"Lo udah lama nunggu gue," Dian mendekati Linggar.
"Lumayan, setengah jam gitu deh, gue tadi nelfon lo, tapi enggak lo angkat".
"Hape gue silent, jadi enggak tahu," Dian merogoh ponselnya di tas, ia memandang layar persegi itu.
"Iya nih, lo ternyata ada hubungi gue," Dian, memperlihatkan ponselnya.
Tita yang berdiri di dekat Linggar, lalu bersiap untuk pulang, karena Tita sungguh sangat letih, dan ingin tidur.
"Ling, gue balik ya, lo udah ada temennya kan,"
"Owh, iya deh, hati-hati di jalan," Linggar memandang Tita.
Sedetik kemudian, Tita memeluknya, "lo hati-hati ya di sana, kalau ada apa-apa hubungi gue,"
"Iya, lo tenang aja, gue cuma bentar di Bali,"
"Oiya, jangan jatuh cinta lagi sama mantan," Tita memperingati Linggar.
"Ya, enggak bakal lah gue jatuh cinta lagi, sama si b******k itu,"
"Baguslah kalau gitu, setidaknya gue enggak ada saingan untuk dapatin mantan lo yang hot itu,"
"Sarap lo,"
Tita lalu tertawa, melihat reaksi Linggar, "Biasa aja kali reaksinya, gue cuma becanda,"
"Kirain beneran,"
"Gue cabut dulu ya,"
"Iya, deh, kalau ngantuk singgah dulu ke indomaret, beli kopi,"
"Iya, gampang lah itu," ucap Tita, lalu menjauhi Linggar dan teman-temannya.
***
Linggar memandang Tita yang menjauhi, hingga menghilang dari pandangannya. Baginya Tita lebih dari saudara, selalu menjaga dan menyayanginya. Tapi sekarang tingkah Tita semakin menyebalkan, selalu membahas tentang sang mantan.
Linggar mendekatkan wajahnya ke telinga Dian, "Lo enggak ngasi tahu gue, kalau si b******k itu datang juga, lo sengaja," bisik Linggar, dan mengintrogasi Dian.
"Beneran gue lupa ngasi tau lo,"
"Kalau gue tau dia sama lo, lebih baik gue cari penerbangan berikutnya,"
"Jangan, lo kan sama gue !,"
"Lo mau tanggung jawab kalau gue bakalan bunuh dia sekarang juga,"
"Sadis bener lo, ya kan cuma di pesawat doang, biasa ajalah. Lagian kalian udah putus lama, anggap aja biasa-biasa aja. Kalau lo masih kesel, berarti lo belum move on,"
"Gue bukan belum move on, gue hanya enggak mau ada mantan disekitar gue,"
"Kalau enggak ada mantan, ya lo pacaran aja lagi sama dia,"
"Ogah," ucap Linggar, lalu berlalu pergi ke arah pintu masuk, mendekati petugas avsec yang berjaga.
***
Linggar memilih menunggu di Starbucks, sambil menunggu keberangkatan yang tinggal beberapa menit lagi, ia memilih menjauh dari, dua orang laki-laki itu. Sementara Dian sedang ke toilet sebentar. Sungguh ia tidak ingin melibatkan diri dari Darka. Jika ia dekat dengan si b******k itu, dikiranya ia masih berharap. Itu tidak akan terjadi, menjauh lebih baik.
Jujur ia memang memendam perasaan benci terhadap Darka, mendengar namanya saja sudah membuatnya kesal, apalagi bertemu langsung seperti ini. Rasa marah dan benci membuatnya semakin sakit.
Ia sebenarnya sadar sikapnya ini, sangat buruk pada fisik dan emosionalnya sendiri. Tapi mau gimana lagi, Ia sudah membenci siapapun bernama mantan. Jika ada yang bilang ia kekanakan, ya dirinya tidak mempermasalahkan, dirinya memang seperti ini.
Linggar menekuni ponsel, dan mulai mengecek akun i********:. Akun i********: nya sudah lebih lima ratus ribu pengikut. Linggar membuat instastory, memperlihatkan keberadaanya di bandara. Linggar menyesap kopi hangat itu, dan mulai memeriksa satu persatu notification masuk.
***
Sementara Darka hanya bisa memandang Linggar dari kejauhan. Wanita cantik itu bahkan tidak mau memandangnya, apalagi menanyakan apa kabar dirinya. Begitu bencinya kah wanita itu kepadanya. Padahal ini merupakan satu tahun ia tidak bertemu. Setidaknya ia masih terbesit rindu teramat sangat, kepada wanita cantik yang telah menghiasi hari-harinya dulu.
"Lo masih suka dia," ucap Liam, duduk di samping Darka.
"Menurut lo,"
"Menurut gue sih, iya,"
"Lo tau sendiri, gue sebenarnya gagal move on dari dia, bro,"
"Lo harus kejar dia bro,"
Darka menarik nafas, dan memandang Liam cukup serius,
"Lo liat sendiri dong, dia gimana. Liat muka gue aja dia enggak mau bro,"
"Dia begitu karena malu bro,"
Darka mengerutkan dahi mendengar kata malu di sana. Malu bagaimana si Liam maksud, terlihat jelas Linggar dengan tampang datar, dan jutek.
"Kalau lo bilang dia malu, dia tutup muka, tersipu-sipu, atau tertawa-tawa lah, liat gue. Gue bisa bedain mana cewek yang suka, dan malu bro,"
"Maksud gue, lo yang malu-maluin bro," tawa Liam lalu pecah.
"Tai lo," umpat Darka kesal.
Liam menghentikan tawanya, dan merangkul bahu Darka, "Lo mau balikkan sama dia,"
"Ya gue mau lah, cantik gitu,"
"Lo suka dia,"
"Masih nanya lagi, kalau gue enggak suka, gue enggak bakalan balik ke Jakarta kali. Mikirlah lo, ngeselin lama-lama ngomong sama lo,"
"Gue denger dia perawat,"
"Ya gitu deh,"
"Udah selesai,"
"Seharusnya tahun ini dia selesai,"
"Oke, gue bakalan bantu lo bro, dapatin si Ling-Ling itu,"
"Lo pasti nyuruh gue hamilin dia kan, ide lo sarap bro,"
"Tapi itu salah satu nya bro. Tapi gue punya cara lain,"
"Cara apa bro,"
"Lo harus yakin sama gue,"
"Kalau yakin sama lo, gue duain Sang Pencipta bro,"
"Banyak cara menuju Roma. Lo harus janji sama gue," bisik Liam pelan.
"Janji apa,"
"Kalau dia udah di tangan lo, lo langsung nikahi dia,"
"Ya iyalah, kalau dia mau sama gue,"
"Lo tenang aja ada gue, dia pasti jatuh di pelukkan lo lagi. Gini bro, lo pasti udah nidurin dia, waktu di New York dulu," tanya Liam penasaran.
"Menurut lo," Darka seketika tertawa, menurutnya itu terlalu privacy yang harus di bahas.
"Jawab dulu bro,"
"Itu urusan ranjang gue bro, lo enggak perlu tau lah,"
"Gue laki-laki bro, tau sendirilah kalau berduaan sama cewek di kamar, enggak mungkin enggak ngapa-ngapain. Gue yang berapa jam sama Dian, pikiran gue udah hampir gila. Terlebih lo yang berminggu-minggu sama dia,"
"Gila lo,"
"Setidaknya lo yang pertama yang pernah ngerasain, dia enggak bakalan lupa sama lo,"
"Kampret lo," ucap Darka.
***
Linggar menaruh kopernya di kabin pesawat. Ia lalu duduk tepat di pojok dekat jendela kabin. Ia menyandarkan punggungnya, ia akan tidur selama perjalanan nanti. Baginya perjalanan ini merupakan perjalanan yang paling menyebalkan yang pernah ia jalani. Linggar melirik bangku di sebelahnya masih kosong. Ia memandang Liam dan Dian sudah mendapati tempat duduk di sebelah kiri.
Sedetik kemudian, ia memandang Darka berjalan mendekat. Jangan bilang si b******k itu akan duduk di sampingnya, laki-laki itu menaruh koper di kabin yang sama.
"Tempat aku di sini," ucap Darka, mencoba menjelaskan.
Linggar memilih mengalihkan pandangnya ke samping, tanpa menjawab pertanya laki-laki itu. Darka hanya bisa menarik nafas, wanita di sampingnya ini masih sama seperti yang dulu. Padahal ia ingin mendengar suara serak-serak sexy itu.
Selama perjalanan hanya hening, tidak ada yang mulai percakapan. Darka sedari tadi hanya bisa melirik Linggar, sepertinya wanita itu tertidur nyenyak. Darka mengeluarkan ponsel miliknya, dan membidik camera, mengabadikan foto Linggar yang tertidur itu. Lihatlah walau tertidur seperti ini, wanita ini tetap terlihat cantik.
Darka tersadar, kepala Linggar jatuh di bahunya. Ada perasaan senang menyelimutinya, ia bisa menyentuh wanita ini lagi. Darka mengambil posisi senyaman mungkin, agar wanita cantik ini tidak terbangun dari tidur nyenyaknya.
Darka menyandar punggungnya, dan ia seklias mengecup puncak kepala Linggar. Ia lalu tersenyum penuh kebahagiaan.
"Mantan lo, aktingnya bagus banget bro,"
Darka lalu menoleh ke arah sumber suara, ia tahu yang menggangu kenyamanannya itu adalah Liam.
"Maksud lo," ucap Darka bingung, dan sengaja mengecilkan volume suaranya.
"Lo liat sendiri kan, tadi di ruang tunggu dia pura-pura jutek sama lo, bro. Gue yakin sekarang dia pura-pura tidur. Padahal dia sebenarnya kangen, minta peluk lo," ucap Liam, dengan wajah yang cukup serius dan menyakinkan.
Darka menahan tawa, agar tubuhnya tidak bergetar dan menggangu kenyamanan sang mantan.
"Biasalah, Tadi dia cuma malu aja, karena enggak bisa berduaan sama gue, bro,"
Dian dan Liam seketika tertawa, melihat Darka yang mulai, mangejar target untuk mendapati Linggar kembali dalam pelukkanya.
***