PART 02: MALAM PERTAMA
Sekitar jam dua belas malam, Aksa baru menyelesaikan acara resepsi pernikahannya sambil menggerutu pelan karena banyaknya tamu yang datang. Tenaganya benar-benar terkuras, dan ia merasa lelah. Bahkan kedua matanya pun, terasa mengantuk berat. Ia ingin cepat-cepat tidur sekarang.
Saat keluar dari lift, ia langsung melepas jasnya, dan mengendurkan dasi yang mulai terasa mencekik lehernya.
Begitu sampai di dalam kamar pengantin yang awalnya telah dipersiapkan untuk dirinya dan Viona, ia langsung melempar jas, serta dasinya ke atas sofa. Dan ia tidak mendapati Muezha di atas ranjang. Padahal wanita itu sudah meninggalkan acara resepsi pernikahan sejak jam sepuluh malam bersama ibunya. Seharusnya dia sudah tertidur di atas ranjang. Tapi, dimana dia sekarang? Bahkan di kamar mandi pun, dia tidak ada.
Aksa mulai menggeram kesal. Rasa lelah dan kantuknya tadi telah hilang entah kemana, yang ada hanya kemarahan karena ia tidak mendapati Muezha dimana-mana. Apa wanita itu juga sedang mempermainkannya seperti Viona? Kalau iya ... berani-beraninya dia!
Aksa segera keluar dari kamar dengan langkah lebar.
Tepat saat ia sudah ada di depan pintu kamar, salah seorang office boy yang kebetulan lewat, langsung memberanikan diri untuk menyapanya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Apa kau melihat Muezha?"
Tentu saja OB itu mengenal Muezha, karena wanita itulah yang tadi siang menikah dengan anak pemilik hotel tempatnya bekerja.
"Kalau tidak salah, Ibu Muezha tadi masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai bawah, Pak."
Aksa langsung melangkah cepat menuju ke dalam lift. Ia mengerti lantai bawah yang dimaksud, karena beberapa anggota keluarga yang akan menginap malam ini, sudah diberi kamar masing-masing. Dan semuanya berada di lantai 17, termasuk kedua orang tuanya. Sedangkan kamar pengantinnya terletak di lantai 18. Ia bersumpah kalau dirinya akan menggeret Muezha dari sana, dan membawanya ke dalam kamar pengantin mereka.
Cukup Viona saja yang menginjak-injak harga dirinya. Ia tidak akan membiarkan Muezha melakukan hal serupa.
Mulai sekarang, ia tidak akan pernah menatap Muezha sebagai calon adik iparnya yang harus diperlakukan dengan baik layaknya seorang adik. Karena kini, wanita itu sudah ia jadikan sebagai objek balas dendamnya terhadap kesalahan fatal yang Viona lakukan.
Lagi pula, ia tidak yakin kalau Muezha tidak tahu apa-apa tentang rencana kaburnya Viona. Karena ia tahu kalau hubungan kedua kakak-beradik itu sangat dekat. Jadi, mustahil jika Muezha tidak membantu kakaknya.
Setahu Aksa, sejak kemarin Muezha sudah menginap di dalam kamar yang terletak tepat di samping kamarnya Dirga dan Anita. Sehingga ia langsung melangkah ke sana, dan menggedor-gedor pintunya. Ia tidak peduli jika gedorannya ini bisa membangunkan seluruh anggota keluarga yang juga menempati kamar di lantai 17.
Untungnya, pintu itu segera terbuka dari dalam sebelum penghuni kamar lain mulai menegur aksi bar-barnya barusan.
***
Muezha langsung terbangun dengan wajah setengah mengantuk, karena benar-benar merasa terganggu. Lalu, ia turun dari atas tempat tidur sembari mengeratkan ikatan tali kimononya.
Begitu pintu sudah terbuka, ia mendapati Aksa yang berdiri dengan raut wajah marah, ia tidak menyangka kalau pria itu akan mendatanginya.
"Ikut aku sekarang!" Aksa merebut sebelah tangannya secara tiba-tiba.
"Aksa, aku—" ucapannya terputus begitu saja, dan ia tidak mampu menahan langkah kakinya. Karena Aksa sudah menarik tangannya dengan cukup keras, sehingga ia berjalan di sepanjang koridor dengan langkah kaki yang terseok-seok tanpa menggunakan sandal.
Muezha benar-benar tidak menyangka kalau Aksa akan melakukan hal sekasar ini padanya. Bahkan pria itu juga menghempaskan tubuhnya ke dinding lift yang dingin, hingga punggungnya terasa sakit dan ia langsung meringis.
"Jangan coba-coba untuk mempermainkanku, Muezha. Atau kau akan tahu akibatnya," ucap Aksa dengan nada tajam, yang membuat Muezha langsung ketakutan di tempat dengan debaran jantung yang menggila.
Dalam hati, Muezha mulai bertanya-tanya. Benarkah pria yang sedang berdiri bersamanya ini adalah pria yang selama ini ia kenal? Yang dulu sering melemparkan senyum tipis, dan terkesan ramah terhadap dirinya. Kenapa dia tampak berubah? Bahkan auranya sekarang terlihat begitu menyeramkan.
Dan Muezha yakin kalau semua ini ada sangkut pautnya dengan kekacauan yang telah dibuat oleh Viona. Ia mengerang dalam hatinya, kenapa harus ia yang terkena getahnya? Padahal ia tidak bersalah.
Begitu sampai di dalam kamar yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan kelopak bunga mawar di beberapa bagian, Muezha hanya berdiri di dekat tembok tak jauh dari pintu kamar. Ia tahu jika ini adalah suite room pribadi milik Aksa. Jadi, ia merasa sungkan. Dan rasa kantuknya pun sudah menguap sejak ia melihat wajah marah yang Aksa tampilkan di depan pintu kamarnya.
"Mulai sekarang, kau harus tidur bersamaku."
"Kenapa?" tanya Muezha dengan suara pelan. Kemudian membekap mulutnya, karena ia refleks menyuarakan pertanyaannya barusan.
Sedangkan Aksa yang sedang membuka kancing kemejanya, langsung menoleh dengan wajah kesal. "Karena kau adalah istriku!"
Ia kembali memunggungi Muezha sambil melepaskan kemejanya, dan membuangnya begitu saja. Lalu masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Muezha seorang diri.
Setelah Aksa tidak terlihat lagi, Muezha baru berani bergerak dari posisinya saat ini. Ia langsung memungut kemeja dari atas lantai, disusul dengan jas, dan dasi yang ada di atas sofa. Ia menaruh kemeja dan dasi itu ke dalam keranjang pakaian, lalu menggantung jasnya menggunakan hanger. Ia juga menyingkirkan kelopak bunga mawar dari atas ranjang. Lalu duduk di atas sofa, dan menunggu Aksa di sana, karena ia ingin mencuci kakinya sebelum naik ke atas tempat tidur gara-gara tidak sempat memakai sandal.
Muezha berdeham canggung saat melihat Aksa keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit pinggangnya ke bawah, dan ia langsung masuk ke dalam kamar mandi begitu Aksa sudah berjalan ke arah lemari pakaian. Ia hanya membasuh wajah sekaligus mencuci kakinya, dan ia sengaja berlama-lama di sana supaya Aksa tidur duluan.
Namun, apa yang ia harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Karena Aksa tampak menunggunya di atas ranjang dengan wajah kesal yang sangat kentara.
"Apa yang kau lakukan di dalam sana?!"
Muezha berjengkit kaget. "Aku hanya mencuci kaki, sekalian buang air." Padahal, ia sama sekali tidak buang air.
Aksa hanya mendengkus. Ia hampir saja mendobrak pintu kamar mandi jika saja Muezha tidak segera muncul.
"Tidur sekarang, dan jangan coba-coba untuk kabur."
"I—iya, Aksa."
Muezha segera naik ke atas ranjang dengan posisi paling ujung. Sebenarnya ia merasa takut kalau Aksa akan kembali memaksanya. Jika tadi siang saja pria itu bisa memaksanya untuk menikah, tidak menutup kemungkinan kalau malam ini pria itu juga akan melakukan hal yang sama.
Muezha bergidik ngeri saat membayangkan Aksa yang memaksa ingin dilayani olehnya.
Lantaran tidak bisa tidur, Muezha lantas mencari-cari ponselnya di atas nakas, bermaksud untuk merecoki Kavi seperti biasanya. Karena itulah kebiasaannya. Tapi ... Oh ya ampun! Ia melupakan Kavi, dan tidak menemukan benda yang ia cari.
Ia turun dari atas ranjang dengan hati-hati. Karena ponselnya tertinggal di kamar sebelumnya, dan ia bermaksud untuk mengambilnya di sana.
Namun, ia tidak menemukan kartu akses yang tadi diletakkan Aksa di atas meja tak jauh dari pintu kamar.
"Mencari ini, hmm?"
Muezha langsung berpaling ke arah Aksa yang duduk di atas ranjang dengan kartu akses di tangannya, lalu menganggukkan kepala. "Aksa, ponselku ketinggalan. Aku harus mengambilnya sekarang."
"Untuk apa kau mengambil ponselmu? Menghubungi Viona?"
Muezha segera menggeleng. "Bukan. Aku harus—"
"Kembali ke tempat tidur sekarang! Ini perintah, dan aku sedang tidak ingin dibantah."
"Tapi—"
Aksa menatap Muezha dengan tatapan membunuhnya. Sehingga mau tidak mau, wanita itu tetap melangkahkan kakinya ke atas ranjang, dan kembali berbaring di sana.
Muezha mengusap wajahnya dengan pelan, ia tahu kalau hidupnya tidak akan mudah.
*****