkin ulah penggemar, biasa lah."
"Kau yakin?"
"Ya, sepertinya begitu. Nanti aku lapor ke satpam agar tidak membiarkan orang sembarangan masuk." Lina memasukkan kertan beserta foto ke dalam amplopnya.
"Ada beberapa audisi hari ini sampai malam, aku harap kau siap. Semoga ini menjadi jalanmu untuk kembali, Mel."
"Sinetron lagi?"
"Bukan sinetron juga, sekarang mereka menyebutnya drama seri. Tayang di saluran tivi kabel, jadi ada nilai lebihnya. Tapi performa mu sangat dituntut disini."
Camelia mendengarkan.
"Ayolah, cepat bersiap. Siapa tahu kau akan menemukan keberhasilan lagi di sini. Dan aku berharap ya."
Perempuan itu pun melakukan apa yang managernya katakan.
***
"Jadi pelakor? Yang benar saja!" protes Camelia saat seorang dari rumah produksi menawarkan sebuah peran untuknya.
Malam sudah beranjak larut dan dia sudah kelelahan. Audisi hari ini cukup menguras tenaga dan emosinya karena banyak hal yang harus dia lakukan.
"Hanya ini peran yang tersisa. Dan aku rasa kau cocok untuk memerankannya," ujar pria tersebut.
Camelia mendengus.
"Ayolah, Mel. Kau ini seorang artis. Peran apa pun seharusnya tidak akan menjadi masalah bagimu, dan kau harus bisa memerankannya dengan baik." Lina menghentikan perdebatan tersebut.
"Tapi Lin, selain perannya sedikit kontroversi, dialognya juga provokatif. Kau tidak baca?" Camelia menunjukkan kertas berisi potongan skenario yang didapatnya barusan.
"Kau lupa profesimu sebagai apa? Disitulah tantangan yang harus kau taklukan." Lina menariknya ke sisi lain studio.
"Lagipula kau tidak punya pilihan. Terima peran ini atau tidak ada pekerjaan sama-sekali? Tawaran iklan tidak ada, sementara panggilan syuting yang lainnya juga belum aku terima. Kau pengangguran sekarang."
Camelia terdiam.
"Ini satu-satunya peran yang kau dapat dalam beberapa bulan dan kontraknya cukup panjang. Setidaknya sampai dapat peran lainnya."
Perempuan itu berpikir.
"Ayolah, Mel. Dalam keadaan sekarang ini sebaiknya kau tidak usah memilih-milih peran. Ambil apa saja yang sekiranya bisa membuatmu bertahan. Kau tahu, terkadang butuh sedikit kontroversi untuk mendongkrak popularitasmu."
Camelia kembali menatap wajah sang manager.
"Lagipula, gosip itu sepertinya bisa kita manfaatkan untuk promosi nantinya."
Camelia tak punya pilihan lain. Lina benar, dan hal ini memang menjadi resikonya sebagai artis. Profesinya juga mengharuskan dia untuk mengambil peran apa saja yang ditawarkan jika itu memang memungkinkan. Ditambah keadaan sekarang memang tidak terlalu baik baginya. Dan satu kesempatan sekecil apa pun harus bisa dia manfaatkan sebaik mungkin.
"Baiklah." Akhirnya dia mengalah.
"Setuju?" Lina meyakinkan.
"Baik." Camelia menganggukkan kepala.
"Kau gadis yang pintar!" pujinya kepada sang artis, dan dia segera merundingkan kesepakatan untuknya.