Megan duduk melamun di dekat jendela kaca, air matanya menggenang begitu saja, ada rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Rasa perih di bawah sana masih terasa, bagaimana tidak jika di perlakukan tak adil seperti ini, di tiduri sampai beberapa kali dalam sehari.
Suara pintu terbuka, Megan merasa gemetar ketika melihat Mark menghampirinya. Wajah yang sangar dan tatapan mata segelap malam itu terlihat berkobar.
"Kamu mau apa?" tanya Megan, menyeka air matanya dan menggeser duduknya. Entah mengapa setiap melihat Mark rasa takut merasuki dirinya.
Mark duduk di sampingnya, perempuan itu pun menekuk kakinya, ia di penuhi rasa takut saat ini, meski ia berusaha tak memperlihatkan kepada lelaki itu betapa takutnya ia saat ini.
Mark mengangkat dagu Megan, menatap dengan tatapan segelap malam. Ada rasa sepi di dalam sana, ada rasa sakit di dalam sana.
"Kau mau apa?" tanya Megan, mencoba melepas genggaman Mark dari dagunya saat ini.
"Kau tak perlu takut padaku," kata Mark.
"Lepaskan aku!" Megan meludahi wajah Megan, dan memalingkan wajahnya.
"Kau—" Mark menampar wajah mulus Megan, entah sudah keberapa kali wajah cantiknya terkena tamparan dari lelaki yang kini tengah menatapnya dengan wajah tak suka.
"Kau selalu saja membuatku emosi!" Mark geram, lalu beranjak dari duduknya. "Apa kau tak bisa menerima nasibmu saja? Tak perlu melawanku sampai sekeras ini."
"Menerima nasibku? Nasib yang akan kau hancurkan?" tanya Megan dengan mata yang menyala.
Mark menoleh menatap manik mata Megan. "Jadi, kau pikir ada yang gratis di dunia ini?"
Megan menyeringai menatap wajah Mark yang kini tengah menautkan alis. Ia hanya berpikir berani sekali perempuan ini menatapnya demikian.
"Di dunia ini tak ada yang gratis, Nona, kau pikir aku memberikan uangku kepada orang miskin karena aku kasihan pada mereka? Itu salah. Aku memberikan uang kepada mereka karena aku membutuhkan bayaran yang lebih mahal." Mark menyeringai mengerikan bak iblis.
"Kau memang b******k! b******n!" umpat Megan mencoba menahan air matanya yang hampir luruh. Ia hanya tak ingin terlihat lemah didepan lelaki yang sudah mengambil seluruh hidupnya.
"Terserah apa katamu!" bentak Mark. "Jika kau tak suka terserah. Aku tidak pernah melarangmu. Bahkan jika kau menolakku, kuliahmu pun akan terancam. Kau bisa didepak dari kampus. Dan, keluargamu kecewa. Lalu mereka bisa mati karena kecewa." Mark menunjuk Megan yang kini terdiam. Apa sih yang tidak bisa di lakukan seorang Mark. Bahkan hal yang tidak mungkin bisa jadi mungkin.
Seringai pun keluar dari wajah tampannya. Ia bisa saja membuat Megan meninggalkannya. Dan ia bisa mencari perempuan lain yang bisa ia jadikan simpanan, bahkan tanpa mencarinya pun semua perempuan akan berbondong-bondong mendatanginya.
"Kau memang b******k! Jangan pernah menyentuh keluargaku. Aku tidak akan diam begitu saja jika kau menyentuh mereka."
"Wah. Aku jadi takut." Mark tertawa terbahak-bahak. Membuat Megan tak bisa mengatakan apa pun lagi. Lawannya kali ini sangat berat. "Apa kau seperti ini karena kekasih yang kau cintai mengkhianatimu dengan cara ini? Selagi b******k itu belum mengembalikan uangku, kau akan tetap bersamaku."
Megan tak memiliki tenaga lagi. Ia sudah pasrah akan jalan hidupnya yang memang sudah ditakdirkan seperti ini. Melawan seperti apa pun tidak akan membuatnya menang, meski tak seharusnya ia menyerah begitu saja.
Mark bukan lelaki sembarangan yang bisa menarik ulur keputusannya.
"Kenapa kau diam? Kau sudah tidak punya kata-kata?" tanya Mark. "Aku kemari bukan mau berdebat dengan kamu. Aku kemari hanya mau menyampaikan kita akan kembali ke Kanada, dan kau akan tinggal bersamaku."
"Tinggal bersamamu? Apa kau pikir, aku ini istrimu? Kau sudah memiliki istri. Tinggal saja dengan istrimu."
"Kau diam! Jangan melawan kata-kataku. Ikuti saja perintahku." Mark melangkah meninggalkan Megan yang kini tengah duduk termenung. Usaha apa pun yang ia lakukan selalu tak berhasil. Ia tak bisa kabur dari genggaman Mark.
Mark membanting pintu kamar begitu keras, sehingga membuat semua bodyguardnya terkejut.
***
Kanada.
Mark berjalan memasuki mansion dimana istrinya tinggal. Ia sudah memiliki istri, namun belum memiliki anak dari pernikahan yang sudah terbilang cukup lama.
Kehidupan Mark jadi tidak membahagiakan, ia selalu kesepian meski sudah memiliki Katie di sampingnya.
Seorang perempuan bak model keluar dari lift, terkejut melihat suaminya sudah pulang.
"Sayang, kau sudah pulang?" tanya Katie, memeluk suaminya. Namun Mark tak membalas pelukan istrinya.
Dulunya, mereka menikah karena cinta. Namun, 7 tahun menikah kebahagiaan itu hambar begitu saja, bukan karena Mark tak mencintai istrinya lagi, namun ada hal yang di ketahui Mark tentang Katie istrinya, yang tak bisa ia jelaskan meski ia berusaha tegar.
Karena itu, ia selalu mencari kebahagiaan pada perempuan lain diluar sana. Sebagai istri, Katie memang terluka hatinya, namun ia tak bisa melawan keputusan bahkan keinginan suaminya. Karena tahu bagaimana Mark ketika ia murka. Yang terpenting bagi Katie, posisinya sebagai istri tetap miliknya.
"Bagaimana pekerjaan kamu?" tanya Katie, menepuk lembut d**a suaminya.
"Lancar," jawab Mark.
"Syukurlah," ucap Katie. "Dane!" panggil Katie.
Seorang perempuan berseragam hitam menghadap.
"Iya, Nyonya?" tanya Dane.
"Siapkan makanan untuk Tuan," perintah Katie.
"Baik, Nyonya," jawab Dane, membungkukkan badannya.
"Pergi sekarang!"
Dane pun meninggalkan Katie dan Mark yang masih saling diam.
"Aku butuh istirahat, aku ke kamar dulu," kata Mark, lalu melangkah meninggalkan istrinya yang masih berdiri ditempatnya.
"Sayang, aku—"
"Aku butuh istirahat," Kata Mark, berhasil membuat Katie diam.
Pikiran Mark selalu saja tertuju kepada Megan yang kini tinggal disalah satu rumah mewah miliknya. Ia sengaja meninggalkan Megan di sana, agar setiap ia membutuhkan Megan, ia bisa mengunjunginya.
***
Megan menghela napas panjang, meski hatinya terus menangis, namun ia mulai membaik, hatinya yang terluka terganti dengan suara merdu ibunya yang tadi menelponnya.
Ia terlahir dari keluarga yang jauh dari kata sederhana. Ia memiliki dua adik yang masih sekolah. Dan, ibunya yang hidup menjanda.
Tak gampang bagi Megan sampai di sini, meski hal yang kini ia lakukan salah, namun hanya ini yang bisa ia lakukan untuk mempertahankan semuanya. Entah takdir apa yang Tuhan rencanakan untuknya.
Megan melangkah melihat ke arah dinding, semua dinding di rumah ini adalah kaca bening, yang memperlihatkan apa yang ada diluar sana.
Hamparan perkebunan yang luas membuat Megan sejuk melihatnya, ada rasa damai dihatinya saat ini.
Rumah yang di desain seperti rumah pedesaan, hanya ada rumput hijau yang mengelilingi rumah ini.
Rumah yang sepertinya dirawat dan dijaga dengan baik.
Bagaimana selanjutnya hidup yang akan ia jalani? Setelah ia sampai di Kanada. Bisakah ia jujur kepada keluarganya tentang hal yang ia alami? Dan, calon menantu kebanggaan ibunya yaitu Arley sudah menjualnya. Bagaimana jika ibunya kecewa?
.
.
Bersambung.