Freya kemudian segera melancarkan aksi. Wanita itu berjalan cepat ke arah yang berlawanan dengan Archie.
Ia berlagak sedang sibuk mencari sesuatu dalam tasnya. Jarak mereka yang sudah dekat membuat Archie tidak sempat menghindar ketika Freya tiba - tiba menabraknya.
Karena Freya bertubuh mungil, tentu ia terjatuh karena menabrak Archie. Sementara lelaki itu tetap berdiri tegak.
"Seharusnya Anda lebih berhati - hati, Nona." Archie segera menegur Freya.
Freya nampak kesal dan sedang berusaha membersihkan noda kopi di kemeja warna cerahnya. "Maafkan saya. Saya sedang buru - buru."
Archie sedang memperhatikan wanita yang jatuh terduduk di hadapannya. Dan segera mengenali wajahnya. "Anda ...."
Freya pun segera mengangkat wajahnya. Pura - pura terkejut melihat Archie. "Astaga ... ternyata Anda. Sekali lagi saya mohon maaf karena sudah menghambat perjalanan Anda."
Freya benar - benar tidak menyangka ketika tiba - tiba Archie mengulurkan tangan kokohnya tepat di hadapannya. Bermaksud untuk membantunya berdiri.
Freya diam - diam tersenyum. Ternyata tidak sesulit itu, bukan, untuk mendapatkan perhatian Archie?
Freya pun segera menyambut uluran tangan Archie. Archie kemudian menariknya perlahan. Sampai Freya kembali berdiri.
Gadis itu mulai kembali melancarkan aksi. Ia mengernyit sembari memandang ke bawah -- tepatnya pada pergelangan kaki kanannya.
"Anda baik - baik saja?" tanya Archie. Meski raut mukanya tetap datar, tapi Freya tetap senang mendapat perhatian itu dari Archie.
"Mungkin kesleo. Tapi tidak apa - apa. Ini tidak terlalu sakit," jawab Freya. "Sekali lagi saya minta maaf, ya. Uhm ... karena pakaian saya kotor, saya harus segera ganti baju. Syukur lah pakaian Anda tidak kotor. Anda pun pasti sedang buru - buru, bukan? Kalau begitu saya permisi, ya."
Freya segera berbalik, berjalan dengan tertatih kembali ke kamarnya.
Archie masih memandangi Freya. Sungguh diri Freya dari ujung kepala sampai kaki, semua mengingatkannya pada Raya.
Archie ingin memastikan apakah Freya benar - benar baik - baik saja. Tapi lelaki itu tidak melakukan apa pun. Hanya diam.
Mungkin nanti ia akan menyuruh salah satu bawahannya untuk mengurus Freya. Karena ia punya banyak pekerjaan hari ini.
***
Pemuda dengan tinggi 183 cm, dengan paras yang menawan itu, tengah menderibel bola oranye menuju ring yang masih cukup jauh di depannya. Ia terus menderibel, dan ketika sudah dekat dengan ring, ia segera melempar bola oranye itu. Dan hup ... bola masuk.
Athar namanya. Pemuda yang nyaris sempurna. Tampan, baik, mempesona, kaya raya.
"Sampai kapan kamu kayak gini terus?" tanya seorang wanita cantik yang duduk di bangku penonton -- Jena.
"Kayak gini terus gimana?" Athar bertanya sembari mengambil bolanya. Kemudian membawa bola itu, berjalan mendekat pada Jena.
"Ya kayak gitu. Luntang Lantung nggak jelas. Padahal kamu harusnya udah mulai belajar jadi seorang pemimpin. Kelak kamu kan bakal kayak Archie juga. Jadi CEO di Virendra Inc."
"Apaan, sih, Jen. Mau aku belajar atau enggak, kelak posisi itu bakal tetap jadi milik aku. Nggak baka ke mana."
"Ya nggak bisa gitu dong. Kamu setidaknya harus belajar bertanggung jawab. Jadi pemimpin perusahaan itu ngga gampang lho. Kamu ngga lihat Archie? Dia sampai kayak ngga punya waktu buat dirinya sendiri. Demi bikin Virendra Inc tetap jadi yang terdepan."
"Ya, justru itu, Jen. Aku sekarang mau menikmati hidup dulu. Sebelum nanti jadi kayak Archie, nggak punya waktu untuk dirinya sendiri. Bahkan dia nggak punya waktu untuk mempersiapkan pernikahan sama Raya waktu itu. Raya nyiapin semua sendiri. Sampai dia meninggal. Archie nyesel deh."
Jena terdiam. Benar. Archie memang sedang dalam fase terpuruk saat ini. Lelaki itu kehilangan calon istri yang begitu dicintainya. Satu wanita yang bisa merebut dan mencairkan hati seorang Archie -- Raya -- telah pergi untuk selamanya.
"Jen, ini bukannya kesempatan kamu, ya? Kan kamu suka sama Archie tuh. Taklukin hatinya, lah. Sebelum keduluan cewek lain. Ntar nyesel."
Celetukan Athar itu berhasil membuat Jena tersulut emosi. "Kamu ngomong apa, sih, Thar? Astaga ... kamu apa nggak mikir, Archie itu calon suami Raya, sahabat aku. Ya kali aja aku serobot."
"Ya nggak apa - apa. Kan kamu suka sama dia. Dan Raya sudah meninggal."
"Tetep aja aku nggak sampai hati, Thar."
"Ya, udah. Kalau gitu sama aku aja dong ya. Aku kan suka sama kamu udah lama." Athar menaik turunkan alisnya.
Jena segera mencubit tangan pemuda itu. "Astaga, anak kecil. Tahu apa kamu soal cinta. Sana kuliah diberesin dulu baru ngomongin cinta."
Athar memicingkan matanya. Menatap Jena dengan lekat. "Ya udah, nanti jangan nyesel lho ya, kalau aku udah berpaling ke lain hati, gara - gara capek kamu tolak terus."
"Astaga Athar ... duh ... udah - udah ... jangan ngaco lagi. Aku mau balik ke kantor. Kamu juga sana balik kuliah. Atau bantuin Archie di kantor. Oke? Aku pergi dulu ya."
Jena menepuk lengan Athar beberapa kali, kemudian berbalik, dan benar - benar pergi meninggalkan Athar di lapangan basket yang berada di taman kota ini.
Athar pun hanya bisa menatap Jena yang semakin menjauh. Sembari menggenggam erat bola basketnya.
***
Selepas menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin rapat, Archie segera keluar dari meeting room hotel. Ketika melewati deretan meeting room yang lain, ia menyempatkan untuk mencuri pandang ke arah beberapa meeting room lain itu. Kosong. Tidak ada yang dipakai. Mungkin training dari kantor si gadis yang tinggal di sebelah kamarnya juga sudah selesai.
Archie menampik untuk mengakui bahwa ia memikirkan Freya sepanjang hari ini. Archie tidak mau mengakui itu. Karena ia bukan memikirkan Freya, melainkan Raya. Wajah Raya dan Freya yang begitu identik. Itu lah yang membuat Archie terus memikirkannya.
Terlebih tadi padi setelah bertabrakan dengannya, kaki Freya nampak sakit. Apa kakinya baik - baik saja? Archie ingin tahu itu.
"Rehan ...." Archie memanggil seorang pemuda bernama Rehan yang merupakan asistennya.
"Iya ada apa, Pak?"
Archie bukannya mengutarakan maksudnya, malah terdiam. Ia bingung harus menyampaikan mulai dari mana pada Rehan. Sebenarnya ia ingin meminta Rehan bicara dengan Freya apakah ia butuh dibawa ke rumah sakit atau tidak.
"Nggak jadi." Archie rupanya benar - benar mengurungkan niatnya. Toh apa urusannya. Kan tadi pagi Freya yang menabraknya. Jadi kalau kakinya sakit adalah salahnya sendiri. Untuk apa Archie repot - repot memikirkannya seperti ini?
Rehan sebenarnya merasa aneh dengan sikap Archie yang tidak biasa. Tapi ia diam saja. Ia kembali berjalan di belakang Archie. Kemudian mereka berpisah di lift karena kamar hotel mereka beda lantai.
***