Episode 7

1872 Kata
Still Flashback! Gabriel sudah berpakaian sangat rapi, dia memakai celana pensil putih dan sweater hitam. Gabriel mengambil ponsel dan kunci mobilnya lalu pergi. Beberapa menit kemudian, Gabriel sampai di depan rumah bercat serba putih, dia memarkirkan motornya di sana. Gabriel lau masuk ke dalam. Nai yang melihat Gabriel datang langsung menyapanya, "Gabriel?" "Kak Nai? Arlan sama Arlin mana?" Ucap Gabriel seraya duduk di sofa. Nai mendekat, "Masih di kamar lagi siap-siap." Gabriel mengangguk, Nai lalu duduk di sampingnya. Kemarin malam, Gabriel menghubunginya, Gabriel mengatakan kalau dia ingin mengajak Arlan dan Arlin jalan-jalan. "Gab, gimana keadaan Tante Grace?" Tanya Nai. "Mama baik-baik aja kak." "Syukurlah kalau begitu. Tante Grace harus banyak-banyak istirahat dan jangan banyak berpikir, takutnya nanti sakit lagi." "Aku udah bilang sama mama, tapi kakak tau sendiri kalau mama selalu aja mikirin papa. Aku nggak tau kenapa papa seakan nggak peduli sama mama. Papa sibuk sendiri, nggak pernah merhatiin kesehatan mama." Nai sendiri sangat tau bagaimana kondisi keluarga Gabriel. Ibunya kini tengah sakit parah, sedangkan ayahnya, beliau mungkin banyak pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk keluarganya, mengurus istrinya yang sakit. Tapi Gabriel, dia tidak bisa menerima apa yang ayahnya lakukan padanya dan juga ibunya. Gabriel selalu berpikir kalau ayahnya tidak pernah peduli dengan keluarganya. Ayahnya selalu memikirkan pekerjaannya tanpa sedikitpun memperhatikan ibunya yang sedang sakit. Gabriel adalah anak semata wayang dari pasangan Revan Rendell dan Grace Agnesia. Revan merupakan seorang pengusaha sukses, itu sebabnya dia sangat sibuk bekerja. Sedangkan Grace merupakan mantan model yang sangat terkenal. Revan dan Grace menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. "Kakak tau apa yang kamu rasain Gab, tapi kakak yakin kok, Om Revan bukannya nggak peduli sama kalian, tapi Om Revan bekerja keras supaya hidup kalian tercukupi. Kamu tau sendiri kan, biaya pengobatan Tante Grace sangat mahal. Kalau Om Revan nggak bekerja keras seperti ini, pengobatan Tante Grace kemungkinan nggak lancar." "Kamu juga pasti nggak mau kehilangan Tante Grace kan?" "Kamu udah dewasa, suatu saat kalau kamu punya istri, kamu pasti akan merasakan bagaimana susahnya mencari uang untuk hidup kalian nanti. Jadi, jangan terus berburuk sangka sama Om Revan, Om Revan pasti akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Tante Grace." Nai menghela nafas, dia menepuk bahu Gabriel, "Kamu harus selalu kuat Gab, demi mama kamu." Arlan dan Arlin lalu keluar bersama dengan ayahnya. Nai menoleh ke arah tangga, "Itu mereka udah keluar." "Kak James udah pulang?" Nai mengangguk, "Baru sampai tadi malam. Awalnya James yang mau ajak Arlan sama Arlin jalan-jalan karena mereka yang mau, tapi aku ngelarang karena pasti James masih capek, dan kebetulan kamu mau ajak mereka jalan-jalan, jadi mereka seneng." Gabriel berdiri, lalu mendekati Arlan dan Arlin, "Ayo kita pergi sekarang, kalian pasti udah nggak sabar buat jalan-jalan kan?" Arlan Arlin sama-sama mengangguk, Arlin lalu berkata, "Iya Om, ayo pergi sekarang." "Kak Nai, James, kita pergi dulu yaa.." "Hati-hati Gab." "Oke." Gabriel lalu membawa Arlan dan Arlin masuk ke dalam mobil, mereka lalu berangkat. ****** Gabriel menghentikan mobilnya di area parkir taman bermain. Gabriel melepaskan seatbelt dirinya dan juga Arlan, lalu keluar untuk membuka pintu. Gabriel membuka pintu depan, lalu membantu Arlan turun dari mobil, setelah itu Gabriel membuka pintu belakang, lalu membantu Arlin turun dari mobil. Gabriel sengaja membawa Arlan dan Arlin ke teman bermain yang lokasinya tidak jauh dari sekolah Arlan dan Arlin. Kedua anak itu langsung berlari dan bermain disana, sedangkan Gabriel mencari tempat duduk. Gabriel duduk di kursi panjang warna putih. Melihat sekelilingnya, Gabriel hanya melihat ibu-ibu yang tengah menjaga anak-anaknya bermain. Beberapa menit kemudian, Gabriel baru melihat seorang perempuan cantik yang baru saja datang. Gabriel tersenyum tipis, ternyata informasi yang dia dapatkan memang benar, Renatta sering kali pergi ke taman bermain ini setiap weekend. "Ibu Renatta, tumben baru datang? Bisanya datang lebih awal." Tanya salah satu ibu-ibu. Karena Renatta sering kali pergi kesana, banyak ibu-ibu yang sudah mengenalnya. Anak-anak mereka pun banyak yang menjadi murid Renatta, karena itu Renatta dan beberapa ibu-ibu disana terbilang cukup dekat. Kadang mereka berbincang-bincang tentang anak-anak saat berada di kelas, tak jarang juga yang bertanya hal pribadi, seperti Renatta sudah punya pacar atau belum, atau ada rencana untuk menikah atau belum. Renatta tersenyum, "Iya, tadi ada urusan sebentar, jadi datangnya agak siangan. Kalo gitu, saya ke sana dulu ya." "Silahkan Bu Renatta." Renatta berjalan menuju kursi panjang yang sedang Gabriel duduki juga. Tapi Renatta tidak bisa melihat wajah Gabriel, karena Gabriel duduk membelakanginya. Renatta mulai membaca buku yang dia bawa. Gabriel menghadap ke belakang, lalu berkata, "Novel thriller?" Renatta sontak kaget, dia menoleh ke samping, wajahnya langsung menghadap wajah Gabriel. Renatta refleks menggeser tubuhnya, "Kamu?! Kamu ngapain disini?" "Ini tempat umum, siapapun boleh datang kesini." Gabriel berdiri, dia mengubah posisi duduknya menjadi duduk di samping Renatta. Renatta sengaja duduk berjauhan dengan Gabriel karena Renatta merasa tidak nyaman dengan Gabriel. "Nggak perlu jauh-jauh duduknya, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo." Renatta menggeser duduknya sedikit ke tengah. "Gue kesini sama keponakan gue." "Maksud kamu Arlan sama Arlin?" Gabriel mengangguk, "Hm, mereka lagi main disana." Gabriel menunjuk ke arah dimana Arlan dan Arlin tengah bermain, Renatta pun melihatnya, Renatta berkata seraya melihat Arlan dan Arlin, "Baru kali ini saya liat laki-laki seumuran kamu, mau nemenin anak-anak bermain. Bisanya mereka itu nggak mau karena males jagain anak-anak anak. Mereka lebih memilih buat main sendiri sama temen-temen sebayanya." "Dan sekarang lo liat kan? Nggak semua cowok kayak gitu." Renatta mengangguk pelan, "Memang jarang ada laki-laki yang kaya gitu. Dan saya respect sama laki-laki yang mau jagain anak-anak tanpa mengeluh." "Kenapa?" "Karena saat laki-laki seumuran kamu sudah biasa menjaga anak kecil, suatu saat kalo udah nikah mereka pasti tau bagaimana caranya bisa menyenangkan anaknya nanti. Mau menuruti permintaan anaknya tanpa mengeluh