"Silakan masuk," berdiri di samping ambang pintu, Hasta mempersilakan Calya yang berdiri canggung di belakangnya.
Berdeham, berharap bisa meluruhkan rasa gugupnya. Gadis itu mengangguk kaku, sebelum kemudian mengayunkan langkah ke dalam kamar Hasta.
Meremas ujung drees yang dikenakannya, Calya berusaha untuk tak meloncat kegirangan karena berhasil menginjakan kaki di tempat yang bisa dibilang ... Paling privasi seorang Hasta. Ya, entah mimpi apa di kemarin malam hingga bisa berada di kamar pria yang dicintainya?
"Seperti yang aku bilang sebelumnya, kalau butuh sesuatu, telepon saja ya?"
"I—iya Kak, makasih."
"Tidak perlu sungkan. Kamu bisa gunakan kamar mandi di dalam. Jadi tidak perlu repot-repot turun buat ke kamar mandi yang ada di lantai bawah." Bersandar di dekat daun pintu yang terbuka, Hasta bersedekap tangan. "Ada pertanyaan?"
Menggaruk pelipis, Calya menggeleng canggung.
Hasta mengangguk, pria itu kemudian menegakkan posisi tubuhnya yang tadi tengah bersandar. "Baiklah, kalau begitu, selamat malam, dan selamat beristirahat."
"I—iya, sekali lagi, terima kasih, u—untuk semuanya, Kak."
Usai mendapat anggukan, Calya mematung melihat Hasta yang sudah berbalik dan siap melangkah keluar dari kamar yang malam ini menjadi 'miliknya'. Sementara sang pemilik asli, terpaksa terusir dan mengungsi ke tempat lain. Tapi, baru saja Hasta melewati ambang pintu, sesuatu tiba-tiba saja terlintas dipikiran dan membuatnya meraih kemeja bagian pinggang Hasta, "Kak, tunggu!"
Kembali berbalik hingga posisinya berhadap-hadapan dengan Calya yang meneguk ludah kelu, Hasta mengerutkan kening, "kenapa?"
Melepas cengkramannya di pinggang Hasta, Calya berdeham sejenak, "i—itu, aku ... Apa boleh," mengigit bibir bawahnya, ia sempat dihantam bimbang, haruskah menanyakan hal ini? Tapi ... Itu sesuatu yang sangat perlu.
Mengais keberanian, Calya akhirnya membulatkan tekad. "Aku ... Mau pinjam baju Kak Hasta, a—apa boleh? Soalnya, udah kebiasaan, kalau mau tidur ganti baju sama piyama tidur. Tapi, berhubung lagi nggak di rumah, ganti baju biasa pun nggak apa-apa. Calya nggak suka tidur pakai baju yang sudah dipakai buat aktivitas, apalagi abis dari luar rumah."
Menggaruk kepala, Hasta tampak kebingungan. "Tapi aku nggak punya baju perempuan."
"Baju Kak Hasta juga boleh," sedetik kata-kata itu meluncur keluar, Calya refleks memukul mulutnya sendiri. "M—maaf Kak, aku ...."
"Boleh saja, kamu pilih mana yang dirasa cocok dan nyaman dilemari."
Mengerjap, Calya tak bisa menahan sudut bibirnya yang tertarik membentuk senyuman. "Serius, boleh Kak?"
Mengangguk, Hasta menepuk pelan kepala Calya, gadis muda yang sudah ia anggap layaknya adik sendiri. Terlebih, Hasta merupakan anak tunggal di keluarganya. "Kalau butuh hal lain lagi, bilang saja ya?"
"I—iya Kak, makasih."
Sepeninggal Hasta, Calya menutup pintu kamar dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, menyalurkan rasa bahagia yang saat ini menyesaki hatinya.
Siapa yang menyangka, keputusan spontanitasnya mendatangi restoran Hasta dini hari seperti sekarang, justru membawa keberuntungan untuknya.
Puas merayakan kegembiraannya. Calya meletakkan tasnya ke atas nakas, samping tempat tidur. Ia tak perlu mengabari orang rumah, mengingat ... Kedua orangtuanya tengah berada di luar kota.
Sejujurnya, Calya ingin tinggal di apartemen. Tapi sang Mama menentang keras. Beralasan, jika rumah besar keluarga mereka akan semakin sepi jika Calya ikut pergi seperti Bastian yang sudah memiliki hunian sendiri setelah berkeluarga.
Jadi, mau tak mau. Calya melakukan kebohongan setiap kali ingin mendatangi club malam. Gadis itu juga memilih menginap di apartemen temannya jika keadaannya sudah terlalu mabuk. Dia tak mungkin pulang ketika kesadarannya hampir hilang. Jika orangtuanya tau, bisa-bisa tamat riwayatnya. Sekali pun sudah beranjak dewasa, dia masih dianggap putri kecil di mata kedua orangtuanya.
Seperti yang Hasta katakan padanya, agar tak merasa sungkan, maka Calya pun bersikap layaknya kamar sendiri. Ya ... Hitung-hitung latihan ketika di masa depan, mereka akan satu kamar. Terkikik geli dengan pemikirannya sendiri. Gadis itu menyugar rambut dengan senyuman yang tak lenyap dari wajahnya.
Si*l! Hanya dengan memikirkannya saja, sudah membuat jantungnya berdegup kencang.
Berderap menuju kamar mandi, Calya memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Merasa tak nyaman dengan kondisi tubuh setelah seharian beraktivitas. Di luar sana, suara hujan menampar-nampar atap masih terdengar riuh.
Setelah beberapa lama berkutat di dalam kamar mandi, Calya melangkah keluar dengan sebuah handuk yang menutupi tubuh dan hanya mengenakan dalaman. Mengingat, dia tak mungkin meminjam hal itu juga pada Hasta yang jelas tak akan punya.
Berderap menuju lemari, gadis itu membukanya dan tampak mengedarkan pandangan ke sekitar. Melihat tumpukan baju yang tersusun rapi.
Sempat didera rasa bingung, Calya akhirnya meraih sebuah sweater rajut berwarna putih dengan celana boxer berwarna hitam.
Menutup pintu lemari, Calya mengenakan baju dan celana hasil pinjaman pada Hasta. Meletakan handuk basah digantungan yang berada di kamar mandi. Gadis itu menyisir rambut di depan cermin yang berada dilemari, karena Hasta tak memiliki meja rias.
Setelah semua selesai, Calya merangkak naik ke atas tempat tidur. Menyelimuti tubuh dengan selimut yang menguarkan aroma khas Hasta. Ah ... Tak sekadar selimut, sarung bantal dan hampir seisi kamar memang menguarkan aroma pria itu yang membuat Calya betah berlama-lama dan mengirup aromanya seolah membuatnya candu.
Di iringi suara hujan yang kini bak musik pengantar tidur. Calya memeluk guling, sebelum kemudian berbaring miring kearah kanan sembari memejamkan mata, bersiap terseret lelap.
Sementara di ruang kerja, Hasta sudah membaringkan tubuh di atas sofa panjang yang sejujurnya, tak bisa memuat keseluruhan kakinya hingga harus sedikit ditekuk. Berbantalkan lengan, pria itu menatap langit-langit ruangan sembari mengela napas panjang.
Tak menyangka jika sang Mama masih sempat mengirim pesan di waktu yang sudah sangat larut. Isi pesan tersebut sukses membuat Hasta memijat pelipis karena kepalanya tiba-tiba terasa berdenyut sakit.
Hasta bingung, entah harus takjub atau mulai frustasi? Saat sang Mama lagi-lagi menyodorkan sebuah foto wanita dan alamat restoran yang menjadi tempat kencan butanya yang kedua.
Jika begini terus, sepertinya dia memang sudah harus segera mencari sosok kekasih. Tak sekadar untuk tameng dari perjodohan yang dibuat sang Mama, tapi juga untuk dirinya sendiri. Tumpukkan pekerjaan menenggelamkan Hasta dalam kesibukan hingga membuatnya tak bisa memiliki waktu memikirkan masalah asmara.
Mengusap wajah, Hasta merubah posisi berbaringnya yang tadi terlentang, kini miring ke salah satu sisi, sebelum kemudian memejamkan mata dan berusaha tertidur. Karena besok, ada banyak hal yang sudah menantinya.
***
Sembari bersiul, Arya berjalan santai dengan kedua tangan yang tersembunyi di saku celana. Matahari bahkan belum berjinjit meneriakkan pagi, tapi pria itu sudah mendatangi kafe sekaligus tempat tinggal sahabatnya.
Embusan angin pagi, terlebih suasana dingin setelah hujan semalaman mengguyur membuat Arya bergidik. Mempercepat langkah, ia merogoh saku celana, meraih kunci duplikat yang ia buat sendiri setelah meminta izin pada Hasta dengan rengekan. Beralasan jika mereka sama-sama pria lajang kesepian yang membutuhkan perhatian satu sama lain. Alasan yang membuatnya dijejali cabe berukuran besar oleh Hasta.
Tapi, bukan Arya jika tak keras kepala. Ia tetap membuat kunci duplikat dan bisa melenggang santai sesuka hati. Hei ... Bukankah Bastian dan Hasta pun sering keluyuran di apartemennya meski tak ada dirinya. Kalau saja Bastian masih berstatus single, rumahnya pun akan berakhir sama.
Setelah berhasil masuk lewat pintu belakang. Arya mengayunkan langkah menuju dapur, karena perutnya tiba-tiba berisik minta di isi, padahal matanya sudah begitu berat seperti digelayuti. "Ck! Lo berdua jangan bikin gue bingung dong, masa makan sambil merem." Kesalnya karena perutnya lapar tapi matanya mengantuk.
Sesampainya di dapur, pria itu mengacak rambut, tampak bingung harus memasak apa? Bak rumah sendiri, ia mulai membuka kulkas empat pintu milik Hasta yang isinya penuh dengan berbagai macam bahan makanan. Sungguh berbanding terbalik dengan kulkas dua pintu miliknya yang begitu ala kadarnya.
Setelah termenung di depan kulkas yang tengah terbuka beberapa lama, Arya akhirnya memutuskan untuk membuat sandwich.
Usai berkutat beberapa lama, sandwich buatannya selesai. Dan kurang dari lima menit, sudah habis disantap. Mengusap perut, Arya menepuk-nepuk pelan, "udah ye, sekarang giliran mata yang minta merem. Lo jangan berisik lagi, nanti mimpi gue ke cancel."
Meningglakan dapur, pria itu menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai atas. Arya sudah tak sabar melemparkan diri ke atas tempat tidur untuk mengistirahatkan tubuh. Dia baru pulang dari salah satu club malam. Malas berkendara di saat hujan, akhirnya memilih bertahan hingga menunggu reda. Tapi hujan semalam rupanya cukup awet dan baru berhenti pukul empat pagi.
Membuka pintu kamar Hasta yang memang tak pernah dikunci, Arya melepas sepatu dengan sembarang, di ikuti kemeja serta celana hingga hanya menyisakan boxer berwarna kuning bergambar bibir.
Menggaruk ketiak, pria itu mendapati seseorang di atas tempat tidur yang menyelimuti tubuhnya hingga kepala. "Nggak enggap lo, Has?" Merangkak naik, Arya masuk ke dalam selimut yang sama. Meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, ia menguap lebar saat kantuk kian merongrong. Menyamankan posisi, sembari memeluk Hasta yang ... Dirasa begitu ramping pinggangnya.
Ni anak pasti diet, pikir Arya di ambang batas kesadarannya yang nyaris lenyap terseret lelap.