*
Delisha terbangun dalam keadaan tengkurap di ranjang apartemen Maya. Rambutnya yang acak-acakan menutupi sebagian pandangannya. Tampak dari balik tirai jendela matahari sudah terang. "Tak pernah kusangka ternyata di apartemen ini banyak arwah gentayangannya," gumam Maya yang tengah berdiri di dekat ranjang. Dia menatap sedih pada Delisha.
"Memangnya kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Delisha sambil berbalik dan mengusap pipinya karena sepertinya dia mengeluarkan liur saat tidur.
"Kau beruntung aku ada di sini menjagamu." Maya berujar dengan tangan terlipat di da.da. "Beberapa arwah penasaran mencoba memasuki tubuhmu."
"Oh, ya?" sahut delisha lesu, dia duduk di tengah ranjang dengan kepala sakit.
"Kau harus berterima kasih padaku. Hantu Nyonya Ayodia itu hobinya membiarkan binatang menjilati k*********a, sedangkan Tuan Jaya suka makan dari sampah dan Nyonya Lela suka merayu laki-laki bujangan. Kau bisa mengira sendiri apa yang bakalan terjadi pada dirimu jika mereka merasukimu."
"Aku tidak perlu berterima kasih. Kau yang membuatku begini. Kau minum terlalu banyak!" tuding Delisha pada hantu penari perut itu. "Kau juga memanfaatkan tubuhku. Aku sudah membawamu keluar dari Golden Star, kau yang harusnya berterima kasih padaku! Apa kau mau jadi benalu di tubuhku? Dasar benalu!"
Maya terbelalak dengan mulut terbuka menahan marah padanya. "Ah! Uhh!" Hantu itu berseru kesal tetapi memilih tidak berkata apa-apa.
"Teleponmu juga berbunyi terus," ujar Maya kemudian. Delisha mengambil ponselnya dari dalam tas yang tergeletak di sofa. Ada 10 panggilan tak terjawab dari nomor 'siapa lagi kalau bukan' CEO Xin India, Imdad Hussain. Delisha sedang memikirkan alasan apa yang harus dibuatnya ketika ponsel di tangannya bergetar. Dia mendeham beberapa kali lalu menjawab telepon itu.
"Iya, halo?"
Suara seorang pria langsung memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. "Marianne, di mana kamu? Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak mengangkat teleponku? Kau tidak pulang, kenapa tidak memberi kabar terlebih dahulu? Bibi sangat mencemaskanmu! Kau tidak tahu betapa rawannya wanita berjalan-jalan seorang diri di India." Kedengarannya pria itu yang mencemaskannya, bukan Bibi.
Delisha agak ragu menjawab. Imdad dan anak buahnya menguasai IT, mereka bisa melacak keberadaanya. Delisha tidak bisa berbohong. "Ngng .. aku pergi minum dan sepertinya agak mabuk, jadi aku tidak berani pulang ...."
"Kau mabuk?!" Delisha merasa seperti baru saja terpergok berbuat me.sum oleh ayahnya.
"Aku minum sedikit, kurasa akan berbahaya jika aku menyetir ...."
"Di mana kau sekarang?"
"Di rumah teman ..."
"Beritahu alamatnya, akan kukirim seseorang ke sana!"
Imdad mengirim orang, bukan ia sendiri yang menjemputnya. Apakah pria itu sedang sibuk? Ah, tidak mungkin ia sempat menelepon jika sibuk. Pasti karena pria itu berada di luar kota. "Uhmm, tidak usah, aku sudah tidak mabuk lagi, aku akan pulang sendiri. Aku ini sudah dewasa, Tuan Imdad, boleh saja ‘kan sesekali aku mabuk dan menginap di rumah teman?" Delisha merutuk dirinya sendiri setelah berkata demikian. Bodoh sekali ‘kan kedengarannya? Seperti anak remaja yang baru belajar memberontak.
Agak lama tak ada sahutan. Delisha juga tak berani bersuara.
"Ooh ...," seloroh pria itu di telepon. "Aku hanya tidak menyangka kau punya teman di India."
Delisha komat-kamit memaki dirinya sendiri tanpa suara. "T-t-tentu saja aku punya!" sahutnya ketus.
"Temanmu itu, laki-laki apa perempuan? Namanya siapa?" cecar Imdad. Pria itu memang selalu ingin tahu.
"S-s-sudah! Kututup teleponnya, aku akan pulang secepatnya!" Delisha panik sendiri lalu segera memutus panggilan masuk dan mengetok-ngetok kepalanya sendiri dengan ponsel.
"Pacarmu?" tanya Maya dengan mata menyipit.
"Bukan!!" sanggah Delisha dengan wajah merah padam. Dia bergegas ke kamar mandi.
"Hm? Mencurigakan."
***
Sementara itu di sebuah kamar vila di luar kota, Imdad Hussain berdiri dekat jendela memandangi layar ponselnya yang baru saja menggelap. Kemejanya berada di luar pinggang celana dan kancingnya terbuka sebagian menampilkan da.da bidangnya. Seorang wanita muda berambut panjang hitam cantik jelita dengan mata abu-abu hanya berbalut handuk putih keluar dari dalam kamar mandi.
"Ada apa, Imdad?" tanya wanita itu penasaran melihat pria yang baru saja menghabiskan malam dengannya tampak terpaku pada ponsel.
Imdad menyimpan ponselnya ke saku celananya. "Hanya urusan pekerjaan" jawab Imdad sambil memutar badan menghadap wanita itu. "Salah satu pegawaiku sakit mendadak jadi ada yang harus menggantikannya keluar kota." Ia melangkah mendatangi wanita itu dan menangkup wajah cantik tanpa make up dengan tangannya yang besar. "Jangan khawatir, mere jaan," ujarnya lagi sambil menatap ke dalam mata wanita itu "Urusan apa pun, tidak akan menggaggu kebersamaan kita." Lalu ia melumat bibir kemerahan wanita itu dengan lahap. Sang wanita tertawa geli ketika handuknya jatuh ke kakinya dan mereka berpelukan erat.
Pada saat yang sama di ruang kerja Devdas Star Tailes di Hotel Golden Star. Pemuda tampan itu tampak berkerut keningnya. Ia duduk setengah berselonjor di kursi kerja dan menatap keluar jendela. Sinar matahari dari luar menerangi ruangannya. Sepanjang malam ia tidak tidur, hanya duduk terpekur, menunggu dengan waswas hasil pencarian anak buahnya mengenai identitas Marianne Webster. Sesuatu tentang wanita itu membuatnya tak tenang. Seolah ia mesin jet dengan kekuatan penuh dan bahan bakar tanpa batas, siap meluncur, tetapi tak tahu harus menuju ke mana.
Matanya bergerak menyeret tajam ketika seorang pria bernama Sanjay yang merupakan asisten pribadinya memasuki ruangan dan meletakkan sebuah map kulit hitam di depannya. "Ini informasi yang kami peroleh mengenai Nona Marianne Webster, Tuan!" ujarnya sambil berdiri tegap di depan meja.
Secepatnya Devdas membuka map tersebut dan bola matanya bergerak lincah membaca isinya.
"Nona Marianne Webster tiba di India seminggu yang lalu. Dia masuk ke India melalui perbatasan Tibet. Sebelum ke India rupanya Nona Marianne melakukan safari di Pegunungan Himalaya," ujar Sanjay menjelaskan hal yang tidak tertera di berkas. "Hari pertama di India dia menginap di hotel ini, namun pergi mendadak karena tidak betah dengan kamarnya ... bahkan menghancurkan barang-barang," lanjutnya agak ragu, "tetapi dia mengganti rugi barang yang dirusaknya, bahkan kemarin datang lagi untuk makan di restoran hotel ini."
Devdas tidak peduli hal sepele macam itu. Ia membaca biodatanya, umurnya, jenis kelaminnya, tinggi dan berat badannya, warna kulitnya, rasnya dan warna matanya. Cokelat. Ia menatap lekat foto passport wanita itu. Lekukan di kedua pipinya yang terbentuk walaupun dia cuma tersenyum di foto. Ia hanya perlu melihat wajahnya, selanjutnya ia bisa membayangkan tubuh mulus dan lekukan indahnya. Ia tetap mengingatnya seperti baru kemarin meskipun 250 tahun telah berlalu. Pertama kali ia melihatnya ketika wanita itu berendam, setengah berbaring di sungai kecil dan sinar matahari menerpa membuat seluruh tubuhnya yang basah berkilauan.
Rambut panjangnya basah, ujungnya terendam air dan bergerak mengikuti arus sungai. Lututnya menyembul dari permukaan air, begitu juga separuh dadanya. "Siapa kau di sana dan kenapa kau mengintipku mandi, dasar manusia burung ca.bul!!" tegur wanita itu dan membuat Devdas yang bertengger di batang pohon yang menjorok ke sungai terjatuh ke air. Devdas saat itu berwujud manusia dengan pakaian putih dilengkapi ornamen emas dan perak serta sayap putih besar di pundaknya, terlalu terkejut sehingga dia lupa terbang dan melawan gaya gravitasi bumi.
"K-k-kau ... bisa melihatku?" tanya Devdas terheran-heran. Ia setengah berdiri bertumpu dengan satu lutut di air. Ia tak tahu apakah ia pernah menginjakkan kaki di tanah. Seingatnya itu yang pertama, karena untuk pertama kalinya ia beradu pandang dengan mata cokelat indah itu. Pertama kalinya mata manusia menatap balik matanya. Pertama kalinya ia melihat manusia yang bisa melihatnya.
"Tentu saja, aku bisa melihatmu," kata wanita itu dan suara lembutnya merasuk ke dalam sukmanya. "Aku memiliki mata yang sangat unik." Pertama kalinya seorang wanita bicara padanya. Wanita itu merangkak mendatanginya dan tangannya terjulur meraih wajahnya. "Kau sangat tampan dan bercahaya," ujar wanita itu penuh kekaguman meneliti wajahnya.
Itu pertama kalinya seorang manusia menyentuh wajahnya sedemikian rupa dan manusia itu seorang wanita, ujung jarinya yang lembut menelusuri wajahnya membuat tubuh Devdas merasakan sensasi yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Sebagaimana sebelumnya ia tidak pernah memperhatikan ia punya jantung atau tidak, kali ini ia bisa merasakan debaran kuat dari dalam dadanya.
Tatapan wanita itu berpindah ke sayap di punggungnya. "Kau bukan berasal dari dunia ini," gumam wanita itu "Dari mana asalmu?"
"Dan dia bekerja di Xin India, sebagai akuntan baru perusahaan itu." Perkataan Sanjay memecahkan lamunan Devdas. Ia menatap tajam pada pria itu. "Xin India??"
"Ya, betul sekali, Tuan. Xin India, pimpinan CEO Imdad Hussain."
“Berengsek! Kenapa harus Imdad Hussain lagi?!” Devdas mengepalkan tangan hingga kuku-kuku menggali telapaknya. Suara tinju membentur meja membuat Sanjay terperanjat dan bergidik gugup. Belum pernah ia melihat Bosnya segeram itu karena seorang wanita.
***
Setelah mandi dan sarapan ala kadarnya di apartemen Maya, Delisha menuju rumah sakit Kota ND untuk menjenguk Vijay. Dia bersyukur pria itu sudah baikan walaupun masih diinfus karena masih dalam masa penyembuhan. Kata dokter yang merawatnya, pria itu bisa pulang besok. Di sana dia bertemu dengan Sunil, rekan Vijay. Sunil khawatir menjalankan misi sendirian karena ia terbiasa bekerja bersama Vijay.
"Bagaimana kalau aku saja yang menemanimu, Tuan Sunil?" anjur Delisha.
"Jangan, Marianne-ji!" ujar Sunil dan Vijay bersamaan. "Anda kan utusan dari Xin Pusat, kami tidak ingin merepotkan Anda ...."
Delisha terperangah "Apa?? Karena aku orang Pusat jadi kalian lebih suka aku ongkang-ongkang kaki, begitu?"
"Bukan begitu, Marianne-ji. Lagipula misi kali ini misi yang terlalu mudah."
"Apa?? Karena mudah jadi kalian tidak mau aku turun tangan? Kalian menyepelekan aku, ya? Apa kalian lupa, posisiku di sini sebagai Asisten Pribadi Tuan Imdad, jadi aku berhak mengambil keputusan sama seperti CEO kalian itu."
Vijay dan Sunil saling pandang lalu menatap pasrah pada Delisha. "Haan, Marianne-ji. Baiklah kalau begitu. Anda akan pergi bersama saya."
Delisha mengangguk-angguk puas. "Ehm, memangnya misi kali ini apa yang akan kita lakukan?"
"Kita akan melakukan pengintaian."
"Oh ...Siapa?"
"Tuan Imdad, Marianne-ji. Kita akan mengintai kencan Tuan Imdad."
***
Delisha tiba di kediaman Imdad Hussain dan mengeluarkan dua buah koper besar dari dalam mobil. Koper itu berisi barang-barang Maya yang ingin dibawa hantu itu bersamanya. Hantu itu berpikir siapa tahu dia akan mengenakan gaun-gaun mewah jika diperlukan. Mungkin maksudnya di saat dia tak sadarkan diri, maka hantu wanita itu ingin pergi bersenang-senang. Ada-ada saja!
Mood Delisha berubah drastis menjadi buruk setelah mendengar misi yang akan dijalankannya. Kencan? Pria itu rupanya suka bersenang-senang dan ena-ena sendiri mentang-mentang ia seorang CEO.
Dia mengemas barang di kamar, memasukkan beberapa setelan lapangan ke dalam tas ranselnya juga beberapa item keperluan lainnya. Dia diam sebentar untuk merunut lagi barang-barang yang harus dibawanya jika ke lapangan. Dia kurang satu benda. Senjata.
Delisha teringat saat di ruang kerja Imdad Hussain, ada yang terasa janggal di ruangan itu. Tanpa membuang-buang waktu ia menuju ruang kerja dan memperhatikan kondisi ruangan itu dengan seksama. Kecurigaannya jatuh kepada rak buku besar di ruangan itu. Ada tuas rahasia di rak itu yang berguna menggeser rak buku. Rak buku bergeser dan menampilkan sebuah pintu metal dilengkapi panel kode rahasia.
Sebagai manusia masa depan, Delisha memiliki pengetahuan yang mumpuni soal kunci dan segala jenis perangkat keamanan berteknologi. Dia membuka ponselnya. Ponselnya adalah ponsel dengan model masa lalu, tetapi perangkat dalamnya adalah buatan tahun 2034. Dia mendekatkan ponselnya dan sistem aplikasi mendeteksi passcode bilik rahasia itu. Hanya beberapa detik, hasil kerja ponsel itu menampilkan 7 digit angka dan ketika dia memasukkan kode tersebut maka bilik itu terbuka. Berbagai senjata tersusun rapi di dalamnya. Delisha mengambil beberapa yang diperlukannya dan dia menyengir sambil menajamkan sebuah belati.
"Fhufhufufuhuhu ...," suara tawa jahat Delisha. Huh, Imdad Hussain, akan kukelupas kau sampai ke sumsum tulangmu!