atau marah-marah." "Selain itu, mereka juga bisa tau kalau menjaga anak itu bukan hal yang mudah. Nggak mudah buat membujuk anak-anak saat mereka rewel, atau membujuk anak-anak untuk melakukan apa yang kita inginkan sedangkan anak itu nggak mau nurut." "Banyak di luar sana anak-anak yang kurang perhatian orang tua mereka. Sayang banget, padahal mereka adalah penerus bangsa. Kalo mereka kurang perhatian, saya takut anak-anak itu akan jadi anak yang nakal karena nggak dapat perhatian dari orang tua. Anak-anak akan berpikir kalo orang tua mereka aja nggak peduli sama mereka." Gabriel tersenyum tipis, dia bahkan mendengar kata-kata Renatta dengan sangat serius. Gabriel speechless mendengarnya, Renatta sangat menyayangi anak-anak karena itu Renatta respect sama laki-laki yang bisa menjaga anak kecil dengan baik. "Lo bahkan belum nikah kan? Tapi lo bicara seakan-akan lo udah nikah dan punya anak." "Kamu lupa? Saya mengajar anak-anak di sekolah, jadi saya tau gimana susahnya ngurus mereka. Kadang mereka ada yang berantem terus nangis, jadi saya harus bisa nasehatin mereka biar nggak berantem. Walaupun mereka bukan anak-anak saya, tapi saya mengurus dan menjaga mereka seperti anak saya sendiri. Dan itu nggak gampang." Renatta kembali membaca buku, Gabriel menatapnya dari samping. Saat Renatta sedang membaca, Renatta terlihat sangat manis. "Cewek kaya lo suka juga sama novel Thriller?" "Emangnya kenapa kalo saya suka novel Thriller? Itu nggak aneh sama sekali." "Gue nggak bilang lo aneh, gue cuma heran aja. Gue pikir, lo lebih suka novel yang romantis-romantis seperti kebanyakan cewek-cewek." "Saya suka novel roman, tapi saya lebih suka baca novel thriller." "Kenapa?" "Lebih suka cerita yang menegangkan." "Boleh gue liat buku lo?" Renatta mengangguk, dia memberikan buku itu pada Gabriel. Gabriel lalu membaca judulnya, "Misteri Pembunuhan Berantai?" "Jarang banget cewek yang suka novel kayak gini karena takut dan merinding bacanya, tapi saat lo yang baca, lo kelihatan santai banget." Lanjut Gabriel. "Tapi menurut saya, itu sangat seru." Gabriel menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman manis. Setelah berbincang-bincang dengan Renatta, Gabriel benar-benar ingin mengenal Renatta lebih jauh. Dan Gabriel merasa nyaman saat berada di dekat Renatta. "Lo udah lama ngajar di taman kanak-kanak?" Renatta menggeleng, "Baru mau 1 tahun." "Kenapa lo mau ngajar disana? Walaupun gue nggak berpengalaman, tapi gue tau gaji disana sedikit." "Sedikit atau banyak, saya tetap bersyukur. Kerja bukan melulu soal uang, tapi bisa mengajari anak-anak, melihat anak-anak tertawa senang saat bermain, sudah membuat kita merasa bahagia." Gabriel tersenyum menatap Renatta, Gabriel memang baru pertama kali mengenal Renatta, tapi Gabriel sudah sangat yakin kalau Renatta benar-benar perempuan yang baik dan tulus. Gabriel mengulurkan tangannya, Renatta mengerutkan dahinya. "Gue Gabriel, Gabriel Rendell. Kemarin gue nggak kasih tau nama gue, dan sekarang gue udah kasih tau lo." Renatta tersenyum seraya geleng-geleng kepala, "Saya Renatta, Renatta Amelia." "Senang bisa kenalan sama lo." "Kalo bisa, jangan panggil lo gue, nggak sopan. Saya itu lebih tua dari kamu." "Emang umur lo berapa? Maksud aku, aku pikir kamu nggak setua itu." "Kamu bisa tebak sendiri, kira-kira umur saya berapa." Gabriel menatap wajah Renatta. Renatta memang terlihat lebih dewasa darinya. "23 tahun." Renatta menggeleng, "25 tahun." "25 tahun?" Tanya Gabriel memastikan. Renatta mengangguk, "Kenapa? Kamu kaget?" "Itu berarti kamu lebih tua dari aku 4 tahun?" "Jadi, umur kamu 21 tahun sekarang?" Gabriel mengangguk, "Kalo gitu, aku harus panggil kamu apa? Ibu? Kakak? Atau mbak?" "Panggil Renatta saja sudah cukup." Sebenarnya Gabriel ingin sekali menanyakan hal yang lebih pribadi, tapi dia tidak berani. Mereka sempat diam satu sama lain, setelah itu Gabriel memutuskan untuk bertanya saja. "Apa kamu udah punya pacar? Atau suami mungkin?" "Kamu tau umur saya 25 tahun, jadi kamu berpikir saya sudah punya suami, iya kan?" Gabriel mengangguk, memang benar, Renatta sudah dewasa, kemungkinan Renatta sudah menikah bisa terjadi. Gabriel hanya ingin memastikkan saja. Selain itu, Gabriel jadi bisa mengontrol dirinya sendiri untuk tidak jatuh cinta dengan Renatta, karena kalau Renatta benar-benar sudah punya suami, Gabriel mungkin tidak bisa menarik perasaanya kembali. "Saya belum menikah." Gabriel menautkan kedua alisnya, "Belum menikah, itu berarti belum punya suami?" Renatta mengangguk, "Belum menikah, artinya belum punya suami." Gabriel menghela nafas, dia benar-benar lega. "Saya belum punya rencana untuk menikah karena masih banyak yang harus saya capai lebih dulu. Saya belum bisa membahagiakan ibu saya." Gabriel sangat menyukai cara pemikiran Renatta. Mereka lalu mengobrol banyak hal. Masalah apapun mereka jadikan obrolan, mereka mengobrol seakan sudah mengenal lebih lama padahal mereka baru sebentar saling mengenal. Baru kali ini ada perempuan yang bisa membuat Gabriel banyak bicara. Biasanya Gabriel akan bersikap cuek, tapi mengobrol dengan Renatta sangat nyambung membuat Gabriel enggan untuk berhenti berbicara. Jam menunjukkan pukul 13.00, sudah waktunya Arlan dan Arlin makan siang. "Udah jam 1, jamnya Arlan sama Arlin makan siang." "Kalian pergi aja, kasihan mereka pasti lapar." "Gimana kalo kamu ikut kami makan siang sekalian, Arlan Arlin pasti seneng kalo kamu ikut sama kami." "Saya--" Arlan Arlin berlarian ke arah Gabriel. "Om, Arlan lapar." "Arlin juga." Gabriel menatap Renatta, berharap dia mau menuruti ajakannya. Renatta lalu mengangguk membuat Gabriel tersenyum bahagia. Mereka berempat lalu pergi untuk makan siang bersama-sama. ****** Gabriel mengantarkan Renatta pulang ke rumah setelah mereka makan siang. Kini Gabriel sudah sampai di depan rumah Renatta. "Terima kasih atas tumpangannya, dan juga makan siangnya." Gabriel mengangguk pelan. Renatta lalu membuka pintu dan turun dari mobil. Gabriel kembali menjalankan mobilnya dan pergi dari sana. Setelah mobil Gabriel sudah pergi jauh, Renatta lalu masuk ke dalam rumah. Setelah mengantar Renatta, Gabriel lalu mengantarkan Arlan dan Arlin. Nai melihat mobil Gabriel berhenti di depan rumahnya. Gabriel, Arlan dan Arlin turun dari mobil. Dua anak itu berlari ke arah ibunya, sedangkan Gabriel berjalan di belakangnya. "Terima kasih Gab, kamu udah mau ajak Arlan Arlin jalan-jalan." "Sama-sama kak. Kalo gitu, aku pulang dulu." "Hati-hati." *******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN