Part 13. Perempuan Terhormat

1409 Kata
Kenapa pula harus bertemu dia di sini sih? Ada hubungan apa dia dengan empunya acara? Sepertinya hidupku memang harus bersinggungan dengan lelaki tampan ini. Sambil berpikir seperti itu, aku tetap menerima saputangan berwarna kecoklatan dan kupakai untuk menghapus air mata. Lelaki itu tersenyum lebar tapi senyumnya mendadak berubah masam saat aku membuang ingus di saputangan warna kecoklatan itu. Bahkan bola matanya membola, seakan tidak percaya saputangan bermerek berharga mahal itu aku pakai untuk lap ingus. Siapa juga yang suruh kasih saputangan coba? Namanya menangis itu sudah pasti sepaket dengan ingus yang keluar dari hidung kan? “Nih aku kembaliin. Makasih.” Kataku datar dan angsurkan saputangan itu pada pemiliknya. “Ya ampun Reina, yang bener aja sih, itu saputangan kan udah bekas ingusmu, tega banget dikembaliin gak pakai dicuci. Cuci dulu dong!” Suara berat lelaki itu ajukan protes, dia kibaskan tangannya tanda menolak saputangan itu aku kembalikan. “Iya iya, aku laundry deh. By the way, sama siapa ke sini?” Tanyaku penasaran, karena mereka sepaket antara Abdi dan Dante. Keduanya adalah sepupu, di mana ada Dante biasanya akan ada dia, Abdi. “Kalau yang kamu tanyain Si Abdi, dia ada di pojokan sana tuh…” Dante menunjuk suatu tempat. Mataku mengikuti, benar saja ada Abdi di situ dengan wajah yang ekspresinya tidak dapat aku gambarkan. Dia berdiri dengan tidak nyaman, kakinya bergerak-gerak gelisah seperti ingin buang air kecil. Ya Tuhan, dia tampak sungguh tampan dengan setelan jas berwarna hitam dan celana kain hitam itu! Entah kenapa mendadak aku teringat masa lalu, seperti saat Abdi yang dengan keisengannya menggodaku saat kami masih sekolah. “Ngapain dia di pojokan sono?” Tanyaku heran, tapi pandangan mata kami bersirobok sebentar walau Abdi berada beberapa meter dariku tapi aku tahu bahwa dia khawatir padaku. “Tadi dia lihat kamu menangis sendirian di sini. Sebenarnya jika tidak kularang, mungkin dia sudah meluk kamu sih Na. Tapi bakalan ada perang tentunya kan setelah itu? Jadi dia mengutusku ke sini dan berikan saputangannya untukmu, yang dengan teganya kamu pakai untuk lap ingus juga." “Ooh gitu, jadi ini saputangan Abdi ya? Kalau begitu tolong sampaikan terima kasih padanya. Saputangan ini akan aku kembalikan setelah dicuci.” “Okay, nanti aku akan sampaikan.” Hening beberapa saat. Dante malah mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. “Kamu kan tahu aku alergi asap rokok, baunya buat perutku mual.” Kataku tajam, membuat Dante meringis dan mematikan rokok itu. “Kata Abdi tadi, kamu cantik banget malam ini Na, menguji iman dan mata laki-laki untuk tetap pada tempatnya. Tapi ngomong-ngomong kok aku merasa jadi kurir penyampai pesan ya? Jujur, kamu emang bener cantik banget sih malam ini.” Kata Dante, kesal tapi tetap memujiku. “Terima kasih.” Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Sayangnya, kecantikan dan keparipurnaan yang aku tampilkan malam ini sama sekali tidak membuat Mas Alan melirikku. Dinginnya semilir angin malam membuatku sedikit merinding. Untuk menghalau dingin, aku mengusap lenganku. “Dingin ya Na?” Tanya Dante. “Enggak, panas malahan. Udah tahu dingin masih nanya sih?” Jawabku kesal. Entah kenapa lelaki tampan satu ini suka membuatku emosi sih?? “Sayangnya aku pakai kemeja batik sih Na, coba aku pakai jas aku pasti akan sampirkan ke pundakmu yang mulus dan seksi itu, layaknya cerita di n****+. Tapi kalau kemeja batik ini aku lepas, yang ada cewek-cewek langsung menerkamku.” Dante tersenyum saat berkata itu. Bola mataku ke atas tanda kesal. Lelaki ini selain emosi labil ternyata juga mempunyai tingkat percaya diri yang sangat tinggi. Tapi mendadak pundakku menjadi hangat saat ada sebuah jas tersampir di pundakku. Entah kapan tiba-tiba saja Abdi sudah ada di depanku dan menyampirkan jasnya. Harum parfum khas lelaki, seperti di saputangan tadi, terhidu olehku. Aku sempat memejamkan mata untuk menikmati harum ini. “Hai Na, maaf aku nekat ke mari dan sampirkan jas ini ke tubuhmu. Kamu tampak kedinginan sih, aku jadi gak tega. Kenapa tadi menangis Na?” Sapa Abdi dengan nada sendu. Matanya memancarkan rindu yang teramat sangat padaku. Kedua tangannya dia letakkan di saku, mungkin agar tidak lancang memelukku. Aku menarik nafas panjang. Mataku mencari keberadaan Mas Alan, tapi mungkin dia sedang berasyik masyuk dengan Khamila. Setelah apa yang tadi dikatakan Khamila saat di toilet, tentu saja saat ini pikiranku berkelana ke mana-mana. “Jangan menangis Reina, air matamu terlalu berharga.” Abdi berkata itu dengan nada lembut, membuatku terenyuh. Pandangan mata kami kembali bersirobok hingga beberapa saat hanya ada keheningan. “Eheeem… eeh bro, kita emang sepupuan yaak, tapi gue bukan nyamuk yang cuma bisa bengong aja. Lagian ingat bro, Reina udah punya laki, lu bisa lihat kan itu cincin di jari manisnya! Terlarang buat kita berdua.” Suara berat Dante menyadarkan kami berdua, hingga aku yang pertama kali memutuskan kontak mata kami. Jangan tanya apa yang aku rasakan saat ini. Campur aduk! Terselip sedikit rasa senang karena Abdi masih perhatian padaku, tapi rasa sakit dan kecewaku bergunung-gunung karena pemandangan mesra yang aku lihat tadi. “Eh kakak ipar di sini toh, dicariin dari tadi juga. Waah dikelilingi cowok-cowok cakep lagi.” Rocky yang periang, tanpa sungkan memanggilku kakak ipar dan langsung saja bergabung dengan kami bertiga. Baik Dante dan Abdi melihat Rocky dengan heran, mereka melihatku seakan bertanya siapa bocah ini. “Eum kenalkan Ky, ini Dante dan ini Abdi. Mereka temanku dan kebetulan banget bisa ketemu di pesta ini. Gaes, kenalkan ini Rocky, adik iparku.” Rocky segera saja akrab dengan Dante dan Abdi. Tapi malam ini Abdi tidak banyak bicara atau usil seperti biasanya. Dia lebih pendiam, hanya sesekali menimpali pembicaraan. Abdi lebih sering melihatku, lebih tepatnya menatapku, seperti ingin memelukku dan tidak terlepas lagi. “Hahaha… gitu yaa. Wah keren tuh, ntar gue bakalan sering tanya ke elu ya bro.” Mendadak Rocky menepuk pundak Abdi, sok akrab. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya seru, buktinya mereka sudah memanggil elu gue. Aku tidak memperhatikan pembicaraan mereka karena pikiranku hanyut pada Mas Alan dan Khamila. Entah apalagi yang mereka bicarakan, aku hanya tersenyum. Beruntung ada mereka bertiga jadi bisa sedikit membuatku terhibur. “Ternyata kamu di sini Reina? Bersama lelaki-lelaki yang bukan mahrammu? Apa begitu kelakuan seorang istri yang baik?” Suara berat Mas Alan terdengar di telingaku. Mukaku langsung saja masam mendengar itu. Bukan hanya aku, tapi ketiga lelaki itu juga langsung reaktif. Apalagi Dante yang memang emosian. Dia langsung maju satu langkah mendekati Mas Alan, entah apa yang akan dilakukannya, aku hanya bisa menahan nafas. Melihat ke arah Dante yang emosi berganti ke arah Abdi yang menyesap air putih di gelas kaca yang dia bawa. Mungkin untuk meredakan emosinya karena raut wajah Abdi yang berubah. “Hei bro, jangan hina Reina! Dia perempuan terhormat, bukan perempuan murahan yang menjadi pelakor dan berusaha merebut seorang lelaki yang jelas-jelas sudah beristri.” Kata Dante yang sekarang sudah berhadapan dengan Mas Alan. Eeh, sepertinya dia menyindir seseorang? Di belakang Mas Alan ternyata ada Khamila yang berdiri tidak jauh dari kami berada. Aku menghela nafas, jujur aku takut mereka akan baku hantam karena aku tahu Dante susah menahan emosi. Apalagi aku lihat wajah Mas Alan menggelap, tangannya terkepal. Aku tidak tahu dia emosi karena aku dibela oleh Dante atau karena Khamila yang disindir oleh Dante. Postur keduanya hampir sama, tapi Dante dan Abdi bukanlah lawan Mas Alan karena mereka adalah judoka. Bisa-bisa aku menjadi janda padahal baru tiga bulan menikah! Iih amit-amit! “Siapa kamu? Aku tidak ada urusan denganmu! Urusanku di sini karena Reina malah bersenang-senang dengan lelaki-lelaki lain!” Sindiran tajam Mas Alan ternyata membuat emosi Abdi yang naik. Aku melihat telapak tangannya meremas gelas kaca yang tadi dia bawa, gelas itu pecah hanya dengan remasan tangannya membuat darah mengalir dari telapak tangan itu. “Tutup mulutmu! Kamu harus tahu bahwa Reina adalah perempuan terhormat!” Desis Abdi. “Sudah sudah, jangan bikin keributan di sini! Mas Alan, aku kan juga di sini bersama mereka, aku tahu Mbak Reina gak ngapa-ngapain kok, gak centil juga. Benar kata kedua lelaki ini, Mbak Reina adalah perempuan terhormat. Sudah kita pulang saja sebelum terjadi perkelahian. Khamila dan papa mama pulang denganku. Maaf ya bro, berhubung suasana tidak kondusif, gue pulang dulu. Bye…” Sekali lagi Rocky menjadi penyelamat. Aku mengikuti langkah kaki Mas Alan yang tergesa meninggalkan tempat ini. Kusunggingkan senyum pada Abdi dan Dante. “Obati tanganmu Abs, jangan dibiarkan ya. Segera ke klinik terdekat.” Kataku saat lewat di depan Abdi, berhenti sebentar untuk mengingatkannya. Tapi deheman Mas Alan membuatku harus segera pergi dari sini, bersama jas Abdi yang masih tersampir nyaman di pundakku.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN