“Pertemuan kita terjadi lagi. Aku sedang bertanya-tanya, apakah takdir membuatnya seperti itu atau ini hanya sebuah kebetulan berulang-ulang.”
*
Dewi merasakan sakit dipergelangan tangannya. Oleh karena itulah ia berjalan sambil memijit-mijit pergelangan tangannya.
“Dari mana, Lo?” tanya Anye begitu ia tiba di parkiran. “Kenapa lagi tangan, Lo?” Anye bertanya lagi sambil mengedikkan dagunya ke kedua tangan Dewi yang saling bertaut.
“Ditarik-tarik gorila,” jawab Dewi dengan muka masam.
“Lo ngapain lagi sama Dewa” tanya Anye. “Udah gue bilang jangan berurusan lagi sama dia. Lo salah-salah bisa keluar dari kampus ini,” omel Anye.
“Dia minta ganti rugi.”
Anye mengernyitkan dahi. Ia menatap Dewi lama, lalu berkata,” Lo nggak berpikir ngasih dia duit, kan?”
Dewi mengangguk. “Gue kasih, terus dia marah.”
“b**o,” hina Anye. “Duit dia itu nggak berseri.”
“Ya dia minta ganti rugi, gue harus ngapain?”
Anye menghela napasnya pasrah. “Suka-suka elo deh.”
“Gue yang bawa mobil ya,” kata Dewi ketika Anye hendak masuk mobilnya.
“Nggak ada,” jawab Anye. “Lo baru lolos kelas nyetir mobil minggu kemarin. Kalomobil gue kenapa-kenapa, nyokap gue bisa ngamuk.”
“Kalau gue nggak sering-sering latihan, gue ngak akan bisa-bisa,” ujar Dewi. “Nungguin gue punya mobil sendiri, pasti lama.”
“Nggak.” Anye tetap berkata kasar. “Lagian tangan lo sakit.”
Dewi langsung merentangkan tangannya lebar-lebar lalu membuat pergerakan yang memutar, “See?” katanya. “Tangan gue baik-baik aja.”
Anye menghela napasnya. Lalu melemparkan kunci mobil yang langsung disambut oleh Dewi dengan wajah sumringah.
“Lo buat lecet, kepala lo gue bikin lecet,” ujar Anye sebelum memutari mobil dan memasuki sisi bagian samping kemudi.
“Siap, Nyonya,” jawab Dewi sebelum membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi.
*
Ketika di jalanan yang tidak terlalu ramai, Dewi menggumamkan nama Dewa dengan penuh khidmat.
"Dewa Prasetyo."
Kemudian dia mengetukkan jemarinya pada setir mobil, lalu kembali bergumam, “Dewa Prsetyo.”
Anye menggelengkan kepala. Jengah mendengar nama yang sama keluar dari mulut Dewi, ia memasang earphone-nya dan mulai menyalakan musik di ponsel pintarnya. Setelah mengatur volume musik sekeras mungkin, Anye memejamkan mata menikmati perjalanan. Masa bodoh dengan Dewi yang sibuk melantunkan nama Sang Dewa Pemarah itu.
Ia tidak habis pikir, pasalnya semenjak Dewi mengetahui nama Dewa Prasetyo, cewek itu tidak sekali pun berhenti menyebutnya tanpa kening berkerut dalam. Anye berani bertaruh, bahwa dalam kepala Dewi saat ini ingin sekali rasanya ia menyuruh Dewa untuk berganti nama.
"Nye,” panggil Dewi.
Anye yang sudah hanyut dibawa oleh musiknya sendiri, bermain di kepala tentu saja tidak bisa menyahut panggil Dewi.
"Nye.” Dewi memanggil lagi. Namun karena sudah dua panggilan, ia tidak juga mendapati sahutan, akhirnya Dewi menolehkan kepalanya ke kiri dan berdecak pelan.
"Nyet!" Dewi menarik headset Anye hingga lepas.
"Apaan?" Anye bertanya kesal. Matanya bahkan menatap Dewi tajam.
"Lo dengerin gue nggak sih?"
"Eh Kuda Nil, liat jalanan! Nyetir yang bener lo!" Anye mendorong kepala Dewi. "Gue lupa pasang niat buat mati hari ini, takut nggak sah."
"Lo pikir puasa?"
"Nggak harus puasa. Sholat juga harus niat, ngaji juga, wudhu bahkan buat belajar kudu ada niat. Jadi apa-apa harus niat, mati sekalipun,” jawab Anye.
"Alhamdulillah Ya Allah." Dewi menengadahkan tangannya selayaknya orang berdoa. "Akhirnya, lo tahu juga ibadah."
"Wik, perhatiin jalanan!" Tepat setelah Anye berteriak, mobil yang dikendarai Dewi menabrak sesuatu. Mobil seseorang lebih tepatnya.
"Mampus,” Dewi mengumpat pelan.
"Bego.” Anye juga tidak bisa menahan umpatannya.
"Kenapa harus mobil itu Ya Tuhan yang harus hamba tabrak?” tanya Dewi.
Anye memperhatikan mobil yang ada di depan mereka dengan seksama. Lalu menghela napas pasrah saat menyadari kalau benda tersebut adalah salah satu barang mahal.
“Keluar, Lo,” suruh Anye. “Urus sendiri. Jangan lupa periksa mobil gue juga.”
Dewi menoleh, menatap Anye dengan mata memelas. Berharap sahabatnya itu mau menemaninya ke luar.
“Wik,” kata Anye dengan mata membulat kaget.
“Hm.”
“Lo niat dulu deh,” saran Anye. “Gue liat malaikan pencabut nyawa soalnya.”
Dewi ikut menoleh ke arah yang ditatap Anye, lalu ia terdiam sejenak. “Itu Dewa Prasetyo, kan?” tanyanya tak yakin. “Yang namanya sama kayak nama gue?”
Anye langsung menatap Dewi penuh peringatan. “Lo jangan aneh-aneh, Wik,” pesan Anye ketika Dewi membuka pintu mobil. “Ingat, minta maaf dan pake wajah memelas.”
Hanya saja Anye tahu, sekeras apa pun ia mengingatkan, sahabatnya yang bernama Dewi Prasetya itu pasti tidak akan mendengarkan. Oleh karena itulah, Anye membuka kaca mobil, ingin mendengar apa yang akan Dewi bicarakan pada orang berwajah garang di depannya tersebut.
Anye mendengar Dewa berdecak. Lalu pria itu menajamkan tatapannya, kalau sesuatu seperti ini terjadi di dunia komik, maka Anye pasti bisa melihat cahaya laser yang keluar dari kedua mata hitam Dewa.
“Seharusnya gue tahu kalo masalah dan kesialan selalu muncul bersamaan dengank kemunculan elo.”
“Lo nggak ngerti cara ngehindar dari gue?” bentak Dewa. “Kepingin banget mampus?”
Segala jenis kesabaran tentu saja bukan milik Dewa. Ia tidak memiliki sedikit pun rasa sabar, apalagi yang setingkat Dewa. Satu-satunya sikap yang kembangkan sampai ke tingkat sang pujaan nenek moyang tersebut hanyalah kemarahan.
“Oke, gue kasih kemauan, Lo,” ujar Dewa.
Ia langsung menarik tangan Dewi, menyeret perempuan itu untuk masuk ke mobilnya. Hanya saja perempuan itu menyentak kuat tangannya, membuat mereka berdua berhenti di depan pintu mobil Dewa.
“Nama lo Dewa Prasetyo?” tanya Dewi sambil menatap Dewa dalam.
Kalau Dewa menatap Dewi dengan aneh, maka Anye hanya bisa menepuk jidatnya sendiri di dalam mobilnya. Ia sudah mengira bahwa sahabatnya itu bisa dikatakan gila. Hanya saja ia tidak menyangka kalau kegilaan Dewi tidak pernah memandang tempat dan situasi untuk berjangkit.
"Ganti rugi atau gue seret lo ke kantor polisi,” ujar Dewa dingin.
"Sejak kapan lo pake nama itu?" Dewi tetap bertanya. Sepertinya amigdala dalam kepala Dewi tidak berfungsi dengan baik. Buktinya daripada takut karena aura gelap yang sudah menguar dari tubuh Dewa, ia justru menatap cowok itu dengan pandangan bertanya.
“Cash,” ujar Dewa mengabaikan makhluk sinting di depannya ini. “Hari ini sebelum gue seret lo ke kantor polisi.”
“Gue nggak suka nama kita samaan.” Dewi tetap sibuk dengan pikirannya sendiri.
Berdecak pelan, sepertinya Dewa benar-benar harus memberikan gadis bodoh ini pelajaran yang berarti. Supaya ke depannya ia tahu diri untuk tidak berurusan lagi dengan Dewa. Oleh karena itulah ia merogoh kantong celananya, mengusap layarnya lalu menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinganya.
Sambil menatap Dewi tajam, ia menunggu panggilannya tersambung. Kemudian tepat pada deringan ketiga saat teleponnya terhubung, Dewa berkata, “Halo, Polisi. Saya mau buat lap…,” ucapan Dewa terhenti saat Dewi menarik jaketnya.
“Gue ganti,” jawab Dewi dengan ketakutan yang membayangi kedua matanya.
“Gue ganti,” ulangnya. “Hari ini.”
Dewa melirik ke arah Dewi. Seketika merasa aneh karena ia seperti melihat orang yang berbeda. Namun Dewa tidak memperdulikannya. Karena persis seperti inilah seharusnya reaksi seseorang yang sudah membuat masalah dengannya.
“Tapi gue nggak punya uang sebanyak itu,” kata Dewi masih dengan sorot takut. “Boleh gue cicil?”
"Gue bukan tukang kredit."
"Tapi gue nggak punya duit sebanyak itu.”
"Lo bisa bilang di kantor polisi."
Dewi menggeleng. "Di atm gue ada dua puluh juta, tabungan kuliah gue sampe wisuda. Gue bisa nyicil sisanya."
"Lo bisa bilang itu di kantor polisi." Dewa mendekatkan kembali ponsel ke telinganya.
"Selama gue nyicil, gue bisa lakuin apa aja buat lo."
Perkataan Dewi membuat gerakan Dewa terhenti. Dewa mengamati wajah Dewi lama. Lalu berhenti pada sorot mata Dewi yang belum meninggalkan rasa takut. Kemudian sebuah senyum licik terbit di ujung bibirnya. Ucapan perempuan ini terdengar menggiurkan dan kepala Dewa sudah memikirkan apa saja yang akan ia perbuat untuk membalas perbuatan Dewi tempo hari.
"Dua puluh juta tunai dan cicilan,” kata Dewa datar.
Dewi menghembuskan napas lega, namun wajah lega tersebut tidak sudi berlama-lama menghiasi wajahnya, karena ucapan Dewa berikutnya membuat ia membelalakkan mata.
"Dan sampe utang lo gue anggap lunas, lo jadi pembantu gue."
"Pembantu?!"
"Kalo lo teriak di depan wajah gue, utang lo bertambah satu juta."
"Apa?!!"
"Tiga puluh satu juta."
"Gue nggak pernah bilang mau jadi pembantu."
"Lo bisa bilang di kan ...."
"Okay, fine. Gue jadi pembantu lo."
*