Saat pertama kali membuka mata, Naya bersyukur karena Eza lah yang dilihatnya. Tidak ada senyuman, hanya sebuah perasaan lega yang diutarakan lewat sorot mata tenang itu. Setidaknya bukan ah bahkan untuk menyebutkan namanya saja rasanya Naya enggan. Terlalu menyakitkan dan menyesakkan. "Udah bangun?" tanyanya sambil tersenyum hangat. Naya hanya membalas dengan anggukan pelan. "Gimana keadaan lo?" Eza mengelus lembut pucuk kepala Naya. "I'm fine." "Mau cerita sama gue, kenapa tadi malem lo nangis ditengah ujan?" Naya memalingkan wajahnya. "Nggak ada yang perlu gue ceritain." Pelan, Eza meraih tangan Naya dan di genggamnya dengan kedua tangannya. "Apa dia nyakitin lo?" Hati Naya mencelos hanya mendengar kata 'dia'. "Udah gue bilang—" "Nay please, liat gue," sergah Eza cepat.