Night 13: Wildest Dream°

826 Kata
Should the regret be there or should it stop I can't understand a thing I've melted in the sky today ~Udi Teri Aankhon – Guzaarish~ * Mata cokelat Imdad Hussain menatap ke dalam mata jernih wanita di kungkungannya. Ia menunggu tanda apakah ia dapat melanjutkan atau harus berhenti. Kilasan panik tergambar dalam pupil mata cokelat wanita yang tak diketahui namanya itu. Wanita itu mendorongnya dan bangkit dari sofa, tetapi tangannya menangkap, enggan melepaskannya. Imdad terbaring ke sofa dan tubuh wanita cantik itu jatuh ke dadanya. Rambut panjang mengibas membelai wajahnya. Delisha mengernyitkan kening dan menatap tajam pada pria di bawahnya. Lengannya dicengkeram kuat oleh pria itu. Dengan posisi dirinya berada di atas, Delisha seharusnya bisa melepaskan diri. Dia berusaha menjauh dari Imdad, tetapi pria itu tetap menahannya. "Jika kau tidak melepaskanku, aku akan berteriak dan mengatakan pada semua orang bahwa kau melecehkanku!" ancam Delisha. Imdad terperangah. Bukankah situasinya sebaliknya? Mau tak mau Imdad melonggarkan pegangannya dan membiarkan wanita itu berdiri. "Bukankah setidaknya aku berhak mendapatkan penjelasan? Aku merasa dimanfaatkan di sini," gumam Imdad heran. Ia duduk menyandar ke sofa dengan kaki terbuka lebar. Selangkangannya menjadi sesak karena suatu hal. Delisha merapikan rok dan blazernya, memasang kacamata hitam lalu menyisir rambutnya dengan jari. Dia melirik pada Imdad melalui bahunya. "Terima kasih!" seru Delisha. "Itu tadi ciuman yang menyenangkan," ujarnya lalu menggamit tas dan pergi dari ruangan itu dengan langkah mantap dan penuh percaya diri. "Apa?" Imdad bergumam pada dirinya sendiri. Tidak percaya akan hal yang baru saja dialaminya. "Menyenangkan? Itu saja? Apa ciumanku seburuk itu?" ujarnya lagi sambil mengusap bibirnya yang masih berasa manis wanita itu. Delisha berlari kecil melintasi halaman panti menerobos gerimis hujan menuju mobil. Dia membuka pintu depan dan duduk di balik kemudi. "Sialan! Sialan!" gumam Delisha memaki dirinya sendiri. Vijay yang tengah tidur-tiduran di kursi belakang agak terkejut dan heran melihat kelakuan nona satu itu, tetapi ia memilih diam. Delisha menggigit-gigit bibirnya yang setelah beberapa menit masih terasa berdenyut bengkak karena berciuman. "Ya Tuhan!" desahnya. Kakinya menggelinjang berusaha menepis rasa lemas bekas berahi. Luar biasa. Ciuman pertamanya bukan kecupan ringan seperti yang dibayangkannya. Namun langsung ciuman panas, dalam dan lama, membuat sesuatu dalam tubuhnya menggelenyar dan sukar dikendalikan. Jika dia tidak kabur, dia khawatir tidak bisa berhenti dan mereka akan berakhir memalukan di ruang perpustakaan itu. "Ah, berengsek! Berengsek!" maki Delisha lagi. Dia memaki untuk kesekian kali menghentikan dirinya membayangkan hal-hal yang lebih liar lagi. Tak mengherankan jika seseorang sudah merasakan rangsangan seperti itu, mereka lupa diri dan ingin lebih. Delisha memutar kunci menyalakan mobil. "Mm ..., Nona, bukankah seharusnya aku yang menyetir?" tanya Vijay ragu. "Kali ini aku saja," jawab Delisha tegas. "Kau istirahatlah di belakang," lanjutnya sambil mulai menjalankan mobil. Vijay goyang-goyang kepala tanda setuju lalu duduk dengan santai di kursi penumpang. Lumayan, ia bisa kembali beristirahat. Sedangkan Delisha, butuh sesuatu untuk menyibukkan pikirannya. Membuatnya memikirkan hal lain selain pikiran liar yang membawanya menjelajah ke wilayah yang tak pernah didatanginya. Dia sering mengandaikan bercinta dengan orang asing di tempat asing. Mabuk dan tak sadarkan diri, lalu bangun dalam dekapan seseorang yang tak dikenalnya dan berpura-pura mengalami seks yang hebat. Hal-hal liar seperti yang dibacanya di n****+-n****+ roman. Dia tadi hampir melakukannya dan dia bisa saja melakukannya. Ah, rasanya dia menyesal meninggalkan pria itu begitu saja. Entah kenapa dia melakukannya, meninggalkan pria itu, menyia-nyiakan kesempatan emas mewujudkan mimpi terliarnya. Apakah takut atau karena malu? Haruskah dia membuat dirinya mabuk dulu? Ya, lalu tak sadarkan diri dan arwah gentayangan merasuki tubuhnya, melakukan hal-hal aneh. Mungkin dia tidak akan bangun di ranjang bersama pria tampan, tetapi bangun di tumpukan sampah atau peti mati seseorang. "Ah, bodoh!" Dia merutuk sendiri. Sebelah alis Vijay terangkat mendengarnya. Sepertinya ia bakalan terbiasa mendengar nona itu bicara sendiri. "Aku ini seorang agen! Agen!" gumam Delisha sambil memutar setir mengikuti alur jalan. Untungnya jalur di luar kota sedang lengang. Dia bisa mengemudi santai dengan kecepatan stabil. Sebagai seorang agen dan dalam misi rahasia, dia tidak berhak memiliki perasaan. Romantisme tanpa melibatkan hati, diperbolehkan. Dua jam menyetir, mereka tiba kembali di Kota ND. Delisha mencari hotel lain melalui aplikasi ponselnya. Namun setelah beberapa hotel yang dikunjungi, tidak ada yang sesuai seleranya. Ada yang terlalu kotor dan terlalu ramai. Delisha tentu saja tidak akan mengatakan alasan sebenarnya pada siapa pun. Malam merangkak naik. Dia dan Vijay sudah kelelahan setelah seharian di perjalanan. Delisha di kursi kemudi menoleh ke belakang dan bertanya pada Vijay. "Tuan Vijay, di mana kau tinggal?" "Di Parnapuri, Nona. Apartemen kecil," jawab Vijay antusias. "Aku akan mengantarmu pulang," ujar Delisha sambil kembali menyetir. Begitu tiba di kawasan Parnapuri, Delisha turut mengantar Vijay sampai ke depan pintu apartemennya. Ketika pria itu membuka pintu, dia menyempatkan menilik ke dalam. "Kau tinggal bersama siapa?" tanya Delisha sambil mengitarkan pandangan ke sekitarnya. "Sendirian, Nona. Kenapa?" "Well, Tuan Vijay ..., tampaknya aku akan merepotkanmu lagi. Malam ini aku tidur di tempatmu," kata Delisha sambil masuk lebih dulu ke dalam apartemen Vijay, sementara pria itu membeku di ambang pintu. Segampang itu? Pikirnya. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN