Seperti biasa rutinitas Ema hari ini adalah mengantar Amora ke Sekolah dan setelah itu ia segera pergi bekerja di Rumah sakit. Entah mengapa akhir-akhir ini Ema merasa ia sedang diikuti oleh seseorang. Ema melangkahkan kakinya dengan cepat ketika jalanan yang ia lewati sepi. Ia mengeratkan jaketnya karena cuaca hari ini sangat dingin hingga dari dalam mulutnya pun keluar asap yang merupakan hawa dingin ditubuhnya.
Ema melihat beberapa mobil ambulan datang bersama sekelompok orang yang terluka dan pemandangan mengerikan pun terjadi di UGD. Ema mempercepat langakahnya dan segera masuk menuju loker. Ia mengganti pakaiannya dengan cepat dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam UGD.
Seorang pasien dengan tiga luka tembak membuat Ema meringis. Ia memang bukan pertama kali menangani pasien dengan luka tembak seperti ini. Dulu saat ia tinggal bersama Aron ia beberapa kali membantu Aron untuk mengeluarkan peluru dari dalam tubuh pasien. Namun pasien ini kesulitan bernapas walau sudah dipakaikan bantuan oksigen dihidungnya.
"Dokter Daniel belum datang" ucap Suster Sanas
"Dokter bedah lain?" tanya David ia membutuhkan seorang Dokter bedah untuk melakukan operasi darurat sekarang juga karena pasien harus segela diberi lubang pernapas dilehernya.
"Dokter yang lain sedang berada didalam ruang operasi sedangkan Dokter Britnet sudah dihubungi tapi ponselnya tidak aktif Dok" ucap Suster Sanas.
"Pasien ini harus diselamatkan dan..." Ucap Dokter David dengan tangan yang bergetar memegang pisau bedah.
"Saya sebenarnya bisa Dok," ucap Ema membuat Suster Sanas dan Dokter David menatap Ema dengan tatapan terkejut.
"Tapi saya bukan dokter" jelas Ema.
"Kau lakukan saja Ema, buat lubang pernapas darurat dilehernya dan hanya Sanas dan saya yang tahu jika kau melakukannya. Saat membuat laporan nanti, kalian bisa menuliskan laporan jika saya yang melakukannya!" ucap David. Ia merasa tidak berguna karena trauma dengan pisau bedah. Semenjak kematiam kekasihnya dimeja operasi Dokter David mengalami trauma berat hingga tidak bisa memegang pisau bedah.
"Saya akan melakukannya Dok!" ucap Ema. Ia mengoleskan obat di leher paisen dan segera menekan pisau bedahnya untuk membuat lubang kemudian dengan cepat Ema memasukkan alat bantu pernapas dan setelah itu ia menekan pompa hingga pernapas pasien pun kembali normal.
"Terimakasih Ema," ucap Dokter David.
"Sama-sama Dok," ucap Ema.
David menatap Ema dengan tatapan kagum sama seperti Sanas. "Saya akan melihat pasien yang lain Dok dan mengambil sampel darahnya," jelas Ema dan dengan isyarat mata Ema pamit kepada Sanas.
David dan Sanas saling berpandangan "Dia lebih cocok menjadi Dokter dibandingkan menjadi seorang suster," ucap David dan Sanas menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan David.
"Ema memang sangat hebat Dok makanya saya merekomendasikannya untuk bekerja di Rumah sakit kita" jelas Sanas.
"Jika Daniel tahu apa yang dilakukan Ema tadi, dia pasti akan bertambah kagum dan mencari cara untuk mendapatkan Ema. Daniel tak akan menyerah sebelum Ema bersedia menjadi teman tidurnya!" ucap David.
"Dan saya tidak akan membiarkan Daniel mendekati Ema Dok. Ema bukan wanita sembarang yang mudah dimanfaatkan. Ema sudah seperti saudariku sendiri," jelas Sanas.
Semua pasien berhasil ditangani dan ada juga pasien yang tidak selamat, Ema kemudian memilih untuk beristirahat di ruang khusus suster. Ia membaringkan tubuhnya diranjang selama beberapa menit karena setelah itu ia harus segera pulang ke Apartemen. Hari ini memang Ema merasa tubuhnya kurang sehat dan ia juga merasa lelah karena jumlah pasien UGd yang sangat banyak.
Seorang wanita berambut pendek dan rambutnya berwana pirang mendekati Ema dan kemudian melempar Ema dengan berkas yang dipengangnya. "Bisa-bisanya kau bersantai disini suster baru?" ucapnya membuat Ema menghela napasnya.
"Saya tidak bisa bersantai mengobrol dengan yang lain karena jam kerja saya telah selesai. Saya memiliki putri di rumah dan dia membutukan saya dan saat ini saya sedang mengumpulkan tenaga agar saya bisa segera pulang!" ucap Ema.
Wanita itu menatap Ema dengan sinis membuat Ema mengerutkan dahinya. Ia tidak pernah merasa memiliki musuh di Rumah sakit ini tapi kenapa wanita ini seolah-olah ingin membunuhnya dengan tatapan tajam yang baru saja ia perlihatkan saat ini.
"Kau jalang yang merayu para pria di Rumah sakit ini untuk merayumu. Berpura-pura tidak tetarik, namun pada akhirnya kau telah merencanakan untuk menjerat mereka," ucap Daisy.
Perempuan itu bernama Daisy, ia juga termasuk suster senior di Rumah sakit ini. Ia berumur tiga puluh lima tahun dan satu tahun dibawah Sanas. "Kau jangan sembarangan menduduh, aku bukan jalang seperti yang kau katakan. Aku disini bekerja buka untuk bersenang-senang dengan para pria!" kesal Ema.
Ema Adriana bukan Ema yang bodoh yang kemudian memangis karena di bully. Ia sekarang adalah seorang ibu dan ia harus kuat. Ema berdiri dan mendorong tubuh Daisy yang mencoba menghalangi langkahnya.
"Awas kau tunggu saja aku akan menghancurkanmu!" ucap Daisy.
"Aku tunggu!" ucap Ema kesal. Ia menuju ruang loker dan ingin mengambil tasnya namun ia terkejut saat melihat tas miliknya digunting. Ema sangat emosi saat ini, ia benci diperlakukan tidak adil. Apa salah jika banyak lelaki mendekatinya? Ia pun juga menolak mereka semua karena Ema tidak berniat menjalani hubungan apapun dengan laki-laki manapun saat ini.
Ema meredakan emosinya dan ia mengambil air minum di dapur khusus perawat dan kemudian segera mencari kantung kresek untuk mengisi barang-barangnya yang ada didalam tas. Setelah itu Ema segera pulang. Ia mengisi absen pulang dan kemudian melangkahkan kakinya keluar dari rumah sakit melewati pintu belakang.
Namun saat melewati koridor rumah sakit, sebuah tangan tiba-tiba memegang lengannya membuat Ema terkejut dan membalikan tubuhnya.
"Kamu?" ucap Ema kesal dengan tangan laki-laki yang menahan pergerakannya.
"Bisa bicara sebentar!" ajaknya.
"Tidak" tolak Ema.
Namun tanpa diduga laki-laki itu mencium Ema dengan kasar membuat Ema segera mendorongnya namun tubuh laki-laki itu begitu kuat, hingga membuat Ema sulit untuk melepaskanya. Ema menggigit bibir laki-laki itu dan menendang laki-laki itu namun laki-laki itu menyeretnya kesebuah gudang yang berada didalam rumah sakit ini. Ema merutuki kebodohannya, karena ia memilih jalan belakang rumah sakit agar bisa cepat pulang, namun tidak ia sangka tempat ini begitu sepi.
Ema berusaha berteriak namun laki-laki itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya yang besar. "Hmptttt..." air mata Ema menetes, ia berdoa semoga saja ada yang datang dan menolongnya.
Seorang perawat laki-laki mendekati mereka dan ia menarik tubuh besar yang sedang menindih Ema lalu ia memukul laki-laki itu dengan kuat. "Satpam kurang ajar!" teriak perawat laki-laki itu. Ia berhasil membuat wajah laki-laki itu babak belur.
Ema meneteskan air matanya dan menatap perawat laki-laki yang menolongnya itu dengan tatapan terimakasih. "Terimakasih karena telah menolongku!" ucap Ema.
Laki-laki itu tersenyum "Sudah seharusnya saya menolong anda" ucapnya.
"Satpam ini memang selalu melihatku dengan tatapan berbeda tapi aku tidak menyangka dia akan melakukan hal serendah ini padaku" jelas Ema.
"Saya akan mengantar anda pulang!" ucapnya.
"Tidak perlu" tolak Ema.
"Perkenalkan saya Hadden" ucapnya memperkenalkan diri.
"Saya Ema Adiriana" ucap Ema.