03: Cincin Pernikahan

1217 Kata
PART 03: CINCIN PERNIKAHAN Ini memang bukan pertama kalinya keluarganya Dirga makan semeja bersama dengan keluarganya Keenan, tapi kecanggungan itu tetap tidak bisa dielakkan setelah insiden kaburnya Viona di hari pernikahan. Semua orang menyantap sarapan mereka dalam diam, yang membuat Muezha tidak tahan, dan ingin cepat-cepat menyelesaikan acara makannya. "Nanti sore aku akan membawa Muezha pergi ke Bali." Aksa membuka suara setelah mengelap bibirnya menggunakan tisu, menandakan jika dia sudah selesai sarapan. "Oh, jadi kau mau langsung pergi honeymoon? Itu ide bagus,” kata Tiara dengan nada santai, yang membuat Muezha langsung tersedak nasi gorengnya. Anita yang duduk berdekatan dengan Muezha, segera menyodorkan segelas air putih pada putrinya sembari menepuk-nepuk punggungnya dengan pelan. "Bukan." Aksa sengaja menjeda ucapannya, sehingga semua mata yang ada di meja itu menatapnya dengan penuh keheranan. Kecuali Muezha, ia terlihat lega. "Tapi, aku akan membawanya untuk tinggal di sana." Kali ini semua orang langsung terkejut dengan ucapan Aksa barusan. Karena dia sendiri yang membuat keputusan ini, bahkan Muezha juga baru mengetahui. "Aku tidak setuju." Dirga langsung bereaksi. "Muezha akan tetap tinggal di sini, bila perlu tetap serumah bersama kami." "Tidak bisa, Pa. Dia harus ikut denganku." Aksa tampak bersikeras, dan menatap Dirga dengan pandangan tak suka. Dirga menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu aku tidak akan mengizinkanmu membawa putriku." Tiara bolak-balik mengamati mereka berdua dengan wajah khawatirnya. "Tanpa izin darimu pun, aku akan tetap membawanya pergi bersamaku." Aksa mengedikkan bahu acuh tak acuh, dan mengambil setangkup sandwich yang ada di tengah meja, lalu menggigitnya dengan santai. Dirga terlihat marah, tapi Anita langsung menenangkannya, dan mengusap bahunya dengan pelan. Aksa membalas tatapan tajam yang Dirga layangkan padanya dengan tak kalah tajam. Ia terlihat tak gentar. Sedangkan Keenan hanya diam saja, dan kembali melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda. Melihat suasana yang mulai mencekam, Muezha akhirnya angkat bicara. Ia tidak menyukai pertengkaran, apa lagi saat sedang berada di meja makan. "Aku akan ikut dengan Aksa, Pa." Dirga kembali terkejut. Ia tidak menyangka kalau Muezha akan menyetujui keputusan Aksa ini. Demi Tuhan! Perasaannya tidak enak. "Papa tenang saja, aku pasti akan baik-baik saja selama tinggal di sana." Muezha mencoba tersenyum, meski ia tidak yakin dengan ucapannya sendiri. "Ya, Dirga. Kau tenang saja. Aku yakin putraku ini pasti akan menjaga Muezha dengan baik selama mereka tinggal di sana." Tiara tersenyum lebar ke arah semua orang. Anita kembali mengusap bahu suaminya, dan berbisik pelan tepat di samping telinganya. "Bagaimanapun, Muezha sekarang sudah menjadi istrinya Aksa. Jadi, sudah sewajarnya dia ikut bersama suaminya." Dirga hanya mampu menghela napas panjang, karena ia tidak bisa berbuat apa-apa agar Muezha tetap tinggal. Setelah kepergian Viona, kini giliran Muezha yang akan pergi meninggalkannya. Jujur saja, Dirga merasa tidak rela. *** Akhirnya Aksa dan Muezha sampai di tempat tujuan sekitar jam sembilan malam. Muezha mengernyit begitu melihat bangunan mewah di hadapannya. Jadi, mereka akan tinggal di sebuah villa? Namun, ia tidak berani menyuarakan pertanyaannya, dan mulai berjalan menyusul Aksa yang sudah melangkah duluan untuk masuk ke dalam, membiarkan beberapa pelayan yang memindahkan koper mereka. Begitu melihat Aksa menaiki anak tangga, Muezha malah berhenti melangkah, dan tampak kebingungan. Nyaris lima belas menit ia tertahan di dekat tangga, hingga salah seorang pelayan datang menghampirinya. "Nyonya, perkenalkan saya Summi. Kepala pelayan di sini." Summi tersenyum. "Ayo, saya antar ke kamarnya Tuan Aksa. Karena hari sudah malam." Muezha berjalan bersama Summi, menuju ke kamarnya Aksa. Tetapi Summi hanya mengantarnya sampai di depan pintu saja, sehingga wanita itu mengetuk daun pintu dengan ragu-ragu setelah Summi pamit dan berlalu. "Masuk!" Muezha langsung tersentak kaget. Kemudian membuka pintu di hadapannya, dan mulai melangkah masuk ke dalam. Ia melihat Aksa yang sudah rebahan di atas ranjang dengan mata terpejam. Entah kenapa, ia malah berjalan dengan perlahan-lahan agar suara langkah kakinya tidak terdengar, dan membuat Aksa terganggu karena ulahnya. Meski ia sudah kelelahan dan hari juga sudah malam, ia memutuskan untuk tetap mandi sebelum pergi ke alam mimpi. Sekitar sepuluh menit kemudian, Muezha sudah keluar dari kamar mandi dengan piama bermotif polkadot miliknya. "Aksa." Salah satu telunjuk tangannya bergerak, menusuk-nusuk bahu Aksa dengan pelan. "Aksa." "Ada apa?!" bentak Aksa. Dalam keremangan kamar, ia bisa melihat dengan jelas kalau rambut Muezha masih setengah basah. Dan Muezha langsung menarik tangannya saat itu juga. "Aku ingin meminjam handphone-ku sebentar." "Aku harus menelepon Mama sekarang." Ia segera melanjutkan ucapannya sebelum Aksa menuduhnya macam-macam. Sejak di bandara Soekarno-Hatta, Aksa memang telah menyita handphone-nya Muezha. Karena ia tidak ingin wanita itu berhubungan dengan siapa-siapa, terutama Viona. Kecuali orang tuanya. Itu pun harus mendapatkan izin darinya. "Jangan terlalu lama." Aksa segera menyerahkan ponsel yang diambilnya dari dalam laci nakas. Muezha hanya menganggukkan kepala, dan mulai menurunkan kakinya dari atas ranjang. Ia melangkah ke arah balkon kamar. Lalu terpana begitu melihat pemandangan yang ada di sana. Ada hamparan pantai yang membentang indah di depan matanya, dan di bawah balkon kamarnya terdapat sebuah kolam renang yang luas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Aksa memiliki villa sebagus ini di Bali. Begitu ia menghidupkan data seluler di ponselnya, ia langsung membaca semua pesan w******p yang Kavi kirimkan. Ia benar-benar merasa bersalah karena tadi pagi ia telah memutuskan pria itu secara tiba-tiba, melalui pesan singkat pula. Sehingga ia langsung mengirimkan balasan. To Kavi: Sorry, Kavi. Mulai sekarang, tolong jangan hubungi aku lagi. Karena semua yang kau dengar itu memang benar, aku sudah menikah dengan Aksa. Lalu, ia pun memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat saja kepada ibunya, karena ia tidak ingin sang Ibu mengetahui tentang kesedihannya. To Mama: Ma, aku sudah sampai di Bali dan aku akan menelepon besok pagi. *** Setelah melakukan tour singkat bersama salah seorang pelayan untuk mengetahui seluk beluk villa milik Aksa, Muezha segera melangkahkan kakinya ke arah meja makan yang berada di dekat kolam renang. Aksa sudah duduk di sana sambil membaca koran, dan sesekali menyesap teh hangatnya. Tidak ada obrolan di antara mereka berdua, dan Muezha langsung memakan Omelette yang tersedia setelah menyemprotkan saus ke atas piringnya. Tak lama berselang, Aksa mulai melipat korannya, dan menaruh benda itu ke atas meja. Tatapan matanya menyorot ke arah Muezha. "Mulai hari ini, kau harus memasak, membersihkan kamar, dan mencuci pakaian." Muezha mendongak, membalas tatapan yang Aksa berikan padanya. "Oh, ya, kau juga yang harus menjemur pakaiannya." Aksa melanjutkan. “Hmm, oke." Muezha menganggukkan kepalanya setelah terdiam cukup lama. Aksa tampak tersenyum puas sambil bergumam, "Bagus." Sebelum Muezha kembali menyuapkan Omelette ke dalam mulutnya, ia segera menyuarakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Aksa, kalau boleh tahu, sampai kapan aku harus menjadi penggantinya Viona?" Aksa yang sedang membaca email di layar ponselnya, langsung membeku seketika. Lalu ia pun berdeham pelan, dan membalas tatapannya Muezha. Mereka hanya bertukar tatap untuk beberapa saat ke depan. "Sampai Viona ditemukan," jawab Aksa tak lama kemudian. Muezha hanya mengangguk pelan, dan kembali menyantap Omelette-nya dalam diam. Sedangkan Aksa masih mengamati Muezha, dan belum juga memalingkan wajahnya. "Dimana cincin pernikahanmu? Kenapa kau tidak memakainya?" tanya Aksa dengan nada tajam. Muezha menoleh kaget ke arah Aksa. "I—itu." Ia berdeham singkat. "Cincinnya agak kebesaran, jadi aku memutuskan untuk menyimpannya saja." "Alasan." Aksa mencibir pelan. "Kalau kau punya akal, kau bisa melilitkan benang di sana." Muezha hanya bisa menundukkan wajahnya. Aksa benar, seharusnya ia melilitkan benang di cincinnya. Sedetik kemudian, ia menggeleng pelan, cincin itu bukan miliknya, tapi milik Viona. Karena itulah ia memutuskan untuk menyimpannya saja. Karena selain cincin itu memang kebesaran di jari manisnya, ia juga merasa tidak berhak untuk memakainya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN