Night 15: Friends°

852 Kata
I have started to become friends with dark and empty nights Lost in these path, nothing belongs to me anymore ~Tujhe Bhula Diya -- Anjanaa Anjanii~ * "Aku tahu kau kemari pasti ingin bertemu dengan CEO Devdas Star Tailes," kata Si Penari Perut itu. Delisha pura-pura tidak mendengar perkataannya. Dia sibuk membolak-balik majalah ekonomi bisnis yang kebetulan isinya membahas Star Corp dan CEO-nya. "Sebaiknya kau jangan menemuinya," kata Si Penari Perut itu lagi. "Ia pria yang sangat berbahaya!" Sekarang makhluk ini bermaksud memperingatkannya? Setelah sebelumnya berusaha mengambil alih tubuhnya? Delisha mengetahui pasti manusia jauh lebih berbahaya daripada makhluk yang sudah mati. Namun tetap saja dia harus mewaspadai keduanya. "Aku mati karena dibunuhnya!" ujar wanita itu lagi dengan penuh emosi. Delisha masih tidak bereaksi padanya. "Kami semua di sini mati dibunuhnya!" Tubuh Delisha membeku. Sekian banyak arwah penasaran dan mereka semua mati dibunuh Devdas Star Tailes? "Tuan Vijay, kau berjaga di depan pintu saja. Jangan biarkan ada yang masuk tanpa seijinku, okay?" titah Delisha tanpa menoleh pada Vijay. "Baik, Nona!" sahut Vijay lalu ke luar ruangan dan menutup pintu rapat-rapat. Delisha menutup majalah lalu bersandar ke sofa dengan santai dan menatap hantu si Penari Perut. "Bagaimana kau bisa tahu aku ingin bertemu dengan CEO Star Corp?" tanya Delisha padanya. Si Penari Perut melompat girang turun dari lengan sofa dan menghempaskan dirinya ke sisi Delisha. "Semua pria dan wanita yang datang ke sini ingin bertemu dengannya," katanya bersemangat. "Ia pria yang sangat menarik, semua orang suka padanya." "Ah!" Delisha mendesah ketus. Informasi dari hantu ini tidak bermakna. Tadinya dia berpikir hantu ini akan memberitahunya rahasia penting. Berpura-pura acuh tak acuh akan memancing hantu itu bicara lebih banyak. "Ia seorang psikopat!" kata Si Penari Perut lagi. Seseorang yang psikopat biasanya tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga banyak di antara mereka yang melakukan hal tak bermoral, bahkan kriminal, tanpa penyesalan dan rasa bersalah. Namun, tak semua psikopat adalah pembunuh berdarah dingin. Seorang psikopat tidak dapat membentuk hubungan emosional maupun memiliki rasa empati dengan orang lain, meskipun sering kali mereka memiliki kepribadian yang hangat bahkan memesona. Delisha tidak terkejut mendengarnya. Seseorang dengan latar belakang dan penampilan yang 'terlalu sempurna' memang cenderung memiliki kelainan psikologis. "Jadi?" "Dia menjadikan pria dan wanita yang datang padanya b***k seks, lalu dibunuh sebagai pelampiasan akhir." "Kau ingin aku percaya itu?" Delisha menaikkan keningnya. "Girl, aku sudah memperingatkanmu, jadi jangan menyesal kalau kau mati kemudian menjadi seperti kami!" ujar si Penari Perut itu kesal. "Apa buktinya?" "Aku buktinya! Kami semua buktinya!" Si Penari Perut itu mencak-mencak. Delisha menurunkan kacamatanya dan menatap hantu itu. "Haruskah aku mencantumkan hantu sebagai barang bukti?" "Ah!" Si Hantu merengek kesal. Dia sudah memahami keadaan. "Tak ada barang bukti. Mereka membersihkannya dengan sangat teliti." "Heh, sepertinya sia-sia saja bicara denganmu ...," keluh Delisha. "Kamarnya!" seru hantu itu antusias. "Kecuali kau berada di kamarnya, maka kau akan tahu semuanya." Delisha diam menunggunya melanjutkan. Hantu itu bersedih. Dia memunggungi Delisha dan bahunya terturun. "Tetapi dengan berada di sana, akan sangat berbahaya. Kau bakalan mati dibunuhnya.” "Kenapa kau bisa jadi seperti sekarang?" tanya Delisha heran. "Aku tidak tahu, waktu itu aku belum mengetahuinya. Jika aku tahu lebih dulu, kau pikir aku akan berakhir begini?" jawabnya ketus. "Aku terlalu naif. Kukira aku akan bisa menaklukannya. kau tahu, tak ada laki-laki yang tak tunduk padaku. Aku punya semua yang kuperlukan untuk menaklukan lelaki mana pun." "Seorang psikopat tidak akan merubah diri mereka demi apa pun, kau harusnya tahu itu," ujar Delisha prihatin. "Mereka berpikir terlalu tinggi terhadap diri sendiri. Mereka tidak peduli pada orang lain. Mereka hanya memikirkan kepuasan dan pencapaian diri mereka saja." Hantu itu merengek-rengek menangisi kebodohannya. "Aaah, aku tidak menyangka hidupku akan sesingkat ini, padahal tadinya kukira aku akan hidup bahagia bersamanya. Ia sangat tampan dan punya segalanya. Tak kusangka ia menyingkirkanku begitu mudah dari hidupnya. Hik, hik, hik!" Hantu itu berbalik dan memegang kedua tangan Delisha, memohon padanya. Delisah bisa merasakan sentuhan halus seperti bulu di permukaan kulitnya. "Karenanya kau harus pergi jauh dari sini!" katanya pada Delisha. "Kenapa kau begitu peduli padaku?" tanya Delisha heran. Hantu itu berdiri dan menjauhinya beberapa langkah. Wajahnya tersenyum sangsi. "Kau tidak menyadarinya, ya?" "Apa maksudmu?" "Tubuhmu ... sangat berharga, karenanya kau tidak boleh mati," katanya getir. Tok tok tok! Pintu diketuk dari luar. "Nona Marianne, Manajer hotel sudah siap menemuimu," kata Vijay dari luar. "Pokoknya, apa pun yang terjadi, jangan sampai ia melihatmu!" kata hantu itu terdengar penuh misteri pada Delisha. Dia melangkah mundur "Aku Maya," katanya. "Panggil aku kalau kau butuh bantuanku!" Hantu itu menghilang dalam sekejap. "Ya, persilakan masuk!" seru Delisha pada Vijay di luar. Dia merapikan penampilannya sedikit lalu berdiri ketika seorang pria dalam setelan gelap memasuki ruangan. "Namaste! Hallo, Nona Marianne! Saya Aftab Shivdasani, Manajer Hotel Golden Star!" ucapnya sambil menyorong tangan untuk berjabat tangan. Delisha yakin pria itu sangat tampan seperti namanya. Hanya saja dia tak sanggup menatap apalagi menjabat tangannya. Pria itu tampak seperti laba-laba raksasa dengan mata bulat-bulat hitam seperti kelereng, mulut bertaji dan tangannya runcing penuh bulu-bulu keras dan tajam. Tubuh Delisha gemetaran dan bergidik hebat ketika dia menjabat tangannya. Rasanya dia bakal pipis di celana. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN