Night 29: Baby, I'm Home!

1728 Kata
* "Ah, berengsek!" maki Delisha pada dirinya sendiri sambil menyetir, menyadari efek anggur yang telah diminumnya, membuatnya agak bersemangat. Dia berharap kesadarannya masih penuh untuk dapat mengendalikan setir. Jika terjadi sesuatu, dia akan berurusan dengan polisi karena mengemudi di bawah pengaruh minuman keras. Hantu Maya dan Sharmila yang secara harfiah 'menempel' pada tubuhnya duduk di kursi penumpang belakang. Istilah menempel di sini maksudnya energi negatif dari arwah kontak dengan energi positif dari manusia yang masih hidup sehingga terjadi aliran energi di antara keduanya. Jika manusia tidak tahan, maka tubuhnya melemah dan merasakan berbagai keluhan seperti sakit, mual, pusing, pingsan, bahkan kerasukan. Saat itu, Delisha merasa gelisah, karena dia membawa serta hantu Sharmila yang bertahun-tahun terjebak dalam ketakutan, rasa sakit dan putus asa. "Kamu baik-baik saja?" tanya Maya pada Delisha. Maya duduk sambil memegangi Sharmila, agar arwah gadis itu tidak lepas darinya. "Aku baik-baik saja," jawab Delisha lesu. Pundaknya mulai terasa pegal dan dia harus ekstra konsentrasi pada jalanan. Untungnya Apartemen Parnapuri tidak terlalu jauh. Dalam 10 menit mengemudi, mereka tiba di sana. Keluar mobil mengenakan kacamata hitamnya, Delisha memasuki gedung apartemen itu dan tiba di koridor Lantai 2 tempat biasanya hantu ibu Sharmila menunggu. Hari masih siang, beberapa orang lalu lalang di koridor tersebut. Delisha melihat hantu wanita bersweter putih tulang berdiri di sana, tertunduk sedih. Delisha tentu saja pura-pura menelepon untuk bicara dengan hantu wanita itu. "Apa kabar, Nyonya?" Wanita itu menatapnya. "Lihat ini! Siapa yang kubawa?" Mata hampa hantu wanita itu mendadak berubah berbinar seolah ada cahaya kehidupan di sana ketika melihat sosok hantu yang mengiringi Delisha. "Anakku!!" pekiknya girang. "Amma!" pekik hantu Sharmila sambil berlari dan mendekap ibunya. Seketika aura sendu dan tertekan dari kedua hantu itu sirna. Mereka tampak berseri-seri seperti manusia hidup, mengenakan pakaian yang bersih dan terseyum ceria. Dari mata mereka, mengalir air mata bahagia. "Akhirnya kau pulang! Aku sangat mengkhawatirkanmu, Anakku!" ujar ibu Sharmila sambil memeluk dan menciumi wajah anaknya berkali-kali. Mereka telah terpisah selama 10 tahun. Namun bagi arwah gentayangan, perasaan mereka terperangkap dalam momen di mana mereka paling terpuruk, biasanya saat terakhir kehidupan mereka. Jadi, perpisahan 10 tahun itu terasa baru kemarin bagi kedua ibu dan anak itu. "Akhirnya kita bisa bersama dengan tenang, meskipun harus dalam kehidupan seperti ini." Dia terdengar satire, tetapi tampak gembira. "Terima kasih, Marianne-ji!" ungkap ibu Sharmila sambil mendekap pundak anaknya. Wajah mereka berdua terlihat tenang dan auranya sejuk menyenangkan. Delisha mengangguk sambil tersenyum pada mereka. "Sama-sama, kalian juga telah membantuku," ujarnya. "Bagaimana kabarnya wanita yang mengguna-gunai Vijay?" "Dia menjadi tertekan belakangan ini, sering berteriak-teriak sendiri dan kadang keluar rumah dengan busana tak karuan. Kurasa dia menjadi gila," terang ibu Sharmila. "Oh!" seru Delisha singkat. Dia tak bisa berkomentar apa-apa tentang hal itu. "Jadi, ke mana kalian akan pergi?" tanya Delisha pada hantu ibu dan anak itu. "Ke tempat yang lebih baik tentunya. Tak ada alasan lagi bagi kami untuk tinggal di sini," kata hantu wanita itu. Dia dan anaknya saling mendekap dan melambaikan tangan pada Delisha sambil tersenyum lebar, lalu perlahan-lahan menguap disertai butir-butir debu berkilauan. Delisha tersandar di dinding dengan kaki lemas dan napas berat. Awalnya dia merasa lega melihat arwah kedua orang itu sudah tenang, tetapi ketika menyadari kondisi tubuhnya yang melemah, dia jadi khawatir. Energinya seolah terkuras dan kesadarannya menurun karena pengaruh minuman beralkohol. "Marianne, kamu tidak apa-apa?" tanya Maya di depannya. "Aku ... baik-baik saja ..." sahut Delisha lemah dan matanya nanar menatap Maya yang tampak semakin kabur. Dia tersandar tak sadarkan diri. Maya yang semula tampak khawatir, kali ini tersenyum lebar. Inilah kesempatan yang ditunggunya. Dia segera memasuki tubuh Delisha dan menyatu dengan jasad tersebut. Delisha yang semula lemah tak berdaya, sekarang berdiri tegak, tersenyum manis dan matanya mengerling ceria. "Kurasa ini saatnya aku pulang ke rumah." Dia bergumam sendiri sambil mengedikkan pundaknya dengan anggun. Kacamata hitam menghiasi wajah cantiknya, tas sandang dan pakaian yang modis dilengkapi sepatu hak tinggi, wanita itu berjalan mantap dengan pinggul berayun. Orang-orang menatapnya dengan tatapan takjub, terpesona pada wanita itu. Hanya dari caranya membawa badan berjalan, orang-orang bisa melihat bahwa dia bukan wanita biasa. Dia wanita yang memesona dan dikagumi banyak orang. Dialah, Maya, sang Aktris. Delisha tiba di sebuah gedung apartemen mewah bernama Trident Tower. "Selamat siang, Ashok!" sapa Delisha pada penjaga pintu depan gedung tersebut. "Selamat siang, Nona …." Pria tinggi besar bernama Ashok itu tercenung heran melihat wanita muda yang lewat di depannya. Dia tidak mengenali wanita itu dan yang biasanya menyapanya dengan nama Ashok hanya Nona Maya, yang sudah sebulan ini tak terlihat lagi di apartemen. Delisha memasuki lift dan membalik tubuhnya, menyempatkan melambai pada Ashok sebelum pintu lift tertutup. Dia menekan Lantai 21 dan memasukkan passcode apartemen. Lift tiba di Lantai 21, tepat di pintu depan apartemen nomor 21 milik Maya. Dia memasukkan passcode lagi di pintu lalu masuk ke dalam. Apartemen dengan interior mewah menghadirkan perpaduan warna-warna kayu dan corak-corak etnik yang unik pada beberapa sisi dindingnya. Perabotan menampilkan warna-warna berani seperti merah, jingga dan hijau terang. "Baby, I'm home!" seru Delisha sambil melempar tas dan sepatunya ke tengah ruangan, merentangkan tangannya lalu menari berputar-putar dan tawanya membahana. "Ah, menyenangkan sekali bisa hidup kembali!" serunya girang. Dia menatap dirinya sendiri di cermin besar di dinding ruang tengah dan mendekati pantulannya. "Beruntung sekali wanita ini wajahnya cukup cantik," ujarnya lagi sambil meneliti wajah Delisha di cermin. "Jadi tidak ada masalah bagiku untuk memikat pria dan bersenang-senang." Sengiran tercentang di wajahnya. Tiba-tiba matanya redup menatap tajam dan dingin. Dia teringat wajah Devdas Star Tailes saat pria itu membunuhnya. Wajah yang sangat tampan, memesona dan mendesah berat saat pria itu mencapai puncak orgasmenya. Namun sekilas menatapnya dengan pandangan jijik. Dia kembali menatap wajah di cermin dan memiringkan kepalanya. Wanita ini, batinnya, bukan karena kecantikannya yang semula dikhawatirkan akan membuat Devdas Star Tailes tertarik. Ada sesuatu yang pasti sangat berarti bagi Devdas sampai-sampai harus berlari mengejar wanita ini. Dan melihat wajah pria itu teriritasi saat mobil mereka meninggalkan hotel, membuatnya senang sekaligus, entah kenapa, cemburu. Matahari sudah condong ke ufuk barat. Delisha, yang dalam kendali Maya, memanjakan dirinya dengan mandi berendam dalam bak penuh busa, menyesap sampanye dan melemaskan tubuh sambil menikmati iringan musik klasik. Setelahnya, dia mengenakan jubah mandi dan mengisi gelas dengan sampanye lagi. Bel pintu depannya berbunyi. Dia memeriksa melalui monitor kamera pengaman. Tampak Ashok bersama dua orang pria setengah baya yang dikenali Maya sebagai Aajay, ayahnya, dan Boney, pengacaranya. "Ah, bagus sekali!" Dia berseru ketus lalu menenggak seluruh isi gelasnya. Delisha bergegas mengenakan pakaiannya semula, lalu membukakan pintu. Bel sempat berbunyi beberapa kali. "Ya, Tuan-tuan? Ada yang bisa saya bantu?" sapa Delisha di ambang pintu. "Uhm, permisi, Nona, kami dari pihak keluarga Maya, pemilik apartemen ini ...," ujar Aajay. Raut cemas menghiasi wajah pria itu dan dalam hati Maya merasa iba padanya. "Oh, iya, Anda pasti ayah Nona Maya, hmm, silakan masuk, Tuan-tuan!" Delisha mempersilakan Aajay dan Boney duduk di ruang tamu yang dilengkapi sofa berwarna merah serta karpet warna kuning pasir. Dia sendiri duduk di seberang mereka. "Kebetulan sekali Anda berkunjung kemari, Tuan-tuan!" seru wanita itu dengan penuh wibawa. "Saya memang mendapat instruksi untuk menghubungi Anda dari Nona Maya, hmm, atau yang sekarang Nyonya Maya Star Tailes ...," ujarnya mengindikasikan kebenaran gosip yang beredar. Aajay dan Boney saling pandang. "Perkenalkan, saya Marianne, utusan dari CEO Star Tailes untuk mewakili Nyonya Maya menyelesaikan urusan-urusannya." Delisha mengulurkan tangan dan berjabat tangan dengan kedua pria itu. "Ungng, begini, Nona ...." "Seperti yang Anda semua ketahui, Tuan-tuan," potong Delisha. "CEO Devdas sangat tertutup soal kehidupan pribadinya. Ia orang yang dermawan, tetapi jika menyangkut kehidupan pribadi, ia hanya punya satu aturan. Dirinya sendiri. Begitu Nyonya Maya masuk ke dalam lingkarannya, maka Tuan Devdas tidak suka ada yang mempersulitnya. Saya ingatkan, Tuan-tuan, Anda tidak akan mau membuat CEO kami merasa kesulitan karena ... ia bisa membuat Anda bahkan tidak bisa menjejakkan kaki di tanah lagi. Dan saya tidak mengada-ada soal itu, Tuan-tuan. Anda tidak perlu mengalami sendiri untuk tahu bahwa CEO Devdas tidak pernah main-main dengan siapa pun. Nyonya Maya sudah menjadi milik Tuan Devdas Star Tailes dan jangan pernah Anda mengusiknya atau bahkan mencoba menghubunginya lagi.” Kedua pria di depannya menelan ludah tercekat. Demi Tuhan, Maya hanya ingin orang-orang, termasuk ayahnya, mengenangnya sebagai aktris sukses dan memiliki kehidupan sempurna serta menjadi istri pria yang paling diinginkan di dunia. Bertahun-tahun dia membina karir, bukan untuk tercatat dalam sejarah menjadi salah satu korban pembunuh berdarah dingin berkedok wajah malaikat. Apalagi jika mereka mengetahui apa yang terjadi dengan jasadnya, uhh, dia tidak sanggup hidup lagi di dunia ini maupun kehidupan berikutnya. "Jadi, ini!" seru Delisha sambil menyerahkan sebuah map ke depan pria-pria itu. "Nyonya Maya menyerahkan seluruh asetnya pada keluarganya. Tuan Devdas sudah memberikan semua yang diinginkannya, jadi dia tidak memerlukan sepeser pun dari harta ini." Dalam map itu terdapat beragam sertifikat dan surat berharga lainnya serta tulisan tangan Maya yang menyatakan pelepasan kepemilikannya atas semua asetnya. Tanah, apartemen, mobil, deposito dan beberapa aset berharga lainnya. "Kurasa urusan lainnya bisa kalian selesaikan sendiri." Aajay dan Boney saling pandang. Sepertinya tak ada yang bisa mereka perbuat lagi di tempat itu. "Hmm, baiklah, Nona," ujar Aajay sambil mengambil map itu, "kalau Anda tidak keberatan, Nona, sampaikan pada Maya, bahwa saya sebagai ayahnya, turut bahagia dan mendoakan yang terbaik bagi kehidupannya. Semoga dia bahagia bersama Devdas Star Tailes." Maya, dalam tubuh Delisha, ingin sekali menangis dan mendekap pria itu, tetapi apa daya, tubuhnya bukan tubuhnya lagi. Dia hanya menumpang. Dia sekarang hanya makhluk halus tak kasatmata. Jika dia menampakan diri di depan ayah dan pengacaranya, para pria ini mungkin akan lari pontang-panting. Lagipula itu akan membongkar rahasia yang berusaha ditutupinya. Setelah kedua pria itu pergi, tubuh Delisha berlutut di lantai dan menangis sesenggukan. Wajahnya memerah dan air mata membasahi pipi. Punggung tangannya mengusap air mata berulang-ulang. Sesaat kemudian Delisha berhenti menangis, wajahnya merengut lalu berdiri tegak. "Sudah puas menggunakan tubuhku, Maya?" tanya Delisha sambil menatap dingin roh Maya yang tengah berlutut di lantai. Hantu itu menangiskan air mata hitam. Maya mengangguk cepat. Delisha mengusap sisa air mata di wajahnya sendiri lalu bergegas menuju cermin dengan langkah goyah. Dia menatap penampilannya. Habis menangis dan mabuk. Dia jarang minum sehingga toleransi tubuhnya terhadap alkohol sangat rendah. Tidak mungkin dia menyetir pulang dalam keadaan seperti ini. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini," ujarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN