Jadi misi ini mengharuskan dia menjadi asisten pribadi seorang CEO? Delisha menatap pria di bawahnya dengan tatapan sangsi. Pria itu tidak terlihat berwibawa ataupun arogan seperti pembawaan seorang CEO seharusnya. Ia pria yang ramah dan cengar-cengir gembira seperti pria yang mabuk cinta. Seorang playboy.
Tubuh Delisha menindih Imdad Hussain di lantai, di antara rak-rak tinggi penuh berkas dan sebuah tangga. "Kenapa aku harus jadi asisten pribadimu?" tanya Delisha ketus sambil menegakkan tubuhnya. Dia duduk di antara kaki Imdad Hussain. "Kurasa kamu tidak kekurangan orang di sini."
"Ah!" Imdad berseru putus asa. Ia menarik kakinya untuk duduk dan melirik paha mulus Delisha yang terekspose jelas. Wanita di India biasa mengenakan bawahan yang menutupi kaki jenjang mereka. Imdad berpikir wanita itu akan tampak lebih memesona dalam balutan sari atau gamis dengan selendang dupatta. Cadar tipis dan selendang bersulam emas menutupi kepalanya, dia akan terlihat sangat cantik.
"Apa kau berpikir aku akan menjadikanmu pelayanku, memarahimu karena hal sepele dan menyuruhmu melakukan hal-hal yang tidak perlu sebagai alasan agar kau bisa terus bersamaku 24 jam penuh?"
Delisha melayangkan tatapan tajam padanya.
"Ya, ampun, aku tidak sekonyol itu," kata Imdad sambil terkekeh geli. Pikiran wanita memang aneh-aneh. "Dengan menjadi asisten pribadiku, kau akan punya akses penuh ke seluruh aset Xin India bahkan rekan-rekan mereka. Posisi sebagai asisten pribadi menjadikanmu tangan kananku," kata Imdad sambil menatap balik wanita di depannya.
Pernyataan Imdad itu menutup kecurigaan Delisha tetapi dia masih berusaha menjaga jarak dengannya. "Kamu yakin tidak ada niat lain?"
Imdad mencondongkan wajahnya kepada Delisha. "Kalau yang kau khawatirkan aku akan mencuri ciuman darimu atau membuatmu jatuh dalam pelukanku ...," ia berhenti sesaat dan wajah wanita di depannya merengut kesal, "seharusnya akulah yang harus mengkhawatirkan diriku," lanjutnya.
Delisha mencondongkan tubuhnya kebelakang, khawatir pria itu semakin dekat dengannya. "Apa yang kau inginkan?"
"Kau wanita dengan sejuta daya tarik," ujar Imdad lagi, "aku khawatir diriku yang tak bisa menahan diri jika dekat denganmu."
"Apa kamu baru saja mengakui kau tertarik padaku?" Delisha berujar meremehkan. Pria satu ini murahan dan mudah ditebak!
"Aku pria normal dan aku tak ada alasan untuk menyembunyikannya," ujar Imdad blak-blakan. "Kurasa aku pria yang terus terang. Aku tidak menyukai kesalahpahaman. Jika kau tidak suka, kau bisa langsung bilang, maka aku akan berhenti menyukaimu. Jadi, aku tidak membuang-buang waktu dan tenagaku." Ia banyak memikirkan wanita ini setelah mereka bertemu dan ia tidak ingin berlarut-larut dalam angan-angan hampa.
Delisha mendengus kesal. Pria aneh. Pria India yang aneh. Apa mereka semudah itu mengungkapkan perasaan? Lalu setelah ditolak, mereka akan mencari orang lain semudah membalikkan telapak tangan? Pria gampangan! maki Delisha dalam hati.
Dengan cepat Imdad mendekatkan wajahnya ke depan hidung Delisha. "Katakan saja, Nona! Kau menyukaiku, atau tidak? Jika kau tidak menyukaiku, maka aku akan menjauh," ujarnya. Delisha bisa mencium aroma aftershave-nya. Aroma hangat dan sensual, perpaduan mint dan rempah-rempah. Anehnya detak jantung Delisha bertambah cepat. Dia menjadi berdebar-debar.
Delisha segera menyibak pria itu dari hadapannya sebelum dia melakukan tindakan bodoh lagi, memakan pria itu hidup-hidup. "Aku tidak suka lelucon semacam ini, Tuan Imdad!" ujar Delisha sambil berdiri. Imdad yang tengah duduk di lantai terdorong ke rak sehingga rak tersebut bergoyang dan kotak di atasnya terjatuh menimpa kepala Delisha.
Brukk!
"Kyaah!!" Delisha terpekik dan harus menundukkan badan mengantisipasi kardus yang menimpanya. Sepatu berhak 7 senti yang dikenakannya membuat goyah dan dia jatuh lagi ke badan pria di bawahnya. "Aaahh, tidaaaak!!"
Suara derap kaki mendekat.
"Nona Marianne, Anda tidak apa-apa?" tanya Pooja yang memasuki ruang berkas. Di belakangnya mengikuti beberapa rekan kerja dan mereka semua tercenung melihat pemandangan di ruang berkas itu.
Wajah Delisha terbenam di leher Imdad Hussain, telak sekali, ditambah pergerakan tubuhnya yang kikuk karena mengenakan rok mini dan sepatu berhak, seolah dia mencumbui pria itu. Pria di bawahnya, setengah berbaring mengerang seolah menahan sakit.
"T-tuan Imdad ...?" Pooja bergumam ragu.
"Oh, ... hai!" sapa Imdad sambil melambaikan tangan pada karyawannya dan tersenyum lebar. Sementara wanita di dadanya menepuk wajahnya sendiri sambil memaki pelan. "Sialan!"
Pooja dan karyawan lainnya salah tingkah dan tak tahu harus berbuat apa. Sedetik kemudian mereka mundur teratur, keluar dari ruang berkas meninggalkan boss mereka dan asisten pribadi barunya berduaan.
Delisha mendorong d**a Imdad dengan kasar. "Mulai saat ini, jangan dekat-dekat aku lagi!!" bentaknya.
"Apakah ini salahku?" Imdad membela diri. Mereka terus menerus dipertemukan dan berada dalam posisi intim seperti dua kutub magnet yang berbeda, menempel karena gaya tarik menarik.
"Berengsek!" maki Delisha pelan pada dirinya sendiri. Dia segera berdiri dan keluar dari ruang berkas.
Imdad menyisir rambut dengan jarinya dan mendesah lelah. Wanita memang susah dimengerti. Entah bagaimana nantinya ia bisa bekerjasama dengan wanita macam Marianne ini. Wanita aneh yang hobinya menyalahkan orang lain. Ia geleng-geleng kepala lalu bangkit dari lantai.
Ketika ia hendak bangkit, wanita itu masuk lagi ke ruang berkas dengan tergesa-gesa, menatapnya tajam seperti musuh bebuyutan. "Barang-barangku!" ujarnya ketus sambil meraup beberapa map berkas serta ponselnya di meja kerja.
"Satu hal lagi!" seru Imdad tegas, menghentikan langkah Delisha. "Tinggal di apartemen Vijay Sharma tidak pantas bagi wanita dengan posisi penting sepertimu. Aku mengerti kau mungkin tidak menyukai suasana di India dan sulit beradaptasi, karenanya aku menawarkan kau tinggal di kediamanku saja. Tidak seberapa, tetapi setidaknya kau bisa mengatur segala sesuatunya sesuai keinginanmu dan sebagai tuan rumah, aku akan berusaha mengakomodasinya."
Laki-laki ini rupanya mendapat segala informasi dari anak buahnya. Delisha mendengus angkuh. "Tidak sudi!" ucapnya sambil berlalu dari hadapan Imdad.
Terserahlah! Bahu Imdad menurun lesu. Ia membuka ponsel dan mengirim pesan teks pada nomor Nona Marianne. Setidaknya wanita itu punya nomor kontaknya, terserah saja mau dipengapakan olehnya.
***
Bersambung ....