Episode 13

1911 Kata
Gabriel berlari masuk ke rumahnya, rasa khawatir menguasi dirinya. Beberapa menit yang lalu Gabriel mendapatkan kabar dari Nai bahwa Grace tiba-tiba pingsan. Gabriel yang sedang bersama Renatta, langsung pamit pulang. Hujan lumayan deras, namun Gabriel menerjangnya. Gabriel membawa motornya dengan kecepatan penuh, dia sangat khawatir dengan kondisi ibunya. Tubuh Gabriel bahkan basah kuyup, dia tidak peduli itu. Gabriel langsung berlari ke kamar ibunya. Di sana, sudah ada Nai yang menjaga Grace. "Gabriel?" "Kak Nai? Gimana keadaan mama?" "Kondisi Tante udah membaik Gab. Tadi dokter udah memeriksanya. Sekarang, Tante sedang tidur, mungkin karena kecapekan jadi jatuh pingsan." Gabriel benar-benar sudah sangat ketakutan, hatinya sangat tidak tenang. Banyak sekali hal yang Gabriel pikirkan, apalagi kondisi ibunya memang tidak sehat. Nai melihat pakaian Gabriel yang basah kuyup, "Gab, mending kamu ganti baju dulu. Takutnya nanti kamu sakit." "Nggak kak, aku disini aja, jagain mama." "Kamu ganti baju aja, biar kakak yang jagain Tante." Gabriel lalu mengangguk, "Kalo gitu, Gabriel ganti baju dulu. Tolong jagain mama kak." "Iya." Gabriel lalu pergi ke kamar untuk berganti pakaian. Saat berganti pakaian, ponsel Gabriel berbunyi. Renatta yang meneleponnya, Gabriel memilih untuk memakai pakaiannya lebih dulu, setelah itu dia baru mengangkat telepon dari Renatta. "Halo?" "Gabriel, kenapa kamu lama mengangkat telepon dari saya?!" "Maaf, tadi aku lagi ganti baju." "Kamu baik-baik aja kan?" "Aku baik-baik aja Ren. Kenapa? Apa kamu khawatir?" "Gimana saya nggak khawatir, tiba-tiba aja kamu pulang padahal lagi hujan deres. Apa semua baik-baik aja? Kamu belum memberitahu saya apa yang terjadi, kenapa kamu tadi kelihatan ketakutan gitu?" Gabriel tersenyum karena Renatta mengkhawatirkannya. "Terima kasih Renatta, kamu udah khawatir sama aku. Tapi kamu tenang aja, semuanya baik-baik aja kok. Tadi, ada sedikit masalah jadi aku harus buru-buru pulang." "Syukurlah. Saya lega sekarang." "Renatta, sudah dulu ya, aku masih ada urusan." "Iya." Gabriel menutup teleponnya, setelah itu dia kembali ke kamar ibunya. Saat Gabriel hendak masuk ke kamar ibunya, dia mendengar ibunya tengah berbicara dengan Nai. Gabriel mengurungkan niatnya, dia berdiri di balik pintu. "Nai, tolong jangan katakan sama Gabriel, tentang apa yang udah terjadi sama Tante." "Kenapa Tante nggak mau bilang sama Gabriel kalo tadi Tante sempet berantem sama Om Revan? Dan Om Revan malah pergi dari ninggalin Tante." "Kamu tau sendiri gimana hubungan Gabriel sama Mas Revan kan? Kalo sampai Gabriel tau tentang hal ini, Tante nggak tau apa yang akan Gabriel lakukan. Hubungan Gabriel sama papanya pasti semakin buruk. Tante nggak mau hal itu terjadi Nai." "Tapi---" Belum melanjutkan perkataannya, Gabriel lebih dulu masuk ke kamar dengan rasa marahnya. "Kenapa mama harus bohong sama Gabriel?" Grace dan Nai terkejut melihat Gabriel datang tiba-tiba. "Gabriel?" Ucap Grace. Gabriel mendekat, "Kenapa ma? Alasan mama ngelakuin ini karena mama nggak mau hubungan Gabriel sama papa memburuk. Papa sendiri yang membuatnya semakin buruk. Kalo aja papa nggak nyakitin mama, Gabriel juga pasti nggak akan benci sama papa." "Udah cukup ma, udah cukup mama bersikap baik sama papa. Udah cukup Gabriel liat mama nangis karena papa. Dan sekarang, papa sampi buat mama pingsan. Gabriel udah nggak tahan lagi ma. Gabriel mau cari papa!" Gabriel benar-benar sudah habis kesabaran. Kali ini papanya sudah sangat keterlaluan, Gabriel selama ini sudah menahan emosinya, tapi kali ini Gabriel tidak bisa menahannya lagi. Laki-laki seperti itu tidak pantas di panggil papa, karena Gabriel tidak membutuhkan papa seperti dia. "Gabriel, kamu mau kemana?!" "Gabriel mau ke kantor. Papa harus tau tanggung jawab sama apa yang sudah dia lakuin sama mama." "Jangan Gabriel!" Grace melarangnya. "Kenapa ma? Setelah apa yang sudah papa lakuin, mama masih aja belain papa?" "Gabriel, kalo kamu kesana, masalah akan semakin rumit. Yang penting, sekarang mama sudah baik-baik aja." "Tante Grace bener Gab. Lagipula hujan masih deres, kalo kamu pergi kesana dengan kondisi kayak gini, kita takut terjadi sesuatu sama kamu. Kamu nggak mau kan kondisi Tante Grace memburuk lagi karena mengkhwatirkan kamu?" Gabriel menghela nafas saat melihat kondisi ibunya masih lemah. Gabriel memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Apa yang Nai katakan benar, Gabriel tidak mau kondisi ibunya kembali memburuk karena keegoisannya. Gabriel duduk di sisi ranjang, dia memegang tangan Grace lalu mengecupnya, "Baiklah, Gabriel nggak akan kemana-mana. Gabriel bakal jagain mama disini." Grace tersenyum seraya mengelus kepala Gabriel, "Gabriel, anak mama." "Mama harus bisa jaga diri mama baik-baik. Gabriel nggak bisa liat mama seperti ini terus. Mama nggak tau gimana khawatirnya Gabriel saat denger kabar kalau mama pingsan." "Gimana bisa mama nggak tau sayang, mama tau kamu sangat mengkhawatirkan mamamu ini. Selama ini kamu yang selalu ada untuk mama, jagain mama, jadi mama pasti tau seberapa khawatirnya kamu sama mama." "Kalo gitu, mama harus bisa jaga kesehatan mama biar Gabriel nggak khawatir lagi." "Iya sayang." Seketika Gabriel menitihkan air matanya. Ibunya merupakan perempuan yang baik dan lembut. Tapi kenapa ibunya harus mendapatkan seorang suami seperti papanya. Seorang suami yang tidak bisa menjaga istrinya sendiri. Seorang suami yang hanya bisa menyakiti istri dan anaknya sendiri. Gabriel hanya berharap sesuatu yang indah terjadi dalam hidupnya. Nai terharu melihat keduanya, mereka terlihat saling menyayangi dan saling menguatkan satu sama lain. Sayang, hidupnya tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. "Mama makan ya? Mama pasti belum makan kan?" Grace mengangguk, Nai berkata, "Kalo gitu, biar kakak aja yang ambil makanan ya." "Makasih kak" "Hm." Nai lalu pergi ke dapur. Beberapa menit kemudian, Nai kembali ke kamar membawa makanan. Gabriel mengambilnya, dia lalu menyuapi ibunya. "Mama harus makan yang banyak, biar cepet sembuh. Gabriel janji, kalo mama sudah sembuh, Gabriel bakal bawa mama jalan-jalan. Terserah mama mau kemana, Gabriel ikut." "Bener Gabriel? Udah lama sekali mama nggak jalan-jalan." "Tapi mama harus sembuh dulu, oke?" Grace mengangguk, Gabriel kembali menyuapinya. Gabriel tersenyum bahagia melihat ibunya bersemangat untuk sembuh. Gabriel yakin, ibunya pasti akan segera sembuh. Mereka bertiga lalu saling mengobrol, membicarakan banyak hal, saling tertawa saat menceritakan hal lucu. "Jadi Gabriel, tadi kamu pergi kemana, sama siapa, hm?" Tanya Nai. "Kamu pasti pergi sama Renatta, iya kan?" Giliran Grace yang bertanya dengan nada jail. "Jadi, Tante tau soal Bu Renatta juga?" "Hm. Gabriel sering kali curhat soal Renatta." Ucap Grace seraya melirik Gabriel. "Gabriel memang tadi pergi sama Renatta." "Terus gimana? Apa udah ada kemajuan?" "Kemajuan apa maksud kakak?" "Kemajuan hubungan kamu sama Bu Renatta lah. Kamu udah nyatain perasaan kamu ke dia apa belum?" Gabriel menggeleng, Nai berdecak, "Kenapa Gab? Bukannya kamu cinta sama Bu Renatta? Harusnya kamu kasih tau Bu Renatta kalo kamu suka sama dia. Sebelum ada laki-laki lain yang nyatain perasaannya dulu sama Bu Renatta. Sebelun semuanya terlambat Gab, kamu harus gerak cepat." "Iya kan Tante?" Ucap Nai pada Grace. Grace menyetujuinya, "Nai bener Gab, kalo kamu bener-bener cinta sama Renatta, kamu harus mengungkapkan perasaan kamu secepatnya. Sebelum terlambat, kamu akan menyesal." Gabriel lalu teringat dengan kejadian di taman tadi, tadinya Gabriel ingin mengatakan pada Renatta kalo dia mencintainya. Tapi tiba-tiba ada anak jatuh tepat di depan mereka, jadi Gabriel mengurungkan niatnya. Dan disitu Gabriel berpikir, mungkin itu bukan waktu yang tepat. Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menyatakan cintanya pada Renatta? Gabriel sendiri belum bisa memikirkannya. "Gabriel nggak berpengalaman buat nyatain perasaan Gabriel sama perempuan kak. Gabriel bingung harus mulai dari mana." "Kamu tenang aja Gab, kakak yang akan bantu kamu. Kakak kan perempuan, jadi kakak tau apa yang disukai perempuan mana yang nggak disukai perempuan. Serahkan semuanya sama kakak, kakak yang akan atur semuanya." Gabriel lalu menatap ibunya, Grace mengangguk padanya agar Gabriel mengikuti rencana Nai. "Oke kak. Jadi, apa rencana kakak?" Nai tersenyum miring, yang pasti rencananya akan berhasil. ******* Malam harinya, Gabriel menyelimuti tubuh ibunya, lalu mengecup dahinya dengan lembut. Gabriel lalu pergi, namun saat dia berbalik, Gabriel melihat Revan masuk ke kamar. Seketika emosi Gabriel kembali lagi, dia berbisik kesal pada Revan, "Ngapain papa disini?" "Kenapa? Apa papa nggak boleh masuk ke kamar papa sendiri?" "Terserah papa mau kemana, tapi sekarang aku nggak mau mama sampai bangun gara-gara papa. Mending papa keluar." "Gabriel, papa nggak akan mengganggu mama kamu. Jadi, kamu tenang aja." Gabriel menarik tangan Revan untuk keluar dari kamar. Gabriel tidak ingin mereka menganggu Grace yang tengah tidur. "Ada apa Gabriel? Kenapa kamu narik tangan papa?" "Gabriel mau tanya sama papa, sebenarnya apa yang terjadi sama mama? Papa bertengkar sama mama kan? Apa yang papa lakuin sampai kalian bertengkar hah? Papa pasti ngelakuin sesuatu yang buat mama marah, iya kan?!" "Kenapa kamu selalu nyalahin papa saat papa sama mama bertengkar Gab? Kenapa kamu tidak bertanya langsung sama mama kamu? Mama kamu lebih tau apa yang sudah terjadi." Revan memang benar, Gabriel selalu menyalahkan Revan atas semua pertengkaran orang tuanya itu. Ada alasan kenapa Gabriel selalu seperti itu, karena memang Gabriel tau bagaimana sikap Revan pada ibunya itu. Sikap yang selalu mengabaikan dan membuat ibunya menangis. Tadi, Gabriel juga tidak bertanya pada ibunya apa yang membuat mereka bertengkat. Gabriel justru langsung menyalahkan Revan. "Emangnya apa yang mama lakuin? Selama ini, papa yang selalu buat mama menangis. Jadi, apa yang terjadi saat ini, semua itu pasti karena sikap papa." "Gabriel, kalo kamu tidak tau masalah yang sebenarnya, jangan menuduh papa seolah-olah papa adalah orang jahat." "Kamu pasti tidak bertanya kan sama mama kamu, apa yang membuat kami bertengkar. Karena kamu selalu menuduh papa atas semua yang terjadi sama mama. Tapi tidak apa-apa Gabriel, papa tau kamu marah sama papa karena kamu khawatir sama mama kamu. Papa mengerti." Entah kenapa tiba-tiba Gabriel tidak bisa berkata apa-apa lagi. Revan membuatnya kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya. Tapi bagaimana pun juga, Revan sudah membuat ibunya pingsan. Gabriel tidak bisa memaafkan perbuatannya. "Apa papa tau, apa yang sudah papa lakuin? Karena perbuatan papa, mama pingsan. Apa papa tau itu, hah?" Revan terkejut, "Pingsan? Kenapa tidak ada yang memberitahu papa Gabriel?" Gabriel tersenyum smirk, "Untuk apa aku kasih tau papa? Kalaupun papa tau keadaan mama, papa juga nggak peduli kan? Karena papa hanya peduli sama kerjaan papa." "Kenapa kamu berpikir seperti itu? Papa nggak sejahat itu, kalo pun kamu bilang sama papa, papa pasti bakal pulang. Jangan kamu pikir, papa nggak khawatir sama keadaan mama kamu Gab. Kalo kamu berpikir papa nggak peduli sama kamu dan mama kamu? Lalu untuk apa papa kerja keras untuk kalian semua? Papa kerja untuk mencukupi kebutuhan kita, untuk biaya pengobatan mama kamu. Kalo papa nggak peduli sama mama, sudah lama papa pergi saat papa tau mama kamu penyakitan Gabriel!" "Tapi sampai sekarang, papa masih disini. Walaupun papa kerja terus, tapi papa masih berada disamping mama. Papa nggak pernah ninggalin mama." "Jika kamu sudah menikah nanti, kamu pasti tau apa yang selama ini papa rasakan Gab. Bekerja keras untuk membiayai kebutuhan istri dan anak. Suatu saat, anak kamu pasti juga menanyakan kenapa kamu tidak ada waktu untuknya. Dan saat itu, kamu akan berada dalam posisi papa saat ini." "Nggak mudah untuk memberi tahu anak kita, kalo apa yang kita lakukan sebenarnya untuk kebaikan kita semua. Akan sangat sakit, saat anak kita menganggap kita adalah orang jahat yang nggak peduli sama keluarga. Dan saat itu kita nggak tau harus dengan apa kita menjelaskannya. Semuanya terasa sangat sulit." Gabriel speechless mendengarnya, dia bahkan sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Seketika Revan membuatnya memikirkan semua perbuatannya pada papanya itu. Gabriel bahkan merasa ada kesalahan dalam dirinya karena selalu menyalahkan Revan tanpa tau cerita yang sebenarnya. "Kalo papa bener-bener peduli sama mama, jangan pernah membuat mama menangis lagi. Karena satu tetes air mata mama, merupakan banyak kesakitan untuk aku. Ingat pa, air mata mama sangat berarti, dan setiap kali mama menangis, hati aku merasa sangat sakit. Jadi, kalau papa buat mama menangis, itu berarti papa udah nyakitin aku juga." Gabriel lalu pergi ke kamarnya, Revan menghembuskan nafas berat. Setelah itu dia masuk ke kamarnya. *******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN