"Atas nama Camelia Abigail, sekali lagi saya minta maaf, Pak." Lina mengulang permintaan maafnya kepada Junno yang baru selesai ditangani oleh perawat di ruang Unit Gawat Darurat.
Bekas cakaran di rahangnya ditutup plester dan sebuah kompresan dingin menempel di pipinya.
Junno belum menjawab, dia hanya merasakan benda dingin yang mengompres wajah bagian kirinya itu.
"Pak, saya mohon. Semoga Bapak tidak membawa masalah ini ke jalur hukum. Saya akan memberikan apa pun yang Bapak butuhkan agar ...."
"Tutuplah mulutmu! Kau ini berisik sekali!" Akhirnya Junno buka suara.
"Pipiku masih sakit sekarang ini, kau tidak lihat?" katanya dengan nada kesal.
"Ummm ...."
"Malas sekali aku harus mengurusi masalah tidak penting seperti ini. Kau pikir aku punya banyak waktu?" Dia menekan kantung es lebih keras dan sesekali melirik ke arah blankar di mana Camelia masih belum sadarkan diri.
"Lebih baik kau urus artismu itu agar tidak berulah dan pergi ke sembarang tempat sendirian. Dia itu penantang bahaya atau apa?" katanya, kemudian menatap Lina.
"I-iya, Pak. Akan saya ingat." Perempuan berkacamata itu menganggukkan kepala.
"Apa dia terluka?" Junno bertanya.
"Tidak, Pak. Hanya mabuk."
"Haih ... bagaimana bisa dia masuk ke tempat seperti itu sendirian lalu mabuk? Dasar perempuan!" Pria itu bergumam kemudian bangkit.
"Bapak butuh sesuatu? Biar saya bawakan ...." Lina bermaksud menghalangi Junno yang menghampiri Camelia seraya melepaskan jaket kulitnya.
"Ya, tentu saja." Lalu pria itu menyampirkan benda tersebut pada bagian bawah tubuh Camelia yang terbuka.
"Kenapa perawat tidak memberikan dia selimut? Bisa berbahaya kan?" gumamnya yang kemudian melenggang ke arah luar.
"Sudah selesai?" Ketiga rekannya yang berada di ruang tunggu bangkit bersamaan.
"Tentu saja sudah, memangnya apa yang akan aku lakukan?" Junno menjawab dengan wajah yang masih tampak kesal.
"Aku pikir kau dapat jahitan untuk luka cakarnya, jadi ...." Adam sedikit tertawa.
"Memangnya yang mencakarku itu singa sampai-sampai lukanya harus dijahit? Yang benar saja." Junno memutar bola matanya.
"Kau benar, hahaha. Jadi kita akan langsung pulang?" Rama menambahi.
"Memangnya kau masih mau di sini? Aku sih tidak. Masih ada hal berguna untuk dilakukan malam ini." Mereka melangkah beriringan melewati selasar menuju keluar bangunan rumah sakit, sementara Lina hanya memperhatikan dari belakang.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan?" Batin mensejajarkan langkah mereka.
"Tidur. Apa lagi? Memangnya Adam yang menemani istrinya menonton sinetron?"
"Apa katamu? Aku tidak suka menonton sinetron. Mana sempat?" Adam menyanggah ucapan rekannya tersebut.
"Alah, kalau tidak menonton bagaimana kau bisa hafal jika perempuan mabuk itu adalah Camelia Abigail?" tukas Junno.
"Sudah aku katakan karena istriku yang sering menunjukkannya kepadaku."
"Ya, sampai kau hafal."
"Tunggu, sebenarnya kalian ini sedang membicarakan siapa?" Rama menengahi perdebatan dua temannya.
"Perempuan itu." Mereka tiba di pelataran parkir.
"Yang barusan itu?" Rama membuka kunci mobilnya.
"Ya, siapa lagi? Memangnya kau lihat selain dia yang menyerangku tanpa alasan?" Junno pun melakukan hal sama.
"Memangnya siapa dia?"
"Kau juga tidak tahu dia siapa? Camelia Abigail? Artis sinetron?" Adam menjawab.
Rama dan Garin saling tatap kemudian sama-sama menggelengkan kepala. "Aku jarang nonton tivi jadi tidak tahu hal-hal seperti itu. Lagipula tivi di rumahku didominasi kartun dan acara anak. Bagaimana bisa aku tahu soal artis?"
"Aku juga." Garin menimpali.
"Hahaha, kau bapak-bapak pecinta sinetron ya? Menggelikan." Rama tertawa.
"Buka!" sanggah Adam lagi. " Aku hanya tahu karena istriku yang mengidolakannya, itu saja."
"Baiklah, baiklah. Benar juga tidak apa-apa, hahaha." Mereka tertawa.
Kemudian setelah beberapa saat keempatnya memisahkan diri untuk pulang ke kediaman masing-masing.
***
"Kau keterlaluan, Mel!" Pagi-pagi sekali Lina sudah berceramah begitu mengetahui jika Camelia sudah bangun.
Perempuan itu tampak linglung akibat pengaruh alkohol yang semalam dia tenggak dalam jumlah banyak.
"Kenapa aku di sini, Lin?" katanya sambil memijit kepalanya yang agak nyeri.
"Kau mabuk dan mengamuk di The Sky, kau tidak ingat?"
Camelia memutar otaknya untuk mengingat.
"Kau minum terlalu banyak sehingga membuat kekacauan. Kau bahkan memukuli orang tak dikenal."
"Apa?"
"Hah, percuma saja aku ingatkan." Lina menarik tasnya kemudian menghubungi sopir yang menunggu di depan.
"Pakai jaket itu, dan cepat kita pulang." katanya kepada Camelia yang masih tertegun.
"Jaket?" Perempuan itu menatap jaket kulit berwarna hitam yang tersampir di ujung blankar.
"Semalam aku tidak membawa jaket."
"Itu punya orang, nanti kita harus mengembalikannya."
"Si-siapa?"
"Orang yang kau serang. Untung dia memaafkanmu, kalau tidak, bisa habis kau dituntut atas penyerangan. Mana sepertinya mereka orang militer lagi?"
"Umm ... mereka?"
"Yang kau serang hanya satu orang, tapi dia dengan temannya tiga orang. Kalau dijadikan saksi jelas akan sangat memberatkamu. Untung saja mereka tidak mau memperpanjang masalah."
"Lalu keadaannya bagaimana?" Camelia antusias.
"Tidak apa-apa, hanya mengalami luka cakaran di wajahnya."
"Astaga!"
"Makanya jangan bertindak sembarangan. Ingat kau ini publik figur yang tidak bisa pergi ke mana pun sendirian. Apalagi dengan kondisi sekarang ini, sebenarnya apa maumu?" Lina menyandarkan bokongnya pada blankar.
"Lebih baik diam dulu sampai keadaan membaik dan rumor soal kedekatanmu dengan Pak Bima mereda. Baru kau bisa bersosialisasi lagi seperti biasa. Bersabarlah!" Dia melipat kedua tangannya di d**a.
"Tapi aku suntuk." Camelia mengusap wajahnya yang masih tersisa make up bekas semalam.
"Aku tahu, tapi bagaimana lagi? Keadaanmu yang seperti ini rentan diserang media, kau tahu? Reputasimu sedang dipertaruhkan dan semuanya bisa saja hancur dalam sekejap. Kau mau?"
"Keadaan sekarang saja sudah sulit, lalu jika aku hancur bagaimana ...." Camelia meremat jaket kulit yang dia raih.
"Makanya, dengarkanlah aku. Disini aku sedang berusaha untuk memulihkan kondisimu agar setidaknya bisa stabil. Tidak hanya jalan di tempat."
Camelia terdiam.
Terbayang jika karirnya benar-benar hancur, maka bagaimana dengan ibu dan kedua adiknya? Mutiara bahkan baru saja mendaftar dan sudah bisa dipastikan mereka akan berhenti di tengah jalan jika itu terjadi.
Tidak mungkin! Hatinya bergumam.
"Ayolah kita pulang, mumpung masih subuh. Sehingga tidak akan ada wartawan yang melihatmu ada di sini. Bisa heboh dunia gosip jika itu terjadi." Lina menatap jam di ponselnya yang baru menunjukkan pukul tiga dini hari.
***
"Apa yang kau lamunkan?" Suara Bima membuat Camelia terlonjak kaget, namun pria itu buru-buru memeluknya yang tengah melamun di dekat jendela kamarnya.
"Bapak kapan datang? Kenapa saya tidak mendengar?" Perempuan itu menatap pintu yang tertutup rapat.
"Baru saja."
"Umm ... pekerjaan Bapak sudah selesai?" Lalu dia beralih ke wajah pria itu yang hampir satu minggu tak ditemuinya.
"Untuk minggu ini ya." Bima mengeratkan pelukan kemudian mengecup pundak terbuka Camelia yang hanya mengenakan crop top sebagai atasan.
Dia merasa senang karena bisa bertemu lagi dengan perempuan itu setelah berjibaku dengan pekerjaannya.
"Ibu sedang keluar kota, atau ke luar negri?" Camelia sedikit terkekeh.
"Kenapa kau bertanya soal itu?" Bila tampak tak senang.
"Karena biasanya begitu."
Pria itu terdiam menatap wajah cantiknya yang tidak membosankan. Malah semakin dipandang terlihat semakin cantik saja.
Alisnya yang begitu rapi, mata bulat dengan maniknya yang berwarna kecoklatan, hidungnya yang sedikit mancung dan jangan lupakan bibirnya yang begitu menggoda. Membuatnya selalu ingin menikmatinya setiap kali mereka bertemu.
"Maaf aku tidak membalas pesanmu." katanya yang melonggarkan pelukan.
"Kenapa minta maaf?" Camelia terkekeh. "Memang biasanya begitu kan? Tidak ada yang salah. Saya hanya sedang kesepian waktu mengirim pesan itu, jadi ...."
"Aku dengar kau terlibat keributan di club??" Bima melepaskan perempuan itu kemudian sedikit memberi jarak untuknya.
"Bapak tahu dari mana?" Dan Camelia memutar tubuh sehingga kini mereka berhadapan.
"Oh, pasti dari Lina ya? Dia melapor?"
"Memangnya siapa lagi? Itu kan memang pekerjaannya."
Camelia memutar bola matanya, sementara Bima hanya tersenyum. Dia kembali mendekat kemudian menarik perempuan itu.
"Sudah aku katakan untuk tidak berulah, mengapa kau tidak mendengar?" Pria itu menyentuh wajahnya.
"Saya tidak berulah." Camelia menjawab.
"Lalu apa yang kau lakukan minggu lalu di dua club terkenal? Kau tahu apa yang akan terjadi jika tercium media? Kita berdua akan hancur." Bima setengah berbisik.
Bibir Camelia berkedut seolah banyak hal yang ingin dia ucapkan.
"Jadilah gadis yang baik dan jaga sikapmu di luar sana, sehingga tidak akan menyukitkan kita nantinya." Pria itu menunduk kemudian mengecup bibir Camelia sekilas. Lalu di detik berikutnya dia menarik dan menghempaskan tubuh seksinya ke atas tempat tidur.
Dia melucuti pakaian mereka berdua kemudian segera menerjangnya tanpa basa-basi.