“Siapa dia?” tanya Haura.
Samantha langsung menunjuk seseorang dengan dagunya, Haura pun langsung menoleh dan langsung terkejut dengan siapa orang yang dimaksud oleh Samantha. Seketika senyum Haura merekah, pasalnya hanya ada satu laki-laki yang duduk di sana, sehingga dia merasa yakin kalau Albie yang dimaksud oleh Samantha adalah laki-laki yang sebelumnya menyuruhnya salat.
“Dia?” tanya Haura.
Samantha menganggukkan kepala, namun seketika dia sadar kalau dia tidak bisa memperkenalkan Haura kepada Albie. “Eh, bukan dia,” katanya berbohong.
“Ucapan pertama selalu yang benar,” kata Haura.
Haura langsung berjalan menuju Albie. Melihat hal itu, Samantha langsung mencekal pergelangan tangan Haura dengan cepat. Albie tidak pantas mereka libatkan. Albie adalah anak baik-baik.
“Eh, kamu mau ngapain?” tanya Samantha.
“Gue mau ngajak kenalan, sekalian melancarkan aksi,” kata Haura.
“Eh, aksi apa maksudnya? Biar aku yang bicara sama Bang Albie kalau kamu butuh pertolongan,” kata Samantha.
“Enggak-enggak. Lo nggak boleh ngomong apapun soal gue ke dia. Biar gue sendiri yang deketi. Selanjutnya lo nggak usah ikut campur,” kata Haura.
Samantha menggelengkan kepalanya, “Tapi, Ra …” katanya mencoba memprotes.
“Kenapa lagi? Ini cara paling aman,” kata Haura.
Haura pun langsung berjalan lagi. Dia tidak memperdulikan Samantha yang panik. “Kenapa nggak besok aja?” tawar Samantha.
“Sttt … lo diem dulu deh mendingan,” kata Haura.
Samantha pun mengejar Haura yang kini sudah dekat dengan Albie. Haura pun tersenyum ketika melihat Albie baru selesai berdoa. Menyadari kedatangan seseorang, Albie langsung mendongak. Haura langsung memberikan senyuman yang paling manis, “Hai!” sapa Haura.
Albie langsung mengedarkan pandangannya ke arah lain. Dia tidak mau melihat apa yang seharusnya dia tidak lihat, dia mencoba menjaga pendangannya.
Haura langsung duduk di samping Albie dan menyodorkan tangan. Samantha meringis dalam hati melihat bagaimana Haura benar-benar meminta berkenalan dengan Albie.
“Aku, Haura …” katanya memperkenalkan diri.
Albie melirik Samantha sekilas. Samantha pun salah tingkah, “Eh, Bang. Maaf, dia teman saya,” kata Samantha yang langsung mencoba menarik tangan Haura.
Haura memandang Samantha dengan bingung.
“Albie.” Jawab Albie singkat. “Saya permisi,” katanya yang langsung bangkit dan meninggalkan Haura dan Samantha.
Senyum Haura mengembang sempurna, dia seakan habis melihah harta karun. Jika melihat dari bagaimana dinginnya Albie, dan sikapnya Albie yang seakan tak tersentuh membuat Haura merasa yakin kalau Albie memang orang yang tepat untuk dia kejar.
“Haura lain kali nggak boleh kayak gitu. Nggak boleh dekat-dekat,” kata Samantha.
“Gimana dia bisa bantuin gue kalau gue gak bisa deket-deket sama dia? Aneh, lo,” kata Haura.
Samantha hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bingung ingin mengatakan apa. Dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Haura namun dia pun tidak bisa membenarkan tindakan Haura yang langsung mendekati Albie.
“Sekarang anterin gue ngambil air wudhu, gue mau salat,” kata Haura.
***
Sepulang sekolah, Haura pun langsung berjalan menuju Masjid. Lalu, karena semua orang melaksanakan salat ashar bersama, dia pun mengikuti jejak teman-temannya. Setelah salat, dia pun mencari-cari keberadaan Albie dengan cara memanjangkan leher.
“Ah, sekarang gue tau kalau dia pasti ada di Masjid. Nyari dia gak susah ternyata.” Gumam Haura sambil tersenyum melihat Albie.
Doa pun mulai dipanjatkan namun Haura tidak tahu siapa pembaca doa tersebut, namun menurutnya hatinya sangat tentram ketika mengaminkan segala doa yang dipanjatkan oleh pemandu doa.
“Amin …” kata Haura sambil menengadahkan tangan, meski matanya tetap masih jelalatan mencoba mencark keberadaan Albie melalui celah pembatas.
Haura mengusap wajahnya setelah doa selesai dipanjatkan. Lalu Haura pun tidak langsung keluar. Dia memilih untuk duduk saja di sana, namun dia tetap melipat mukena.
“Samantha!” seru Haura.
Semua orang pun langsung menoleh ke arah Haura dengan tatapan yang sulit diartikan. Haura pun kini sadar kalau di keramaian, dia harus memanggil Samantha dengan sebutan ‘Kakak’ karena Samantha sekarang adalah kakak kelasnya tidak seperti sebelumnya.
“Eh, Kak Samantha,” kata Haura yang langsung meralat ucapannya.
Samantha langsung mendekat. Haura adalah anak yang nekat jadi dia tidak bisa mengabaikan panggilan Haura begitu saja.
"Kamu belum pulang?" tanya Samantha.
"Kenapa emang kalau gue belum pulang?" tanya Haura.
Samantha hanya menghela nafas, dia tidak bermaksud untuk membuat Haura merasa salah paham. Dia menggelengkan kepalanya, "Nggakpapa. Aku nggak ada maksud apa-apa." kata Samantha.
Haura memnyusuri area Masjid, semua siswa-siswa sudah prgi dan hanya ada siswi berkerudung dan beberapa siswa laki-laki yang tengah duduk di tengah-tengah Masjid dengan jarak diantara mereka yang sekitar 2 meter.
"Itu mau ngapain?" tanya Haura yang merasa penasaran.
"Oh, itu, kita ada perkenalan sama anggota baru rohis. Kebetulan ini pertemuan pertama kita." kata Samantha.
Haura pun langsung tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Samantha. Dia merasa kali ini semesta tengah memberikan kemujuran kepada dirinya.
"Yaudah kalo gitu, gue mau ikut rohis juga." Kata Haura.
Samantha terdiam. "T-tapi ..." kata Samantha.
"Biar gue ngomong sendiri." Kata Haura.
Haura meletakkan mukena Masjid yang sudah dia lipat dan langsung berjalan menuju kerumunan, kedatangannya tentu mulai menarik perhatian dari semua orang.
"Kak Albie, boleh saya ikut rohis?" tanya Haura yang langsung mengatakannya kepada ketuanya.
"Eh, tapi kamu nggak pakai kerudung, kamu gak bisa ikut." kata salah seorang teman Samantha.
"Apa ikut rohis harus pakai kerudung?" tanya Haura yang merasa kebingungan.
"Iya, nggak boleh. Kita semua yang akhwat harus pakai kerudung dulu baru boleh masuk rohis," kata seseorang yang lain.
Haura terdiam, dia memperhatikan baju pendek yang dipakainya dan rok panjang yang melekat pada dirinya, lalu dia mulai membandingkannya dengan teman-temannya yang lain. Dan benar saja, semua orang memang menggunakan pakaian serba tertutup.
Akhirnya, Haura mengangguk dan berbalik.
Mungkin lain kali. - batinnya.
"Lo mau ke mana?" tanya seseorang yang sudah berdiri.
Haura yang yakin kalau pertanyaan itu tertuju kepada dirinya langsung menghentikan langkahnya dan langsung berbalik. Dia ingin memastikan siapa orang yang menanyakannya.
Seketika Haura terkejut mendapati Albie yang sudah berdiri.
"Mau pergi, Kak? Bukannya hanya cuma yang berkerudung yang boleh ada di sana?" tanya Haura.
"Duduk aja, mulai hari ini kamu anggota baru kita." kata Albie.
"Tapi, Bang ..." beberapa siswi pun memprotes apa yang dikatakan oleh Albie.
"Dia aja gak pakai kerudung, Bang." Protes yang lain.
Albie berjalan ke sebuah lemari Masjid dan mengambil sebuah kerudung dan menyerahkannya kepada Haura. Haura yang menerima perlakuan baik dari Albie pun langsung tersenyum dan mengambil kerudung itu.
"Pakai dulu aja." Kata Albie.
"Makasih ya, Kak." kata Haura.
Albie hanya mengangguk singkat dan kembali duduk di sana. Haura pun langsung terus menatap Albie sampai Albie benar-benar duduk di tempatnya. Lalu dia pun langsung memandangi anggota rohis perempuan yang tengah duduk memandangnya.
"Sini, Ra. Di samping aku." kata Samantha sambil menepuk-nepuk tempat di sampingnya.
Haura pun menurut. Kebetulan Samantha masih duduk di belakang barisan. Lalu, dia pun duduk dan memakai kerudung segi empat itu secara asal-asalan karena Haura tidak tahu mengenai cara memakai kerudung yang baik.
Seusai acara perkenalan anggota rohis, mereka pun pulang. Awalnya, Haura merasa ragu untuk bergabung karena beberapa kakak kelasnya sebelumnya mengatakan kalau dia tidak bisa ikut bergabung karena tidak pakai kerudung. Namun, ternyata kakak kelasnya semuanya baik dan mau menerima dirinya.
Di balik itu semua, Haura merasa senang melihat bagaimana Albie menolongnya, padahal Syahla sudah merasa malu sebelumnya.
"Ra, aku pulang duluan ya?" kata Samantha.
"Nggak bisa lo nggak boleh ninggalin gue. Gue sendirian, Sam." kata Haura.
Samantha menghela nafas. Dia ingin pulang bersama dengan teman-temannya yang lain. Dia pun akhirnya pasrah.
Tak lama kemudian, ponsel Samantha berdering dan ternyata ibunya Samantha sakit. Samantha bahkan terlihat sangat panik, namun dia tidak bisa menunggu Haura sendirian.
"Yaudah, lo pulang aja." kata Haura.
"Tapi, lo ..." kata Samantha.
"Pulang atau gue berubah pikiran?" tanya Haura.
Samantha pun mengangguk, "Kamu hati-hati ya?" katanya.
Haura hanya diam, tak mau menyahut.
"Assalamualaikum." salam Samantha.
"Waalaikumsalam." jawab Haura pendek.
Haura pun mmeutuskan untuk berjalan ke depan jalan raya. Dia ingin menunggu jemputan, namun tiba-tiba hujan turun dan membuatnya harus berteduh.
Sebuah motor berhenti di depannya, lalu siempunya memberikan payung dan langsung melajukan motornya saat Haura belum sempat mengatakan apapun.
Kayaknya gue benar-benar gak salah pilih. -batinnya.
Haura tersenyum senang.
Saat sedang memikirkan Albie, tiba-tiba dia menangkap sosok Richo dari jauh, Haura pun langsung melotot dan langsung berlari untuk bersembunyi. Dia tidak mau kalau sampai Richo melihatnya.
Namun, sayangnya, keinginannya agar Richo tidak melihatnya tidak terwujud, sebab nyatanya Richo justru melihat dirinya dan melajukan motornya ke arah Haura yang sudah setengah berlari untuk mencari tempat bersembunyi.
“Gue nggak siap liat dia, gak siap. Gue nggak siap.” Haura berbicara pada dirinya sendiri.
Kata-kata itu seakan mantra yang bisa dia gunakan untuk menguatkan hatinya sendiri. Dia tidak mau lemah, dia tidak boleh kambuh di saat-saat seperti ini. Tidak, tidak boleh. Kalau dia menyerah, apa yang dia usahakan bersama kedua orang tua selama satu tahun kemarin akan sia-sia.
Jantung Haura berdegup dengan sangat kencang. Dia sudah mulai lari.
“Ra! Haura!” seru Richo.
Panggilan itu sukses membuat Haura tambah melajukan kecepatan berlarinya.
Namun, bagaimanapun kekuatannya berlari tidak sebanding dengan kekuatan motor sport yang tengah dikendarai oleh Richo. Richo berhasil memarkirkan motornya di hadapan Haura lalu turun menghampiri Haura.
“Pergi!” seru Haura.
Mata Haura pun mulai beredar ke kanan dan ke kiri. Haura benar-benar tidak tahu mengenai bagaimana dia bisa pergi dari Richo. Haura memutuskan berbalik dan berlari.
Namun, Richo berhasil mencekal tangan Haura dengan mudah. Detak jantung Haura seakan berhenti seketika. Kilasan masa lalu Haura kembali datang di kepala Haura, menari-nari hingga membuat kepalanya menjadi pusing.
“Jangan pergi. Gue minta maaf …” kata Richo.
“Pergi!” seru Haura. Air matanya sudah menetes, dia ketakutan.
“Gue mohon dengerin gue dulu. Gue ngaku gue salah. Tapi gue bener-bener sayang sama lo dan semua yang gue lakuin cuma semata-mata karena gue sayang sama lo,” kata Richo.
Haura langsung menutup telinganya. Dia tidak mau mendengar apapun dari Richo. Bagi Haura penjelasan yang dikatakan Richo hanyalah kebohongan, sebab tidak ada yang namanya cinta jika sampai merusak apa yang harus dijaga.
Itu bukan cinta. Sekali lagi itu bukan cinta. Melainkan, nafsu belaka. Dan bejatnya, korbannya adalah Haura yang hidup normal menjadi rapuh serapuh-rapuhnya.
“Gue nggak mau denger apa-apa lagi. Gue mohon, berhenti ngikutin gue dan pergi sekarang juga!” seru Haura.
“Ra, … gue nggak akan lepasin lo!” seru Richo.
“Gue udah punya pacar. Gue harap lobisa jauh dari gue,” kata Haura. “Gue nggak kenal lo,” kata Haura.
“Enggak, enggak mungkin, gue nggak percaya lo udah punya pacar. Teman-teman lo bilang kalau lo masuk ke sekolah itu juga belum lama,” kata Richo.
Haura pun melepaskan tangannya pada telinganya dan langsung mencoba melepaskan tangan Richo yang menempel bagaikan lem di tangan kanannya. “Lepas!” seru Haura.
“Lagian kalau lo punya pacar, itu artinya pacar lo harus berurusan sama gue. Gue nggak terima lo jadi milik orang lain. Lo cuma milik gue!” seru Richo.
Haura mulai panik, “Biadab!” seru Haura. Dia pun mengedarkan pandangannya ke segala arah. Dia pun seketika melihat sebuah mobil polisi yang tengah berjalan ke arah dirinya. Haura pun merasa kalau ini adalah sebuah bantuan dari Yang Maha Kuasa. Sehingga dia pun merasa beruntung. Dia sangat bersyukur dalam hati.
Richo tersenyum licik, “Apa bibir yang pernah gue cium itu mengalami perubahan signifikan semenjak- …”
“Pak Polisi!” seru Haura.
Richo pun terkejut. Lalu dia menoleh ke arah mobil polisi yang kian mendekat. Richo menjadi panik. Dia tentu tidak mau kalau sampai harus mencicipi jeruji besi yang begitu membuatnya menderita.
“Sialan!” maki Richo.
Richo pun tidak mau mengambil resiko. Sehingga, pada saat itu juga, Richo langsung melepaskan tangannya pada tangan Haura dan langsung berjalan menuju motornya, “Inget, lo cuma punya gue!”
Haura pun langsung naik ke motornya dan melajukan motornya.
Lutut Haura benar-benar merasa lemas seketika. Dia seakan ingin jatuh dalam keadaannya. Haura benar-benar tidak mengetahui mengenai mengapa Richo masih mengatakan hal yang sangat menjijikan seperti tadi.
Sialnya, setelah mendengarkan apa yang dikatakan oleh Richo, bayangan-bayangan itu kembali hadir.
“Ada yang terjadi, Dik?” tanya seorang petugas polisi.
Haura pun langsung memaksakan senyum dan menggelengkan kepalanya, “Cuma salah paham, Pak,” kata Haura.
“Huh, anak-anak zaman sekarang. Lain kali jangan di samping jalan seperti tadi ya, Dik,” kata petugas tersebut.
“Baik, Pak,” kata Haura.
Petugas polisi itu pun pergi. Haura kini menghembuskan nafas lega. Dia tidak perlu pura-pura tersenyum lagi.
Haura mengusap wajahnya dan menyeka air matanya. Lalu tak lama kemudian, jemputan Haura pun datang. Orang yang menjemput Haura kali ini adalah supir pribadi ayahnya yang sengaja diminta menjemput Haura oleh ayahnya Haura.
Haura mencoba mengatur nafasnya. Dia mengepakan tangannya mencoba menguatkan dirinya sendiri.