"Pak, ini tugas saya," ucap Zayda takut-takut. Pasalnya dia sudah telat menyerahkan tugas mata kuliah berdosenkan Kalvin.
Kalvin beranjak dari kursinya dan dia memojokkan Zayda hingga merapat pada papan tulis besar yang ada di kelas.
Zayda menelan salivanya kasar, berdua saja di kelas bersama sang dosen sudah membuatnya gugup apa lagi situasi saat ini, dosen muda itu begitu dekat dengannya. Hembusan nafas Kalvin dapat Zayda rasakan menerpa kulitnya dan membuat dirinya berdesir.
Mahasiswi cantik itu tidak berkutik di buat sang dosen. Hanya bisa terdiam membisu menatap Kalvin yang mengintimidasi.
"Kamu telat memberikan tugas kamu, Zayda!" cecar Kalvin tepat di dekat telinga sang mahasiswi.
Zayda mengigit bibir bawahnya menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara yang tidak sepantasnya dia keluarkan.
Hal itu justru membuat Kalvin gemas.
"Makadari itu kamu harus mendapat hukuman!" tambah Kalvin berbisik sensual.
Dengan tangannya Kalvin menarik dagu Zayda hingga bibir yang tergigit itu sontak terbuka dan membuat indra pengecap Kalvin mudah menyusup ke dalam.
Awalnya hanya Kalvin yang melumat bibir tipis Zayda, tapi lambat laun mahasiswi cantik itu membalas hal yang sama. Keduanya saling melumat, menyesap penuh gairah hingga decak penyatuan kedua bibir itu terdengar merdu menggema di kelas kosong berisi hanya mereka berdua.
Jemari lentik Zayda menyusup di rambut Kalvin dan meremas lembut ketika tangan sang dosen mulai menyusup masuk kedalam kaos yang dia pakai.
"Nghhh," gumam Zayda didalam ciumannya dengan Kalvin, karena pria itu mulai meremas salah satu bukit kembarnya dan memainkan puncaknya dengan jarinya.
Kaos ketat yang Zayda pakai sudah lolos dari tubuhnya, tersisa bra putih berenda yang menutupi kedua bukit indahnya, itupun hanya sebentar berada di sana karena dengan lihainya Kalvin melepas pengaitnya.
Sontak Zayda menutupi kedua aset berharganya dengan kedua tangan. Ini pertama kali seorang pria melihatnya sampai sejauh ini.
"Kenapa kamu tutupi, Za?" bujuk Kalvin seraya menarik tangan Zayda dan mengangkatnya ke atas kepala sang mahasiswa.
Seperti dua buah menggelantung yang sedang ranum-ranumnya sangat menggoda, membuat Kalvin tidak tahan untuk tidak mencicipi.
"Ahhh ...," pekik Zayda tertahan ketika indra pengecap sang dosen mulai membasuh sekeliling area puncak yang berwarna merah muda itu.
Kalvin menyeringai menatap mata Zayda yang sudah berkabut.
"Ssshhh ... Ahhh." Zayda berdesis karena Kalvin mulai menghisap. Hisapan lembut membuat tubuh mungil itu membusung dan gairah Zayda melambung tinggi menginginkan lebih dari hanya sekitar dadanya.
Perlahan tangan Kalvin menyusup masuk ke dalam rok Zayda, mengusap kemudian meremas gemas bokongnya. Tidak lama mulai bergerilya menyusup ke bagian depan, mengusap lembut.
"Ahhh ... Pak Kalvin," rintih Zayda.
Plop!
"Kenapa, Za?" Kalvin menyeringai, dia senang melihat mahasiswinya seakan memohon padanya.
"Oh my ... Ahhh ... Pak ... Sa-saya mau ...." Zayda terus mengerang. Semua karena jari Kalvin yang bermain liar di area sensitif Zayda di bawah sana.
"Kamu mau apa? Keluarkan saja jangan di tahan!" sahut Kalvin.
Kepala Zayda menggeleng cepat, sungguh dia sudah tidak tahan dengan permainan jari sang dosen di bawah sana, menggelitik gundukan kecil di bawah sana, tepat di sana membuat Zayda terbang tinggi sampai langit ke tujuh.
Zayda merutuki dirinya yang terbuai dengan permainan sang dosen hingga dia hampir mencapai puncaknya sekarang.
Kedua mata Zayda terpejam.
Lalu ...
TUK!
Sebuah benda mengenai kepala Zayda.
"Anjing, sakit!" eluhnya, spontan.
Gadis berwajah mungil yang sedari tadi merebahkan kepalanya di atas meja tersentak kaget saat sesuatu mengenai kepalanya.
"Sssttt, Zayda!" tegur suara di sebelah dengan setengah berbisik, meminta yang sedang mengeluh buru-buru membungkam mulut.
Zayda tidak mengerti bahasa isyarat yang diberikan sang teman, memilih mengabaikan peringatan itu. Yang ia tahu tidurnya terganggu begitu juga mimpinya. Ya, sang mahasiswi baru saja terbangun dari mimpi indahnya bersama sang dosen.
"Siapa yang berani ganggu gue, huh?" gertak Zayda, menatap tajam ke kanan dan kiri.
Meski kedua mata belum sepenuhnya terbuka, Zayda yang kesal bukan main terlihat sudah sangat siap bergelut dengan sosok yang mengganggu mimpinya.
"Ck, cari perkara jangan sama gue!" decaknya, belum menemukan si pelaku. "Ngaku buruan!"
"Saya yang lempar kamu," sahut seseorang. "Ke depan! Jangan jadi preman di belakang situ, Zayda Ilsa Mahajaya."
Mendengar ada yang menyebut lengkap nama panjangnya membuat Zayda mendadak merinding.
"Perlu saya ulangi?" kata pria berkacamata yang sedari tadi menatap ke arah Zayda, "Ke depan!" titahnya.
Lengan Zayda disikut. "Mampus. Apa kata gue, jangan molor jamnya Pak Kalvin, bodoh!" cerca teman sebangku Zayda.
Gadis itu memutar bola matanya malas. Bangkit dengan umpatan tertahan di tenggorokan.
"Ini sudah yang keberapa kali, Zayda?" tanya Dosen muda itu, perhatiannya masih pada tab di tangan.
"Gak tau, gak inget," balas yang ditanya. "Lagian Bapak segitu tertariknya sama saya, ya? Perasaan saya mulu yang ditegur di kelas ini."
"Karena cuma kamu satu-satunya yang berani tidur dan mengabaikan saya selama kelas berlangsung!" kelakar Kalvin, masih tenang meski mulai terpancing.
Dosen mata kuliah kesehatan mental itu dibuat kewalahan meladeni tingkah satu mahasiswinya ini. Untung saja sudah jadi keahlian Kalvin dalam bersabar dan mendengarkan. Andai dosen lain yang Zayda hadapi saat ini, sudah pasti didepak dari ruangan sedari tadi.
Zayda mendengus. "Ganteng doang, sukanya marah-marah. Perkara tidur doang jadi masalah," gumamnya menggerutu.
Kalvin yang mendengar gerutuan Zayda menutup tabnya, menatap lurus pada gadis bertubuh tinggi semampai itu. "Selesai kelas, temui saya."
"Buat apa, Pak?" tanya Zayda takut, takut kalau mimpinya jadi kenyataan. Mimpi bersetubuh dengan sang dosen. Meski hanya di dalam mimpi tapi rasanya dia benar-benar melakukannya tadi karena Zayda merasa area sensitifnya saat ini lembab dan basah. Seketika dia menggeleng kecil melenyapkan apa yang ada dibenaknya saat ini. Merutuki dirinya yang bisa-bisanya bermimpi m***m seperti itu bersama sang dosen.
"Konseling gratis. Saya lihat-lihat kamu memang harus diterapi," sindir Kalvin.
Kalimat Kalvin membuyarkan lamunan Zayda tentang mimpinya barusan.
Beberapa murid cekikian saat melihat perdebatan antara Zayda dan si dosen.
"Makasih, tapi saya gak gila!" sungut Zayda, membalas ejekan itu dengan wajah sinis. "Bapak kalau kurang pasien jangan maksa orang sembarangan, dong."
Kalvin Dirgantara, Dosen termuda di Fakultas Psikologi sekaligus Dokter Spesialis Kejiwaan itu hanya membalas dengan senyuman segaris khasnya.
"Saya beri dua pilihan. Mendapat nilai D atau temui saya?!" Kalvin berseru dingin. "Sabar memang tidak ada batasan, Zayda. Tapi saya tetap berkewajiban mendengar alasan kamu sebelum saya putuskan kamu tidak perlu ikut kelas saya sampai akhir."
Zayda membeku, tertegun menatap Kalvin yang sudah lebih dulu pergi usai menyampaikan teguran keras kepadanya.