Tidur Calya terusik, saat merasakan beban dipinggangnya. Melenguh karena kantuk masih memenjara kedua mata. Gadis itu mengernyit tak nyaman, saat pelukan kian erat ia rasakan.
Membuka selimut yang sebelumnya menutupi wajah secara paksa, Calya mengerjap beberapa kali. Sebelum kemudian, menundukkan pandangan. Sesuatu yang tertangkap penglihatannya membuat kantuk yang sebelumnya menggelayut seolah menguap.
Dengan tubuh yang tiba-tiba kaku, gadis itu menegang di posisinya yang berbaring miring menghadap tembok.
A—apa ini?
B*doh! Itu tangan!
Ck! Ya, dia tentu saja tau jika itu adalah tangan. Yang menjadi pertanyaan, tangan milik siapa?
Mengigit bibir bawah, Calya merasakan embusan napas seseorang yang mengenai puncak kepala. Belum lagi, suara dengkuran halus yang menyusupi pendengarannya.
Apa ini mimpi?
Mungkin, pengharapan yang terlalu besar membuatnya bermimpi bisa tidur di dalam pelukan Hasta.
Untuk memastikan kegundahannya, Calya mencubit punggung tangannya sendiri. Gadis itu segera mengigit bibir bawahnya untuk menahan pekikan rasa sakit.
Si*l! I—ini bukan mimpi. Jadi, benar? Dia tidur di dalam pelukan Hasta? Tapi bagaimana bisa? Apa ... Diam-diam, sewaktu dirinya sudah terlelap, pria itu masuk ke dalam kamar dan berbaring di sampingnya? Tapi, bukankah sebelumnya, Hasta menempati ruang kerja dan membiarkannya menguasai kamar pria itu?
Ada begitu banyak pertanyaan yang berjejal di kepala. Hingga membuat Calya tak lagi bisa membendung rasa penasarannya.
Dengan gerakan yang ia buat begitu hati-hati, gadis itu berusaha untuk membalik posisi. Jika sebelumnya memunggungi seseorang yang kini tertidur di sampingnya. Ia ingin menghadap pria yang tak disangkanya memilih tidur bersama.
Apa semua yang Hasta katakan sebelumnya hanya omong kosong? Atau mungkin, pria itu terlalu malu untuk mengakui ingin tidur di satu tempat tidur yang sama dengan Calya?
Setelah perjuangan panjang, Calya berhasil membalik tubuh. Matanya seketika terbelalak, saat di hadapkan dengan d*da bidang tanpa pakaian yang kini tersuguh di depan matanya. Terlebih, lampu kamar yang terang benderang karena tak ia matikan, membuatnya bisa melihat dengan jelas.
Meneguk ludah kelu, Calya bersyukur jika sekarang posisinya tengah berbaring. Karena, kalau dalam keadaan berdiri, ia tak yakin kedua kakinya masih bisa menopang tubuhnya yang gemetaran.
Hei ... Tunggu! Ini bukan kali pertama dia melihat seorang pria dalam keadaan topless, tapi ... Akan berbeda jika yang saat ini ia lihat adalah sosok yang dicintainya. Melihat Hasta dalam jarak jauh saja jantungnya berdebar. Apalagi sedekat ini? Dengan posisi seperti sekarang. Kakinya bisa berubah lunglai seketika.
Memejamkan mata sejenak, Calya berusaha menenangkan diri. Menganggap, jika ini bak pelatihan jika nanti mereka sudah resmi menjadi suami-istri kelak.
Tolong jangan mentertawakan harapan yang ia idam-idamkan ini, oke?
Secara perlahan, Calya menyusuri apa yang saat ini tersuguh di depan matanya. D*da bidang yang terekspos tanpa penghalang, lalu ... Tatapannya naik ke leher dengan tonjolan jakun yang sesekali bergerak-gerak, kemudian ... Bibir yang bagian bawahnya cukup tebal dan ...Tunggu! Kok, lubang hidungnya beda?
Mengerutkan kening, firasat Calya perlahan berubah tak mengenakan. Terlebih, saat tatapannya kian naik menelusuri wajah seseorang yang tengah tertidur pulas di sampingnya.
Deg!
Calya terbelalak, saat bukan sosok Hasta, melainkan ....
"KYAAAAAAAAA!"
"KUTIL NAGA! EH, APAAN? BANJIR! KEBAKARAN? APA MANTAN NIKAHAN? APAAN WOY!" Arya yang belum lama tertidur pulas, tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan keras memekakkan telinga. Pria itu segera bangkit dari posisi berbaringnya menjadi duduk, dengan kepala yang menoleh kanan-kiri disertai wajah panik.
Dengan napas tersengal-sengal bak baru saja berlari mengelilingi lapangan, Arya mengedarkan pandangan ke sekitar. Sebelum kemudian, tatapannya jatuh pada sosok yang tengah beringsut di sudut tempat tidur sembari memeluk erat selimut yang menutupi hingga sebatas dagu.
"Lah, kok, Has, muka lo kenapa beda? Operasi plas—"
BRAK!
"Ada apa?!" Arya tak sempat menyelesaikan ucapannya saat pintu kamar tiba-tiba terbuka kasar, menghantam tembok dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdebum. Menampilkan sosok Hasta yang tersengal-sengal dengan wajah panik.
Sejenak, ketiganya tampak terperangkap keheningan. Seolah, semua peristiwa yang tengah terjadi masih belum bisa dicerna otak dengan baik.
Menurunkan pandangan, Hasta menatap ceceran pakaian dan celana milik Arya di lantai kamarnya. Lalu, tatapannya naik ke atas tempat tidur, di mana—ada pria itu yang sekarang tengah bersama ... Calya yang tampak ketakutan.
Si*l!
Berderap cepat, dengan rahang mengetat keras, Hasta melempar sorot tajam pada Arya yang meneguk ludah kelu.
"H—Has, muka lo, tolong kondisikan, berasa mau makan or—EH! HAS! SLOW! KOLOR GUE MAU MELOROT ANJIR! ASET GUE NANTI TEREKSPOS!"
Menulikan pendengaran, Hasta tak mengindahkan ocehan Arya yang ia tarik paksa agar turun dari atas tempat tidur.
GEDEBUG!
"Aduh! P*ntat seksi gue...."
Belum selesai Arya meratapi rasa sakitnya, Hasta sudah menariknya paksa agar berdiri. "Has, lo kenapa sih? Kerasukan pohon mana lo?"
"Diam!" Sentak Hasta yang berhasil membungkam mulut Arya yang terus berceloteh. "Gue tau kadang lo gil*! Tapi kali ini udah kelewatan!"
"E—eh, Has, ini bahas apaan sih? Serius, gue bingung."
"Apa yang udah lo lakuin ke Calya?"
"Hah?"
"Jawab!"
"Entar dulu! Gue aja bingung lo nuduh apaan? Gimana gue bisa ja—"
BUG!
Tak membiarkan Arya menyelesaikan ucapannya, Hasta sudah lebih dulu mengayunkan tinju*n hingga sahabatnya itu tersungkur menghantam lantai.
Calya yang sejak tadi memerhatikan menjerit tertahan. Tak menyangka Hasta memukul Arya sekuat tenaga.
"Bangun lo!" Tak membiarkan Arya meratapi hidungnya yang berdarah, Hasta kembali memaksa untuk berdiri. "Bisa-bisanya lo lakuin ini ke Calya yang udah kita anggap adik sendiri, Ar?!"
"Eh, tatakan gelas! Tunggu dulu, oy! Gue belum jelasin lo main tonj*k aja! Sakit sial*n! Awas ya lo kalau hidung gue rusak. Nanti napas pakai apaan?"
"Gue lebih sakit lihat kelakuan brengs*k lo ke adik sahabat kita sendiri! Bisa-bisanya lo rusak Calya!"
BUG!
Kembali, Hasta melayangkan tinju*n. Kali ini, perut Arya yang menjadi sasaran hingga pria itu membungkuk sembari terbatuk-batuk.
Di tengah kekacauan yang terjadi. Calya tak lagi berdiam diri dan membiarkan semua kesalahpahaman diantara dua sahabat itu kian runyam.
Turun dari atas tempat tidur dengan tergesa-gesa, Calya memeluk Hasta dari belakang. Menahan pria itu yang hendak kembali melayangkan pukul*n.
"Udah Kak, cukup! Kak Hasta salah paham!"
"Lepas Cal! Kamu nggak perlu bela Arya!"
"Nggak Kak, sungguh! Ini semua salah paham. Kak Arya nggak ngapa-ngapain aku."
"Tuh! Dengerin! Buka telinga lo lebar-lebar! Jangan nuduh sembarangan. Gimana mungkin gue rusak Calya? Nyolek aja nggak—eh, meluk dikit sih tadi, kayaknya." Cicit Arya di akhir ucapan. Melihat wajah Hasta yang kembali garang, Arya buru-buru mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah dengan panik. "Eh, bukan begitu Has. Gue nggak sengaja. Kirain itu lo. Mana tau kalau Calya yang di tidur di kasur lo!"
Dalam hitungan detik, wajah Arya yang sebelumnya panik, tiba-tiba berubah menjadi rasa penasaran. "Tunggu, tunggu, tunggu! Ada yang janggal di sini." Melempar tatapan penuh tuduhan, Arya melihat Hasta dan Calya bergantian. "Kenapa Calya bisa ada di sini? Di kamar lo?! Tidur di kasur lo?! Dan—" bersedekap tangan dengan dagu terangkat pongah, mengabaikan aliran dar*h yang keluar dari hidung, Arya menaikan satu alis mata, "pakai pakaian lo? Habis ngapain lo berdua? Kayaknya, yang perlu dapat bogeman di sini itu lo, bukan gue!" Serunya berubah galak. Membungkam Calya dan Hasta yang berdeham canggung secara bersamaan.