Viren Pamungkas

885 Kata
"Ya, aku percaya. Kelak aku dan Raya akan dipertemukan di sana." Archie masih memeluknya sampai kini. Dekapannya sungguh hangat. Freya bisa merasakan lelaki itu tulus. Benar - benar berbeda dengan kesan saat pertama kali ia tahu dan mengenal Archie. Freya kini bisa mengerti kenapa saudari kembarnya begitu sabar menghadapi dan mendampingi Archie. Padahal di mata orang lain Archie itu bukan seseorang yang menyenangkan, apa lagi untuk dijadikan pasangan hidup. Mereka tidak tahu saja. Karena tidak mengenal Archie dengan detail dan dekat. Archie akhirnya melepas pelukannya. Freya sebenarnya tidak rela Archie melepas pelukannya. Tapi mana mungkin ia mencegah Archie berhenti memeluknya? Nyatanya Freya segera disambut oleh perlakuan manis lain dari Archie. Lelaki itu dengan tangan kokohnya menghapus air mata di pipi Freya. Begitu lembut, begitu tulus. "Bagaimana dengan kamu, Archie? Kamu begitu mencintai Raya. Pasti sangat berat ketika dia tiba - tiba pergi meninggalkan kamu untuk selama - lamanya." Archie tertegun. Bahkan sampai sekarang ia masih belum bisa merelakan Raya - nya. Bahkan ia masih sering menganggap bahwa Freya adalah Raya - nya. Bahkan ketika ia mengingat Raya, ia juga ingat bahwa ia sudah kehilangan pegangan hidupnya, seseorang yang paling mengerti dirinya, seseorang yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Seseorang yang begitu berarti baginya. Begitu terpuruknya Archie sampai ia berpikiran untuk melompat dari balkon. "Tentu ini berat," jawab Archie akhirnya. "Raya adalah wanita yang baik. Karena dia baik, Tuhan rindu. Makanya Tuhan cepat panggil Raya untuk kembali padanya. Aku ini apa? Mana bisa aku bersaing dengan Tuhan. Jadi nggak ada pilihan selain merelakan." Freya mendengarkan dalam diam. Freya sebenarnya tak menyangka, saat membicarakan tentang Tuhan, Archie berubah menjadi pribadi yang begitu religius. Sedangkan Raya? Mana pernah ia mau mengenal Tuhan. Apalagi mendekatkan diri pada Tuhan. Agama yang ia anut, itu hanya sebatas status di KTP. Saat kecil dulu, Fera dan Roni memasukkan Freya dalam sekolah Diniyah saat sore hari, supaya anaknya tahu ajaran agama. Tapi hanya sekadar tahu saja. Freya tak pernah mengamalkan satu pun. Freya terlalu terlena dengan segala hal tentang dunia. Uang adalah tujuan utamanya dalam hidup. Sikap religius Archie barusan seperti sebuah sentilan baginya. Archie saja yang kaya raya, memiliki kehidupan yang sempurna, tapi ia tetap mengingat Tuhan. Sementara Freya yang miskin, dengan hidup yang masih belum baik, tapi ia malas sekadar mengingat Tuhan. Kalau dihitung seberapa banyak dosanya, pasti sudah segunung. Tak terhitung lagi banyaknya. "Freya ... terima kasih sudah mendengar aku. Sebelumnya hatiku rasanya begitu penuh, karena aku tidak bisa bicara pada siapa pun tentang segala hal yang aku rasakan." Archie berterima kasih dengan tulus. Meski sebenarnya ia belum membuka semuanya pada Freya. Meski ia mulai mempercayai gadis itu, tapi mereka belum terlampau saling mengenal. Mengingat mereka juga baru saja saling kenal. "Nggak masalah, Archie. Kalau kamu mau cerita, kapan pun, aku siap untuk jadi tong sampah kamu." Freya tersenyum. Archie terkikik mendengar ucapan Freya. "Kenapa bahasanya harus tong sampah?" "Karena segala masalah yang dipendam sendiri itu memang sampah. Kalau dipendam terus menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Apa namanya kalau bukan sampah?" Archie mengangguk - angguk. "Ya ... masuk akal." "Aku juga berterima kasih, karena malam ini pun aku akhirnya mengungkap rasa sesal itu, karena aku belum sempat saling bertemu dengan Raya. Sebelumnya sama sekali belum pernah aku membicarakan hal itu." Freya turut berterima kasih. Tentu ia berterima kasih. Dan baru bercerita hal itu pada Archie saja. Karena apa yang ia ceritakan juga baru saja ia karang dalam pikiran. "Sepertinya setelah ini kita tidak akan sesekali bertemu, Freya." Archie tiba - tiba bicara seperti itu. Padahal sebelumnya Archie setuju bahwa sesekali mereka harus saling bertemu. "Tadi bukannya kamu udah setuju kalau sesekali kita akan bertemu?" Freya tak tak ragu melayangkan protes. Archie tersenyum. "Kita nggak akan sesekali bertemu. Tapi ... sepertinya kita akan sering bertemu setelah ini." Archie mengelus anak rambut bagian depan Freya, menyibakkan anak rambut itu ke belakang telinga Freya. Freya merasa begitu lega karena jawaban Archie. Jika bisa ia akan berjingkrak. Sayangnya ia masih harus mempertahankan citra di depan Archie. Mereka akan sering ketemu? Berarti Freya akan semakin mudah mencapai tujuannya. *** Setelah Archie berpamitan kembali ke kamarnya, Freya merasa begitu berbunga - bunga. Seakan ia kembali pada zaman sekolah, kala merasakan cinta pertama. Begitu indah, begitu membahagiakan. Freya masih tersenyum ketika wanita itu membaringkan tubuhnya di ranjang. Membayangkan ketika tadi Archie memeluknya, menghapus air matanya -- padahal itu hanya air mata buaya, dan juga menyibakkan anak rambutnya. Astaga ... siapa sangka ternyata Archie adalah seseorang yang begitu penyayang. Beruntung sekali si Raya yang sudah meninggal itu. Ia pasti sudah puas mendapatkan begitu banyak kehangatan dari Archie. Jika saja Raya tidak meninggal, mana mungkin Freya aka merasakan ini semua saat ini. Hmh .... Sebelum tidur, Freya ingin melihat ponselnya dulu. Ia meraih ponsel itu yang tenggelam di bawah bantal dan selimut. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor bernama Viren Pamungkas. Freya mengernyit. Tidak mengerti siapa orang yang terus melakukan panggilan padanya itu. Freya juga melihat ada satu pesan yang belum terbaca. Sama, dari Viren Pamungkas juga. Freya masih bertanya - tanya, siapa orang ini? Ia menatap pesan yang belum ia baca itu. Bingung memutuskan harus membacanya sekarang atau nanti. Jika tidak dibaca, ia penasaran juga dengan siapa orang ini, dan apa isi pesannya. Tapi jika dibaca sekarang, entah mengapa Freya merasa terancam. Freya coba memikirkan siapa orang ini kira - kira. Tapi ia urung jua menemukan petunjuk. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN